Di Balik Penghargaan IRRI
Selasa, 23 Agustus 2022 - 13:52 WIB
Ditambah iklim bersahabat sejak 2020 yang ditandai La Nina tiga tahun berturut-turut dan pendampingan intensif Kementerian Pertanian, produksi aneka komoditas pangan bisa dijaga baik.
Khusus beras, produksi naik dari 31,31 juta ton pada 2019 menjadi 31,49 juta ton pada 2020 dan turun jadi 31,35 juta ton pada 2021. Hal yang menggembirakan, produktivitas terus mengalami perbaikan: dari 5,11 ton/ha (2019) jadi 5,12 ton/ha (2020) dan 5,22 ton/ha (2021). Dengan tingkat konsumsi sekitar 30 juta ton beras/tahun, surplus beras cukup besar.
Survei cadangan beras nasional oleh BPS, Juni 2022, menemukan stok beras akhir Juni mencapai 9,71 juta ton. Stok ini tersebar di rumah tangga (67,94%), Bulog (11,4%), pedagang (10,67%), penggilingan (7,15%), dan industri serta horeka (2,84%).
Dari sisi data, sejak BPS menggunakan metode Kerangka Sampling Area (KSA) pada 2018, data produksi padi secara nasional hanya satu. Baik luas panen, produksi gabah, produksi beras hingga tingkat konsumsi.
Data KSA diyakini memiliki presisi dan akurasi tinggi. Selain tak ada lagi perdebatan perbedaan data antarkementerian/lembaga, data yang akurat membuat basis kebijakan bisa dipertanggungjawabkan dan menekan potensi salah. Termasuk kebijakan impor dan tidak impor beras sepanjang 2019-2021.
Selain ekstensifikasi dan diversifikasi pangan, keberhasilan kali ini tidak lepas dari upaya intensifikasi lewat penggunaan varietas unggul, pemupukan berimbang, kredit dalam bentuk KUR (Kredit Usaha Rakyat), dan pengendalian hama penyakit. Meskipun lambat, secara khusus tingkat konsumsi beras terus menurun.
Konsumsi beras perkapita per tahun pada pada 2015 masih 96,9 kg, turun menjadi 94,0 kg pada 2020. Sayangnya, konsumsi beras yang menurun ini bukan beralih ke pangan lokal, tetapi ke terigu yang sepenuhnya berbasis impor. Ini diversifikasi yang salah karena kian memperbesar impor.
Andil pembangunan infrastruktur pertanian, seperti jaringan irigasi, bendungan, dan embung, yang dibangun sejak 2015 tentu amat besar. Sampai saat ini telah dibangun 29 bendungan besar.
Keberadaan bendungan ini telah mendongkrak indeks pertanaman rerata nasional jadi 147%. Sampai 2024, akan dibangun 61 bendungan plus 4.500 embung, dan 1,1 juta jaringan irigasi. Kehadiran bendungan, embung, dan jaringan irigasi ini akan meningkatkan indeks pertanaman, yang ujung-ujungnya menaikkan produksi.
Masalahnya, prestasi ini tidak seiring sejalan dengan kesejahteraan petani sebagai produsen gabah dan penggilingan sebagai produsen beras. Sejak ada beleid harga eceran tertinggi (HET) beras, September 2017, petani menerima harga gabah yang rendah dan terus menurun.
Khusus beras, produksi naik dari 31,31 juta ton pada 2019 menjadi 31,49 juta ton pada 2020 dan turun jadi 31,35 juta ton pada 2021. Hal yang menggembirakan, produktivitas terus mengalami perbaikan: dari 5,11 ton/ha (2019) jadi 5,12 ton/ha (2020) dan 5,22 ton/ha (2021). Dengan tingkat konsumsi sekitar 30 juta ton beras/tahun, surplus beras cukup besar.
Survei cadangan beras nasional oleh BPS, Juni 2022, menemukan stok beras akhir Juni mencapai 9,71 juta ton. Stok ini tersebar di rumah tangga (67,94%), Bulog (11,4%), pedagang (10,67%), penggilingan (7,15%), dan industri serta horeka (2,84%).
Dari sisi data, sejak BPS menggunakan metode Kerangka Sampling Area (KSA) pada 2018, data produksi padi secara nasional hanya satu. Baik luas panen, produksi gabah, produksi beras hingga tingkat konsumsi.
Data KSA diyakini memiliki presisi dan akurasi tinggi. Selain tak ada lagi perdebatan perbedaan data antarkementerian/lembaga, data yang akurat membuat basis kebijakan bisa dipertanggungjawabkan dan menekan potensi salah. Termasuk kebijakan impor dan tidak impor beras sepanjang 2019-2021.
Selain ekstensifikasi dan diversifikasi pangan, keberhasilan kali ini tidak lepas dari upaya intensifikasi lewat penggunaan varietas unggul, pemupukan berimbang, kredit dalam bentuk KUR (Kredit Usaha Rakyat), dan pengendalian hama penyakit. Meskipun lambat, secara khusus tingkat konsumsi beras terus menurun.
Konsumsi beras perkapita per tahun pada pada 2015 masih 96,9 kg, turun menjadi 94,0 kg pada 2020. Sayangnya, konsumsi beras yang menurun ini bukan beralih ke pangan lokal, tetapi ke terigu yang sepenuhnya berbasis impor. Ini diversifikasi yang salah karena kian memperbesar impor.
Andil pembangunan infrastruktur pertanian, seperti jaringan irigasi, bendungan, dan embung, yang dibangun sejak 2015 tentu amat besar. Sampai saat ini telah dibangun 29 bendungan besar.
Keberadaan bendungan ini telah mendongkrak indeks pertanaman rerata nasional jadi 147%. Sampai 2024, akan dibangun 61 bendungan plus 4.500 embung, dan 1,1 juta jaringan irigasi. Kehadiran bendungan, embung, dan jaringan irigasi ini akan meningkatkan indeks pertanaman, yang ujung-ujungnya menaikkan produksi.
Masalahnya, prestasi ini tidak seiring sejalan dengan kesejahteraan petani sebagai produsen gabah dan penggilingan sebagai produsen beras. Sejak ada beleid harga eceran tertinggi (HET) beras, September 2017, petani menerima harga gabah yang rendah dan terus menurun.
tulis komentar anda