Polemik Tayangan Netflix
Selasa, 30 Juni 2020 - 08:00 WIB
Upaya uji materiil melalui MK juga dapat dimaknai sebagai upaya mendorong persaingan usaha yang sehat sebagaimana dimaksud dalam UU No. 5/1999 dalam industri penyiaran. Pembedaan regulasi hingga pembedaan perlakuan dalam hal ini akan melahirkan persaingan usaha yang tidak sehat dan pada akhirnya merugikan layanan konvensional berbasis pemancar (transmisi).
Pada esensinya sifat dari layanan konvensional dan layanan video on demand berbasis over the top , seperti Netflix adalah sama, namun hanya dibedakan oleh cara penyampaian melalui pemancar dan melalui internet. Kemudian perbedaan kedua dalam hal ini pada layanan konvensional sifat penyiaran adalah serentak karena menggunakan media pemancar, sedangkan pada layanan video on demand (VoD) bersifat ‘on demand ’ dan menggunakan media internet maka tidak bersifat serentak.
Perbedaan inilah membuat layanan video on demand berbasis over the top , seperti Netflix dan YouTube tidak memenuhi kualifikasi Pasal 1 ayat (2) UU No. 32/2002 tentang Penyiaran. Pokok dari persoalan uji materiil yang dimohonkan melalui MK adalah frasa kata "dapat diterima secara serentak dan bersamaan oleh masyarakat dengan perangkat penerima siaran" yang membuat Netflix dan YouTube bukan merupakan bagian dari subjek diatur dalam UU Penyiaran sehingga dasar hukum layanan video on demand berbasis over the top , seperti Netflix dan YouTube menjadi tidak jelas karena hanya memedomani surat edaran (SE) saja.
Sejatinya, jika mengacu pada SE No. 3/2016 tentang pedoman layanan video on demand berbasis over the top , dalam angka 5 surat edaran tersebut telah dijelaskan mengenai teknis dan batasan yang diizinkan pemerintah dalam penyediaan layanan video on demand berbasis over the top . Artinya, kini dalam konteks uji materiil terhadap Pasal 1 ayat (2) UU No. 32/2002 tentang Penyiaran adalah perlu dilakukan sinkronisasi antara Pasal 1 ayat (2) UU Penyiaran dan substansi angka 5 SE No. 3/2016.
Dalam hal ini definisi Pasal 1 ayat (2) UU Penyiaran bisa diperluas oleh putusan MK nanti sehingga mencakup substansi angka 5 dalam SE No. 3/2016. Jika demikian, maka layanan video on demand berbasis over the top , seperti Netflix merupakan subjek yang diatur dalam UU Penyiaran. Melalui perluasan Pasal 1 ayat (2) UU Penyiaran, maka konsekuensinya adalah, baik Netflix maupun layanan video on demand berbasis over the top lainnya turut menjadi objek pengawasan komisi penyiaran Indonesia (KPI) sebagaimana halnya layanan konvensional berbasis pemancar (transmisi).
Dalam konteks ini langkah Telkom yang segera membuka blokir atas layanan Netflix hanya karena Netflix kini memiliki menu parental kontrol, seperti ‘takedown policy ’ patut disayangkan. Pasalnya, hal tersebut berbeda dengan pengawasan oleh KPI sebagai bentuk kehadiran negara mengawasi industri penyiaran agar sesuai dengan ideologi bangsa. Bukan merupakan hal baru lagi ketika anak seusia SLTP bisa bercerita tentang konflik rumah tangga dalam drama Korea yang ditonton melalui Netflix atau banyaknya substansi YouTube yang sebenarnya justru merusak moral dan tidak mendidik untuk sekadar mencari viewers.
Dalam hal ini, jika hasil uji material melalui MK memasukkan layanan video on demand berbasis over the top dalam subjek yang diatur UU Penyiaran, maka selain akan menciptakan keadilan dalam persaingan usaha karena tidak adanya pembedaan regulasi dan pembedaan perlakuan, dalam hal ini juga memberi manfaat bagi layanan video on demand berbasis over the top, yakni adanya dasar hukum dan legalitas lebih kuat dibandingkan dengan sekadar surat edaran.
