Mencari Format PPDB yang Berkeadilan

Rabu, 01 Juli 2020 - 06:00 WIB
Pasal 20 ayat (1) Permendikbud menyatakan bahwa jalur prestasi ditentukan berdasarkan (a) nilai ujian sekolah atau UN dan/atau (b) hasil perlombaan dan/atau penghargaan di bidang akademik maupun nonakademik, pada tingkat internasional hingga tingkat kabupaten/kota. Permendikbud memang tidak membedakan antara jalur prestasi akademik dan nonakademik sehingga pada penerapannya ada daerah yang lebih menitikberatkan jalur prestasi pada nonakademik (memprioritaskan sertifikat), dan cenderung mengabaikan nilai (walau data nilai diminta).

Calon siswa dengan nilai akademik tinggi, namun tanpa sertifikat, bisa saja ‘kalah’ dari calon siswa yang memiliki nilai akademik rendah, namun memiliki sertifikat (penjelasan ini didapat dari salah satu SMA ’favorit’ di Tangerang Selatan, yang terkesan lebih memprioritaskan sertifikat lomba dalam seleksi jalur prestasi mereka). Penerapan semacam ini jelas kurang tepat karena dengan adanya zonasi yang murni berbasis jarak, jalur prestasi berdasarkan nilai akademik tak kalah penting untuk mereka yang tempat tinggalnya ’kalah dekat’ dengan sekolah. Dalam hal ini, kebijakan PPDB DKI untuk membedakan jalur prestasi menjadi jalur prestasi nonakademik (yang bermodalkan sertifikat kejuaraan) dan jalur prestasi akademik (yang berdasarkan nilai rapor dan akreditasi sekolah) adalah tepat.

Atas dasar fakta-fakta di atas, penulis mengusulkan beberapa hal berikut. Pertama, sistem zonasi wajib diterapkan secara murni, tanpa kecuali. Artinya, jarak terdekat lebih dulu, baru kriteria lainnya (usia, urutan pilihan, kecepatan mendaftar, dan lain-lain). Kriteria lain bersifat sebagai penunjang dan tidak dapat menggantikan jarak. Hal yang mutlak dan paling utama untuk seleksi zonasi adalah jarak antara tempat tinggal dan sekolah.

Kedua, apabila karena alasan demografis terjadi kendala dalam menentukan titik tempat tinggal calon siswa, pergunakan kantor kelurahan sebagai pengganti titik tempat tinggal. Setidaknya cara ini akan lebih tepat dan berkeadilan, daripada menggunakan seleksi dan peringkat berdasarkan usia dalam seleksi jalur zonasi (seperti yang diterapkan dalam PPDB DKI).

Ketiga, hendaknya tidak menggunakan usia sebagai kriteria utama karena usia bukanlah sesuatu yang dapat dipilih atau diupayakan. Kalaupun usia digunakan sebagai kriteria pendukung, sebaiknya hanya untuk jalur zonasi dan afirmasi. Untuk jalur lainnya (khususnya untuk jalur prestasi), usia sebaiknya sama sekali tidak dijadikan sebagai salah satu komponen seleksi. Apabila usia tetap dijadikan sebagai salah satu komponen seleksi, maka berpotensi merugikan calon siswa berprestasi, khususnya calon siswa berlatar belakang kelas akselerasi.

Keempat , kuota 50% untuk zonasi sebaiknya adalah maksimal, bukan minimal. Hal itu karena persebaran dan daya tampung sekolah di semua daerah tidak sama. Untuk daerah-daerah yang belum merata, kuota jalur zonasi dapat diturunkan dan dialihkan ke jalur lain (ke jalur prestasi atau afirmasi) sehingga komposisi antara jalur zonasi dan prestasi bisa menjadi satu berbanding satu. Misalnya masing-masing menjadi 30 hingga 35%.

Kelima, seleksi jalur prestasi sebaiknya dibuat terpisah antara akademik dan nonakademik serta perlu dibuat kuota minimal. Misalnya, minimal kuota jalur prestasi akademik 20% dan kuota jalur prestasi nonakademik 5%. Pemisahan dan kuota masing-masing perlu diatur dalam permendikbud. Keenam, jalur penerimaan untuk calon siswa lulusan tahun lalu perlu dibuat terpisah dengan lulusan terbaru (fresh graduate). Misalnya dengan membuat jalur zonasi umum (untuk lulusan terbaru) dan zonasi khusus (untuk lulusan tahun sebelumnya). Kuota untuk lulusan tahun sebelumnya berkisar antara 5% sampai 10 % dan maksimal tahun lulus perlu dibatasi dalam permendikbud. Adapun jalur prestasi (akademik dan nonakademik) sebaiknya hanya untuk fresh graduate.

Ketujuh, batas usia maksimal atau minimal hanya untuk mendaftar ke jenjang TK dan SD. Untuk mendaftar ke jenjang SMP dan SMA, batas maksimalnya tahun kelulusan (bukan usia). Dengan demikian, batas usia maksimal dalam permendikbud perlu dihapus. Sebab, untuk fresh graduate, berapa pun usianya tetap harus dapat melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi (tanpa terkena batasan usia maksimal).
Dapatkan berita terbaru, follow WhatsApp Channel SINDOnews sekarang juga!
(ras)
Halaman :
tulis komentar anda
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More