Di Balik Penghargaan IRRI

Selasa, 23 Agustus 2022 - 13:52 WIB
loading...
Di Balik Penghargaan IRRI
Khudori (Foto; Ist)
A A A
Khudori
Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) dan Komite Pendayagunaan Pertanian (KPP)

PEMERINTAH Indonesia menerima penghargaan dari Internationl Rice Research Institute (IRRI), pada 14 Agustus 2022. Penghargaan tersebut bertajuk Acknowledgment for Achieving Agri-food System Resiliency and Rice Self-Sufficiency during 2019-2021 through the Application of Rice Innovation Technology.

Lewat penghargaan ini, institusi riset padi terkemuka di Filipina itu setidaknya mengakui dua hal. Pertama, sistem pertanian-pangan Indonesia tangguh. Kedua, Indonesia telah berswasembada beras periode 2019-2021.

Di tengah tantangan yang tak mudah, baik karena pandemi Covid-19 yang belum sepenuhnya usai maupun geopolitik global yang tidak menentu karena perang Rusia-Ukraina, prestasi ini patut disyukuri. Prestasi ini makin bermakna karena diterima jelang perayaan 77 tahun Indonesia merdeka.

Khusus swasembada beras, ini seolah mengulang capaian pada 1984: Indonesia diganjar penghargaan Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) karena mampu swasembada beras. Capaian itu hanya bisa dipertahankan beberapa tahun. Dalam periode panjang, berdekade-dekade, Indonesia menjadi importir beras rutin.

Sebenarnya, pengakuan Indonesia tidak mengimpor beras periode 2019-2021 itu khusus untuk beras umum atau beras medium, yang impornya hanya bisa dilakukan oleh Bulog. Di luar itu, Indonesia masih mengimpor beras khusus antara 350.000 hingga 400.000-an ton per tahun.

Dikaitkan dengan konsumsi beras yang mencapai 30 juta ton per tahun, impor ini hanya setara 1,16-1,33% alias kecil. Prestasi ini, sekali lagi, selain patut disyukuri juga membanggakan. Apalagi, pandemi Covid-19 telah memukul semua sektor.

Selama 2,5 tahun pandemi Covid-19, pertanian terbukti paling tangguh. Ketika sektor lain terpukul, pertanian tetap tumbuh. Seperti yang sudah-sudah, kala terjadi krisis atau pandemi, pertanian jadi penolong akhir (the last resort). Pertanian lebih mudah menyesuaikan kala pandemi menuntut jaga jarak dan menekan mobilitas.

Ditambah iklim bersahabat sejak 2020 yang ditandai La Nina tiga tahun berturut-turut dan pendampingan intensif Kementerian Pertanian, produksi aneka komoditas pangan bisa dijaga baik.

Khusus beras, produksi naik dari 31,31 juta ton pada 2019 menjadi 31,49 juta ton pada 2020 dan turun jadi 31,35 juta ton pada 2021. Hal yang menggembirakan, produktivitas terus mengalami perbaikan: dari 5,11 ton/ha (2019) jadi 5,12 ton/ha (2020) dan 5,22 ton/ha (2021). Dengan tingkat konsumsi sekitar 30 juta ton beras/tahun, surplus beras cukup besar.

Survei cadangan beras nasional oleh BPS, Juni 2022, menemukan stok beras akhir Juni mencapai 9,71 juta ton. Stok ini tersebar di rumah tangga (67,94%), Bulog (11,4%), pedagang (10,67%), penggilingan (7,15%), dan industri serta horeka (2,84%).

Dari sisi data, sejak BPS menggunakan metode Kerangka Sampling Area (KSA) pada 2018, data produksi padi secara nasional hanya satu. Baik luas panen, produksi gabah, produksi beras hingga tingkat konsumsi.

Data KSA diyakini memiliki presisi dan akurasi tinggi. Selain tak ada lagi perdebatan perbedaan data antarkementerian/lembaga, data yang akurat membuat basis kebijakan bisa dipertanggungjawabkan dan menekan potensi salah. Termasuk kebijakan impor dan tidak impor beras sepanjang 2019-2021.

Selain ekstensifikasi dan diversifikasi pangan, keberhasilan kali ini tidak lepas dari upaya intensifikasi lewat penggunaan varietas unggul, pemupukan berimbang, kredit dalam bentuk KUR (Kredit Usaha Rakyat), dan pengendalian hama penyakit. Meskipun lambat, secara khusus tingkat konsumsi beras terus menurun.

Konsumsi beras perkapita per tahun pada pada 2015 masih 96,9 kg, turun menjadi 94,0 kg pada 2020. Sayangnya, konsumsi beras yang menurun ini bukan beralih ke pangan lokal, tetapi ke terigu yang sepenuhnya berbasis impor. Ini diversifikasi yang salah karena kian memperbesar impor.

Andil pembangunan infrastruktur pertanian, seperti jaringan irigasi, bendungan, dan embung, yang dibangun sejak 2015 tentu amat besar. Sampai saat ini telah dibangun 29 bendungan besar.

Keberadaan bendungan ini telah mendongkrak indeks pertanaman rerata nasional jadi 147%. Sampai 2024, akan dibangun 61 bendungan plus 4.500 embung, dan 1,1 juta jaringan irigasi. Kehadiran bendungan, embung, dan jaringan irigasi ini akan meningkatkan indeks pertanaman, yang ujung-ujungnya menaikkan produksi.

Masalahnya, prestasi ini tidak seiring sejalan dengan kesejahteraan petani sebagai produsen gabah dan penggilingan sebagai produsen beras. Sejak ada beleid harga eceran tertinggi (HET) beras, September 2017, petani menerima harga gabah yang rendah dan terus menurun.

Pada periode 2016-2017 harga gabah kering panen (GKP) di tingkat petani sebesar Rp4.619/kg, merosot jadi Rp 4.589/kg periode Januari 2021 hingga April 2022. Pertumbuhan harga GKP bulanan menjadi negatif 0,48%. Bandingkan dengan pertumbuhan bulanan harga GKP periode 2011-2015, yang positif 0,69% (Sawit, 2022).

Nasib serupa terjadi pada penggilingan padi. Harga beras di konsumen terus tertekan. Harga beras hampir tidak bergerak naik dua tahun terakhir, baik beras kualitas medium maupun premium. Pertumbuhan harga beras medium bulanan juga minus 0,63%. Perdagangan beras lunglai, karena perbedaan harga antarmusim dan antarwilayah hampir tidak terjadi.

Tingkat stabilisasi harga beras yang diukur dengan coefficient of variation sangat rendah, hanya 1,2% periode Januari 2021 hingga April 2022. Sedangkan periode 2016-2017 mencapai 4,4% (Sawit, 2022). Secara keseluruhan, konsumen diuntungkan. Tapi beban yang ditanggung petani dan penggilingan padi amat besar dan memberatkan.

Bagi mereka yang menggunakan “kaca mata kuda”, harga gabah dan beras stabil adalah prestasi membanggakan bagi pemerintah. Stabilnya pasokan dan harga membuat inflasi yang disulut oleh beras akan rendah. Tapi pandangan ini amat bias kepentingan konsumen dan abai kepentingan produsen.

Tentu ini tak adil. Jika dikaitkan dengan luas panen padi yang menurun sebesar 245.454 ha pada 2021, tentu patut bertanya: Apakah mereka kecewa lalu tak lagi menanam padi? Inilah saatnya me-review semua kebijakan perberasan. Tujuannya untuk mempertemukan kepentingan semua pihak secara adil.

Baca Juga: koran-sindo.com
(bmm)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1251 seconds (0.1#10.140)