Bagi masyarakat, pengawasan oleh KPI terhadap tayangan layanan video on demand berbasis over the top juga menghindarkan masyarakat dari tayangan tidak patut dikonsumsi oleh masyarakat. Selain itu, juga mewujudkan standar substansi tayangan yang sama antara layanan konvensional berbasis pemancar (transmisi) dan layanan video on demand berbasis over the top sehingga akan terwujud industri penyiaran yang sehat dan bermanfaat bagi masyarakat luas.
Pada esensinya sifat dari layanan konvensional dan layanan video on demand berbasis over the top , seperti Netflix adalah sama, namun hanya dibedakan oleh cara penyampaian melalui pemancar dan melalui internet. Kemudian perbedaan kedua dalam hal ini pada layanan konvensional sifat penyiaran adalah serentak karena menggunakan media pemancar, sedangkan pada layanan video on demand (VoD) bersifat ‘on demand ’ dan menggunakan media internet maka tidak bersifat serentak.
Perbedaan inilah membuat layanan video on demand berbasis over the top , seperti Netflix dan YouTube tidak memenuhi kualifikasi Pasal 1 ayat (2) UU No. 32/2002 tentang Penyiaran. Pokok dari persoalan uji materiil yang dimohonkan melalui MK adalah frasa kata "dapat diterima secara serentak dan bersamaan oleh masyarakat dengan perangkat penerima siaran" yang membuat Netflix dan YouTube bukan merupakan bagian dari subjek diatur dalam UU Penyiaran sehingga dasar hukum layanan video on demand berbasis over the top , seperti Netflix dan YouTube menjadi tidak jelas karena hanya memedomani surat edaran (SE) saja.
Sejatinya, jika mengacu pada SE No. 3/2016 tentang pedoman layanan video on demand berbasis over the top , dalam angka 5 surat edaran tersebut telah dijelaskan mengenai teknis dan batasan yang diizinkan pemerintah dalam penyediaan layanan video on demand berbasis over the top . Artinya, kini dalam konteks uji materiil terhadap Pasal 1 ayat (2) UU No. 32/2002 tentang Penyiaran adalah perlu dilakukan sinkronisasi antara Pasal 1 ayat (2) UU Penyiaran dan substansi angka 5 SE No. 3/2016.
Dalam hal ini definisi Pasal 1 ayat (2) UU Penyiaran bisa diperluas oleh putusan MK nanti sehingga mencakup substansi angka 5 dalam SE No. 3/2016. Jika demikian, maka layanan video on demand berbasis over the top , seperti Netflix merupakan subjek yang diatur dalam UU Penyiaran. Melalui perluasan Pasal 1 ayat (2) UU Penyiaran, maka konsekuensinya adalah, baik Netflix maupun layanan video on demand berbasis over the top lainnya turut menjadi objek pengawasan komisi penyiaran Indonesia (KPI) sebagaimana halnya layanan konvensional berbasis pemancar (transmisi).
Dalam konteks ini langkah Telkom yang segera membuka blokir atas layanan Netflix hanya karena Netflix kini memiliki menu parental kontrol, seperti ‘takedown policy ’ patut disayangkan. Pasalnya, hal tersebut berbeda dengan pengawasan oleh KPI sebagai bentuk kehadiran negara mengawasi industri penyiaran agar sesuai dengan ideologi bangsa. Bukan merupakan hal baru lagi ketika anak seusia SLTP bisa bercerita tentang konflik rumah tangga dalam drama Korea yang ditonton melalui Netflix atau banyaknya substansi YouTube yang sebenarnya justru merusak moral dan tidak mendidik untuk sekadar mencari viewers.
Dalam hal ini, jika hasil uji material melalui MK memasukkan layanan video on demand berbasis over the top dalam subjek yang diatur UU Penyiaran, maka selain akan menciptakan keadilan dalam persaingan usaha karena tidak adanya pembedaan regulasi dan pembedaan perlakuan, dalam hal ini juga memberi manfaat bagi layanan video on demand berbasis over the top, yakni adanya dasar hukum dan legalitas lebih kuat dibandingkan dengan sekadar surat edaran.
Bagi masyarakat, pengawasan oleh KPI terhadap tayangan layanan video on demand berbasis over the top juga menghindarkan masyarakat dari tayangan tidak patut dikonsumsi oleh masyarakat. Selain itu, juga mewujudkan standar substansi tayangan yang sama antara layanan konvensional berbasis pemancar (transmisi) dan layanan video on demand berbasis over the top sehingga akan terwujud industri penyiaran yang sehat dan bermanfaat bagi masyarakat luas.
(ras)
tulis komentar anda