Polemik Tayangan Netflix

Selasa, 30 Juni 2020 - 08:00 WIB
Rio Christiawan
Dr. Rio Christiawan, S.H, M.Hum, M.Kn

Pengamat Hukum Bisnis

Belakangan ini Netflix menjadi polemik setelah TVRI menayangkan konten Netflix sejak 20 Juni 2020. Dalam hal ini, penyebutan istilah ‘konten’ pada Netflix merujuk karena tidak memenuhi substansi siaran sebagaimana diatur dalam Undang-Undang (UU) Penyiaran, bahkan hingga kini eksistensi Netflix tersebut masih diuji pada persidangan di MK. Langkah TVRI menayangkan konten Netflix tersebut patut disayangkan. Pasalnya, akan membuat pemahaman arti siaran dan video on demand menjadi rancu, termasuk TVRI seolah melegalisasi dengan konten tanpa pengawasan Komisi Penyiaran dalam siaran televisi milik negara.

Kini terminologi ‘siaran’ dan video on demand sedang diuji secara materiil (judicial review ) pada Pasal 1 ayat (2) UU No. 32/2002 tentang Penyiaran. Definisi penyiaran pada Pasal 1 ayat (2), yakni "Penyiaran adalah kegiatan pemancarluasan siaran melalui sarana pemancaran dan/atau sarana transmisi di darat, di laut atau di antariksa dengan menggunakan spektrum frekuensi radio melalui udara, kabel, dan/atau media lainnya untuk dapat diterima secara serentak dan bersamaan oleh masyarakat dengan perangkat penerima siaran". Definisi ini dipandang sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman sehingga perlu disesuaikan melalui langkah uji materiil melalui MK.

Dasar permohonan dari pemohonan uji materiil adalah kini tayangan berbasis video on demand (VoD) seperti Netflix tidak diatur dalam UU Penyiaran, meskipun esensinya adalah menyiarkan sesuatu untuk dilihat oleh khalayak ramai. Tayangan video on demand (VoD) seperti Netflix dapat dinikmati konsumen berdasarkan layanan media over the top , yakni layanan berbasis pada internet sehingga pada sisi ini jelas bahwa langkah TVRI menayangkan konten Netflix adalah seolah ‘mendahului’ putusan MK.



Saat ini tayangan video on demand (VoD) berdasarkan layanan media over the top hanya diatur melalui surat edaran (SE) Menteri Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia No. 3/2016 Tentang Penyediaan Layanan Aplikasi dan/atau Konten Melalui Internet (over the top ). Persoalannya dalam surat edaran tersebut meskipun secara substansial telah mengatur detail layanan berbasis over the top , namun sebagaimana dijelaskan Atamimi (2001), karena hanya bersifat surat edaran, maka selain tidak mengandung sanksi dan tidak dapat dipaksakan keberlakuannya (non enforceable ).

Jika mengacu pada UU No. 15/2019 tentang Perubahan atas UU No. 12/2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan tidak dikenal produk hukum surat edaran. Hadjon (1996), mendefinisikan surat edaran hanyalah surat koordinasi antarinstansi pemerintah dan tidak memiliki kekuatan mengikat seperti peraturan perundangan. Melihat pada muatan surat edaran tersebut, dalam hal ini pemerintah telah mengakui penggunaan layanan berbasis over the top seperti Netflix.

Sinkronisasi dan Pengawasan

Putusan MK yang diharapkan dari uji materiil Pasal 1 ayat (2) UU No. 32/2002 tentang Penyiaran adalah adanya sinkronisasi aturan antara layanan berbasis over the top dan layanan konvensional berbasis transmisi atau pemancar. Tanpa adanya aturan yang sama dan sinkron, maka kondisi ini akan berpotensi menyebabkan persaingan usaha yang tidak sehat. Pembedaan regulasi tersebut akan memunculkan persoalan ‘fairness ’ dalam industri penyiaran, yakni pembedaan regulasi akan melahirkan pembedaan perlakuan antara layanan berbasis over the top , seperti Netflix dan layanan konvensional berbasis pemancar (transmisi) yang kini telah tunduk pada UU Penyiaran.
Dapatkan berita terbaru, follow WhatsApp Channel SINDOnews sekarang juga!
Halaman :
tulis komentar anda
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More