Beragama, Bernegara, dan Berilmu
Rabu, 01 Juli 2020 - 16:00 WIB
Al Makin
Guru Besar UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
TIGA hal besar dalam Republik ini yang tidak akan lekang oleh waktu dalam diskusi politik, publik, dan pendidikan: agama, negara, dan ilmu. Tidak mungkin menghindari tiga tema ini. Jika gagal merumuskan hubungan ketiganya dengan bijak, bangsa ini bisa saja terlindas zaman. Maka, renungan secara mendalam perlu diperbaharui setiap konteks dan keadaan.
Ketika negara ini hendak didirikan waktu itu, perdebatan besar seputar dasar dan bentuk bernegara saling tarik menarik bagaimana bisa berpolitik tetapi juga tetap beragama. Dua hal itu bisa saling bertentangan, namun jika tepat rumusnya, bisa saling melengkapi.
Dari dua kutub ekstrem, apakah bentuk negara agama atau negara sekuler, jalan tengahlah yang dipilih oleh para pendiri dan pemersatu bangsa. Jalan itu berupa Pancasila, yang selalu terbuka tafsirnya dan menekankan moderasi dan menghindari radikalisme dalam berideologi.
Jelas, beragama secara kaku tidak sesuai dengan kultur Nusantara yang beragam dan dinamis. Begitu pesan Soekarno, sang proklamator, dan HOS Tjokroaminoto, sang guru, jauh-jauh hari.
Mengambil arti secara literal apa yang tertera dalam Kitab Suci dan membabi buta mengikuti makna dan pakem ritual, teologi, dan norma agama tidak banyak memberi ruang ijtihad (baca: usaha menemukan jalan baru dan terbaik). Ijtihad adalah pintu kemajuan.
Negeri di bawah angin ini bahkan sejak era mistis Wali Songo di Jawa dan legenda-legenda sakti lain di pulau berterbaran di zamrud katulistiwa sudah lama berijtihad dalam urusan seni, budaya, dan sastra.
Para sesepuh menggabungkan budaya, agama, dan kemanusiaan. Itu yang bisa kita maknai sebagai beragama secara moderat. Itulah jalan Pancasila. Titik temu bidang yang sepertinya bertentangan, namun jika terkait secara selaras akan menjadi unik dan indah: beragama sekaligus bernegara.
Guru Besar UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
TIGA hal besar dalam Republik ini yang tidak akan lekang oleh waktu dalam diskusi politik, publik, dan pendidikan: agama, negara, dan ilmu. Tidak mungkin menghindari tiga tema ini. Jika gagal merumuskan hubungan ketiganya dengan bijak, bangsa ini bisa saja terlindas zaman. Maka, renungan secara mendalam perlu diperbaharui setiap konteks dan keadaan.
Ketika negara ini hendak didirikan waktu itu, perdebatan besar seputar dasar dan bentuk bernegara saling tarik menarik bagaimana bisa berpolitik tetapi juga tetap beragama. Dua hal itu bisa saling bertentangan, namun jika tepat rumusnya, bisa saling melengkapi.
Dari dua kutub ekstrem, apakah bentuk negara agama atau negara sekuler, jalan tengahlah yang dipilih oleh para pendiri dan pemersatu bangsa. Jalan itu berupa Pancasila, yang selalu terbuka tafsirnya dan menekankan moderasi dan menghindari radikalisme dalam berideologi.
Jelas, beragama secara kaku tidak sesuai dengan kultur Nusantara yang beragam dan dinamis. Begitu pesan Soekarno, sang proklamator, dan HOS Tjokroaminoto, sang guru, jauh-jauh hari.
Mengambil arti secara literal apa yang tertera dalam Kitab Suci dan membabi buta mengikuti makna dan pakem ritual, teologi, dan norma agama tidak banyak memberi ruang ijtihad (baca: usaha menemukan jalan baru dan terbaik). Ijtihad adalah pintu kemajuan.
Negeri di bawah angin ini bahkan sejak era mistis Wali Songo di Jawa dan legenda-legenda sakti lain di pulau berterbaran di zamrud katulistiwa sudah lama berijtihad dalam urusan seni, budaya, dan sastra.
Para sesepuh menggabungkan budaya, agama, dan kemanusiaan. Itu yang bisa kita maknai sebagai beragama secara moderat. Itulah jalan Pancasila. Titik temu bidang yang sepertinya bertentangan, namun jika terkait secara selaras akan menjadi unik dan indah: beragama sekaligus bernegara.
tulis komentar anda