Polemik Seragam Sekolah dan Resonansi Intoleransi
loading...
A
A
A
WILDANI HEFNI
Kepala Pusat Penelitian LP2M, Dosen Fakultas Syariah dan Pascasarjana UIN Kiai Haji Achmad Siddiq Jember
PEMAKSAAN terhadap siswa untuk memakai seragam khas agama tertentu kembali mencuat. Seorang siswi di Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 1 Banguntapan, Kabupaten Bantul Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) diduga dipaksa oleh gurunya untuk memakai jilbab hingga membuat depresi. Atas kejadian tersebut, Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) X menonaktifkan kepala sekolah (Kepsek) dan dua guru Bimbingan Konseling (BK) serta satu guru wali kelas SMAN 1 Banguntapan, Bantul (Sindonews, 04/8/2022).
Kejadian seperti ini sejatinya merupakan fenomena gunung es. Tidak menutup kemungkinan juga terjadi di daerah lain hanya saja tidak terungkap ke publik. Realitas ini kontra produktif dengan tuntutan dasar tata kebinekaan yang sudah seharusnya dijungjung tinggi oleh satuan pendidikan. Pengelola satuan pendidikan sudah semestinya memiliki kesadaran dan pemahaman yang sama bahwa generasi muda saat ini berperan penting dalam pengejewantahan nilai-nilai toleransi, kebinekaan dan kebebasan. Realitas yang terjadi justru kontra produktif. Alih-alih merawat keragaman, satuan pendidikan berperan ganda menjadi agen penyubur intoleransi dan diskriminasi.
Idealnya, peserta didik memiliki kebebasan untuk merayakan keberagaman. Persoalan mengenai seragam sekolah ini tidak dipaksakan dengan aturan-aturan diskriminatif, bahkan tekanan. Jika ini terus terjadi, polemik ini akan memperlebar arena diskriminasi dan menyulut resonansi intoleransi keagamaan.
Sentimen dan Diskriminasi
Ketidakmampuan untuk menata sistem yang toleran dan moderat melahirkan konstruksi pemahaman yang absolutis hingga mudah menyulut diskriminasi dan segregasi. Ibarat menanam jagung, satuan pendidikan memberikan saluran air yang cukup untuk terus menumbuhkan bibit-bibit intoleransi dan diskriminasi. Realitas ini menjadi pendorong kuat penyebaran intoleransi, pembibitan radikalisme dan penumbuhan diskriminasi yang saat ini memanfaatkan platform digital untuk menyasar generasi milenial.
Temuan riset yang dilakukan Infid bersama Lembaga Demografi FEB UI pada tahun 2021 menunjukkan kecenderungan eksklusivitas beragama dari generasi milenial. Sebagaimana dilansir dalam siaran pers Infid, hasil riset yang dilakukan di 18 provinsi menunjukkan 40% responden mendukung peraturan berpakaian di sekolah yang selaras dengan mayoritas agama di daerah tertentu. Selain itu, berkaitan dengan isu kepemimpinan, hanya 53% responden Gen Z mau menerima pemimpin dari kelompok minoritas. Pada sisi yang lain, 35% responden muda menilai kelompok suku/adat minoritas tidak layak menjadi pemimpin. Bahkan, hanya sekitar 19% yang menilai pemeluk agama minoritas layak untuk menjadi Presiden (Infid: 14 Juli 2022).
Kondisi tersebut sangat mencemaskan jika dikaitkan dengan beberapa peristiwa perundungan yang dalam satu minggu terakhir ini menjadi perbicangan publik. Sekolah yang semestinya berperan merawat sikap-sikap positif justru berbelok arah. Sekolah yang merupakan rumah kedua bagi seorang anak belum mampu mengelola sentimen dan emosi yang kerapkali meletup berujung diskriminasi. Dengan kata lain, sekolah belum optimal untuk difungsikan sebagai tempat penumbuhan rasa aman dan nyaman. Sekolah masih menyisakan persoalan krusial untuk memastikan bahwa tidak ada diskriminasi danbullyingutamanya bagi peserta didik, pendidik, dan tenaga kependidikan.
Hemat saya, pemaksaan penggunaan seragam khas agama tertentu telah merobek nalar sekaligus derajat martabat kemanusiaan. Pada tataran teoritisnya, harus diakui bahwa diskursus penggunaan jilbab menjadi perdebatan panjang dengan argumentasi yang berbeda-beda. Tapi jika sekolah masuk pada persoalan privat dan kedaulatan tubuh semacam ini, itu berarti telah mencederai kedaulatan ruang gerak dan ekspresi peserta didik dan sekaligus juga mengganggu keyakinan beragama yang telah dijamin oleh Undang-Undang Dasar 1945, dan secara khusus merobek butir-butirConvention on Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (CEDAW).
