Polemik Seragam Sekolah dan Resonansi Intoleransi

Rabu, 10 Agustus 2022 - 11:21 WIB
Wildani Hefni (Foto: Ist)
WILDANI HEFNI

Kepala Pusat Penelitian LP2M, Dosen Fakultas Syariah dan Pascasarjana UIN Kiai Haji Achmad Siddiq Jember

PEMAKSAAN terhadap siswa untuk memakai seragam khas agama tertentu kembali mencuat. Seorang siswi di Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 1 Banguntapan, Kabupaten Bantul Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) diduga dipaksa oleh gurunya untuk memakai jilbab hingga membuat depresi. Atas kejadian tersebut, Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) X menonaktifkan kepala sekolah (Kepsek) dan dua guru Bimbingan Konseling (BK) serta satu guru wali kelas SMAN 1 Banguntapan, Bantul (Sindonews, 04/8/2022).

Kejadian seperti ini sejatinya merupakan fenomena gunung es. Tidak menutup kemungkinan juga terjadi di daerah lain hanya saja tidak terungkap ke publik. Realitas ini kontra produktif dengan tuntutan dasar tata kebinekaan yang sudah seharusnya dijungjung tinggi oleh satuan pendidikan. Pengelola satuan pendidikan sudah semestinya memiliki kesadaran dan pemahaman yang sama bahwa generasi muda saat ini berperan penting dalam pengejewantahan nilai-nilai toleransi, kebinekaan dan kebebasan. Realitas yang terjadi justru kontra produktif. Alih-alih merawat keragaman, satuan pendidikan berperan ganda menjadi agen penyubur intoleransi dan diskriminasi.

Idealnya, peserta didik memiliki kebebasan untuk merayakan keberagaman. Persoalan mengenai seragam sekolah ini tidak dipaksakan dengan aturan-aturan diskriminatif, bahkan tekanan. Jika ini terus terjadi, polemik ini akan memperlebar arena diskriminasi dan menyulut resonansi intoleransi keagamaan.



Sentimen dan Diskriminasi

Ketidakmampuan untuk menata sistem yang toleran dan moderat melahirkan konstruksi pemahaman yang absolutis hingga mudah menyulut diskriminasi dan segregasi. Ibarat menanam jagung, satuan pendidikan memberikan saluran air yang cukup untuk terus menumbuhkan bibit-bibit intoleransi dan diskriminasi. Realitas ini menjadi pendorong kuat penyebaran intoleransi, pembibitan radikalisme dan penumbuhan diskriminasi yang saat ini memanfaatkan platform digital untuk menyasar generasi milenial.

Temuan riset yang dilakukan Infid bersama Lembaga Demografi FEB UI pada tahun 2021 menunjukkan kecenderungan eksklusivitas beragama dari generasi milenial. Sebagaimana dilansir dalam siaran pers Infid, hasil riset yang dilakukan di 18 provinsi menunjukkan 40% responden mendukung peraturan berpakaian di sekolah yang selaras dengan mayoritas agama di daerah tertentu. Selain itu, berkaitan dengan isu kepemimpinan, hanya 53% responden Gen Z mau menerima pemimpin dari kelompok minoritas. Pada sisi yang lain, 35% responden muda menilai kelompok suku/adat minoritas tidak layak menjadi pemimpin. Bahkan, hanya sekitar 19% yang menilai pemeluk agama minoritas layak untuk menjadi Presiden (Infid: 14 Juli 2022).

Kondisi tersebut sangat mencemaskan jika dikaitkan dengan beberapa peristiwa perundungan yang dalam satu minggu terakhir ini menjadi perbicangan publik. Sekolah yang semestinya berperan merawat sikap-sikap positif justru berbelok arah. Sekolah yang merupakan rumah kedua bagi seorang anak belum mampu mengelola sentimen dan emosi yang kerapkali meletup berujung diskriminasi. Dengan kata lain, sekolah belum optimal untuk difungsikan sebagai tempat penumbuhan rasa aman dan nyaman. Sekolah masih menyisakan persoalan krusial untuk memastikan bahwa tidak ada diskriminasi danbullyingutamanya bagi peserta didik, pendidik, dan tenaga kependidikan.
Dapatkan berita terbaru, follow WhatsApp Channel SINDOnews sekarang juga!
Halaman :
tulis komentar anda
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More