Polemik Seragam Sekolah dan Resonansi Intoleransi

Rabu, 10 Agustus 2022 - 11:21 WIB
Hemat saya, pemaksaan penggunaan seragam khas agama tertentu telah merobek nalar sekaligus derajat martabat kemanusiaan. Pada tataran teoritisnya, harus diakui bahwa diskursus penggunaan jilbab menjadi perdebatan panjang dengan argumentasi yang berbeda-beda. Tapi jika sekolah masuk pada persoalan privat dan kedaulatan tubuh semacam ini, itu berarti telah mencederai kedaulatan ruang gerak dan ekspresi peserta didik dan sekaligus juga mengganggu keyakinan beragama yang telah dijamin oleh Undang-Undang Dasar 1945, dan secara khusus merobek butir-butirConvention on Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (CEDAW).

Melayani Keragaman

Pesan susbtansial dari Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Pendidikan, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Agama tentang Penggunaan Pakaian Seragam dan Atribut bagi Tenaga Kependidikan di lingkungan Sekolah yang diselenggarakan pemerintah daerah pada jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah sejatinya untuk menanamkan toleransi dan menghindari segregasi. Akan tetapi, Mahkamah Agung (MA) telah membatalkan SKB 3 Menteri tersebut. Padahal, jelas bahwa SKB ini mengatur tentang sekolah negeri yang diselenggarakan oleh pemerintah.

Sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang (UU) No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) pada pasal 4 ayat 1, prinsip penyelenggaraan pendidikan di sekolah harus demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, serta kemajemukan bangsa. Dari penegasan ini, satuan pendidikan memiliki kewajiban untuk melayani keragaman dan mencerdaskan keberagamaan.

Melayani keragaman, artinya sekolah tidak menjadi ruang untuk menyemai dan melahirkan diskriminasi. Sekolah memiliki tanggung jawab besar untuk meminimalisasi pandangan intoleran baik terhadap agama, ras, etnis dan lain sebagainya. Keragaman menjadi modal untuk merajut solidaritas di tengah realitas anak bangsa yang multikultural dengan laku teladan yang baik, adil, setara dan tidak ada unsur pemaksaan.

Saat ini, pemerintah telah menyosialisasikan kebijakan Kurikulum Merdeka yang secara substansi sejalan dengan penguatan moderasi beragama. Profil pelajar Pancasila yang bercirikan beriman dan bertakwa, mandiri, berkebinekaan global, gotong royong, kritis, dan kreatif, menjadi pembuka ruang yang cukup luas untuk selalu menanamkan persaudaraan dan harmoni keberagaman. Dengan demikian, satuan pendidikan harus menempatkan diri pada suatu kesamaan identitas dalam perbedaan (identity in difference) yang mengokohkan tali persaudaraan. Sekolah melindungi dan merawat realitas keragaman anak didik untuk dibawa dalam kebersamaan identitas (difference in identity).

Sementara mencerdaskan keberagamaan, sekolah berarti turut andil memperkuat nilai-nilai persatuan bangsa, toleransi, moderasi beragama dengan bingkai kebhinekaan yang ada di Indonesia. Toleransi menjadi kata kunci agar kehidupan keberagamaan berjalan damai dan sepi dari konflik dan derita akibat tumbuhnya segregasi sosial. Sekolah menjadi tempat paling dini kedua setelah lingkungan keluarga untuk terus menumbuhkan semangat kerukunan.

Sebagaimana yang ditegaskan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas saat memberikan apresiasi pada Gerakan Siswa Moderat (GSM) oleh Kementerian Agama Kabupaten Lumajang, bahwa penguatan moderasi beragama dimulai dari tahapan yang paling dini dalam keluarga dan juga lembaga pendidikan. Artinya, sekolah berperan penting dalam mengokohkan generasi milenial melalui penguatan kerukunan umat beragama untuk terus merawat keberlangsungan harmoni keberagamaan. Semoga.

Baca Juga: koran-sindo.com
Dapatkan berita terbaru, follow WhatsApp Channel SINDOnews sekarang juga!
(bmm)
Halaman :
tulis komentar anda
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More