Beragama, Bernegara, dan Berilmu
Rabu, 01 Juli 2020 - 16:00 WIB
Solusi atas peliknya hubungan antara agama dan politik adalah terjaminnya kebebasan pemeluk agama-agama oleh negara. Begitu nasihat Driyarkara, imam dan intelektual yang mengalami era Soekarno dan Orde Baru. Idealnya, agama menyumbang norma, moral, dan karakter, sedangkan negara bertindak sebagai pelindung yang menjaga muruwah agama-agama yang ada.
Dengan begitu, bernegara dan beragama tidak berbenturan. Begitu juga antar agama tidak terjadi konflik. Terangnya, jalan tengah ini tidak hanya menyelamatkan perdebatan yang tiada berujung, pilih agama atau negara, tetapi juga menjaga keselarasan hubungan antar iman di negeri yang kaya warisan keagamaan.
Di era Orde Baru, ramuan cerdik antara agama dan politik digunakan secara efektif untuk menjaga stabilitas dan menopang kekuasaan tiga dekade. Rakyat Indonesia adalah penyabar, ritme itu diikuti hingga pemerintah itu runtuh ditelan gegap gempita Reformasi.
Demokratisasi hasil dari Reformasi menambah satu pekerjaan rumah, di manakah letak ilmu pengetahuan di hadapan agama dan negara?
Baik di zaman kemerdekaan awal dan Orde Baru, potensi hubungan pelik ilmu pengetahuan dengan agama dan negara belum mengganggu. Tiga puluh tahun lalu, ilmu pengetahuan dan sains belum secepat dan semasif sekarang ini. Waktu itu belum musim jurnal Scopus, sistem perjurnalan Sinta belum tayang, akreditasi belum lahir, dan Google Scholar belum bisa diklik dan keluar nama-nama para pengarang dan peneliti.
Tidak hanya ilmu yang cepat, era digitalisasi dan media sosial instan ini melahirkan persoalan baru. Berilmu, beragama, dan bernegara bisa saja dibenturkan. Ilmu bisa dianggap bertentangan dengan agama, jika keduanya dianggap bersaing dalam wewenang publik, kebijakan pemerintah, dan prioritas langkah politik. Ilmuwan merasa dipinggirkan oleh selebritis dan youtuber. Agamawan merasa memegang kendali. Politisi kurang pas dalam memberi ruang demi keadilan dan kemajuan. Popularitas bisa diraih tiba-tiba dengan ribuan like dan dislike.
Namun, sebetulnya ilmu dan agama saling membesarkan. Dalam sejarah Republik ini, madrasah, pesantren, seminari, misionaris, perguruan tinggi, didirikan atas nama agama dan organisasi keagamaan. Ilmu dan agama saling mendukung dan melindungi.
Di sisi lain, negara juga membiaya pendidikan dari dasar sampai universitas. Jelaslah negara telah dan akan terus menanam saham untuk ilmu pengetahuan demi generasi mendatang yang lebih baik. Jadi agama, negara, dan ilmu sudah lama saling terkait dan saling membesarkan.
Namun, dimanakah letak perdebatan yang membenturkan ilmu, agama dan negara?
Sepertinya, itu benar terjadi, jika keseimbangan antara ketiganya terkurangi. Ada salah satu komponen dalam satu resep itu yang kurang porsi. Ibarat masakan, terlalu banyak garam akan keasinan. Kurang cabai, lidah tidak merasa pedas. Kebanyakan kecap, hidangan terlalu manis. Resep yang tidak tepat itu terasa pada dataran ideologi, pencitraan media sosial, dan politik praktis instan.
Dengan begitu, bernegara dan beragama tidak berbenturan. Begitu juga antar agama tidak terjadi konflik. Terangnya, jalan tengah ini tidak hanya menyelamatkan perdebatan yang tiada berujung, pilih agama atau negara, tetapi juga menjaga keselarasan hubungan antar iman di negeri yang kaya warisan keagamaan.
Di era Orde Baru, ramuan cerdik antara agama dan politik digunakan secara efektif untuk menjaga stabilitas dan menopang kekuasaan tiga dekade. Rakyat Indonesia adalah penyabar, ritme itu diikuti hingga pemerintah itu runtuh ditelan gegap gempita Reformasi.
Demokratisasi hasil dari Reformasi menambah satu pekerjaan rumah, di manakah letak ilmu pengetahuan di hadapan agama dan negara?
Baik di zaman kemerdekaan awal dan Orde Baru, potensi hubungan pelik ilmu pengetahuan dengan agama dan negara belum mengganggu. Tiga puluh tahun lalu, ilmu pengetahuan dan sains belum secepat dan semasif sekarang ini. Waktu itu belum musim jurnal Scopus, sistem perjurnalan Sinta belum tayang, akreditasi belum lahir, dan Google Scholar belum bisa diklik dan keluar nama-nama para pengarang dan peneliti.
Tidak hanya ilmu yang cepat, era digitalisasi dan media sosial instan ini melahirkan persoalan baru. Berilmu, beragama, dan bernegara bisa saja dibenturkan. Ilmu bisa dianggap bertentangan dengan agama, jika keduanya dianggap bersaing dalam wewenang publik, kebijakan pemerintah, dan prioritas langkah politik. Ilmuwan merasa dipinggirkan oleh selebritis dan youtuber. Agamawan merasa memegang kendali. Politisi kurang pas dalam memberi ruang demi keadilan dan kemajuan. Popularitas bisa diraih tiba-tiba dengan ribuan like dan dislike.
Namun, sebetulnya ilmu dan agama saling membesarkan. Dalam sejarah Republik ini, madrasah, pesantren, seminari, misionaris, perguruan tinggi, didirikan atas nama agama dan organisasi keagamaan. Ilmu dan agama saling mendukung dan melindungi.
Di sisi lain, negara juga membiaya pendidikan dari dasar sampai universitas. Jelaslah negara telah dan akan terus menanam saham untuk ilmu pengetahuan demi generasi mendatang yang lebih baik. Jadi agama, negara, dan ilmu sudah lama saling terkait dan saling membesarkan.
Namun, dimanakah letak perdebatan yang membenturkan ilmu, agama dan negara?
Sepertinya, itu benar terjadi, jika keseimbangan antara ketiganya terkurangi. Ada salah satu komponen dalam satu resep itu yang kurang porsi. Ibarat masakan, terlalu banyak garam akan keasinan. Kurang cabai, lidah tidak merasa pedas. Kebanyakan kecap, hidangan terlalu manis. Resep yang tidak tepat itu terasa pada dataran ideologi, pencitraan media sosial, dan politik praktis instan.
tulis komentar anda