Melayani Keragaman
Pesan susbtansial dari Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Pendidikan, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Agama tentang Penggunaan Pakaian Seragam dan Atribut bagi Tenaga Kependidikan di lingkungan Sekolah yang diselenggarakan pemerintah daerah pada jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah sejatinya untuk menanamkan toleransi dan menghindari segregasi. Akan tetapi, Mahkamah Agung (MA) telah membatalkan SKB 3 Menteri tersebut. Padahal, jelas bahwa SKB ini mengatur tentang sekolah negeri yang diselenggarakan oleh pemerintah.
Sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang (UU) No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) pada pasal 4 ayat 1, prinsip penyelenggaraan pendidikan di sekolah harus demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, serta kemajemukan bangsa. Dari penegasan ini, satuan pendidikan memiliki kewajiban untuk melayani keragaman dan mencerdaskan keberagamaan.
Melayani keragaman, artinya sekolah tidak menjadi ruang untuk menyemai dan melahirkan diskriminasi. Sekolah memiliki tanggung jawab besar untuk meminimalisasi pandangan intoleran baik terhadap agama, ras, etnis dan lain sebagainya. Keragaman menjadi modal untuk merajut solidaritas di tengah realitas anak bangsa yang multikultural dengan laku teladan yang baik, adil, setara dan tidak ada unsur pemaksaan.
Saat ini, pemerintah telah menyosialisasikan kebijakan Kurikulum Merdeka yang secara substansi sejalan dengan penguatan moderasi beragama. Profil pelajar Pancasila yang bercirikan beriman dan bertakwa, mandiri, berkebinekaan global, gotong royong, kritis, dan kreatif, menjadi pembuka ruang yang cukup luas untuk selalu menanamkan persaudaraan dan harmoni keberagaman. Dengan demikian, satuan pendidikan harus menempatkan diri pada suatu kesamaan identitas dalam perbedaan (identity in difference) yang mengokohkan tali persaudaraan. Sekolah melindungi dan merawat realitas keragaman anak didik untuk dibawa dalam kebersamaan identitas (difference in identity).
Sementara mencerdaskan keberagamaan, sekolah berarti turut andil memperkuat nilai-nilai persatuan bangsa, toleransi, moderasi beragama dengan bingkai kebhinekaan yang ada di Indonesia. Toleransi menjadi kata kunci agar kehidupan keberagamaan berjalan damai dan sepi dari konflik dan derita akibat tumbuhnya segregasi sosial. Sekolah menjadi tempat paling dini kedua setelah lingkungan keluarga untuk terus menumbuhkan semangat kerukunan.
Sebagaimana yang ditegaskan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas saat memberikan apresiasi pada Gerakan Siswa Moderat (GSM) oleh Kementerian Agama Kabupaten Lumajang, bahwa penguatan moderasi beragama dimulai dari tahapan yang paling dini dalam keluarga dan juga lembaga pendidikan. Artinya, sekolah berperan penting dalam mengokohkan generasi milenial melalui penguatan kerukunan umat beragama untuk terus merawat keberlangsungan harmoni keberagamaan. Semoga.
Baca Juga: koran-sindo.com
Kepala Pusat Penelitian LP2M, Dosen Fakultas Syariah dan Pascasarjana UIN Kiai Haji Achmad Siddiq Jember
PEMAKSAAN terhadap siswa untuk memakai seragam khas agama tertentu kembali mencuat. Seorang siswi di Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 1 Banguntapan, Kabupaten Bantul Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) diduga dipaksa oleh gurunya untuk memakai jilbab hingga membuat depresi. Atas kejadian tersebut, Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) X menonaktifkan kepala sekolah (Kepsek) dan dua guru Bimbingan Konseling (BK) serta satu guru wali kelas SMAN 1 Banguntapan, Bantul (Sindonews, 04/8/2022).
Kejadian seperti ini sejatinya merupakan fenomena gunung es. Tidak menutup kemungkinan juga terjadi di daerah lain hanya saja tidak terungkap ke publik. Realitas ini kontra produktif dengan tuntutan dasar tata kebinekaan yang sudah seharusnya dijungjung tinggi oleh satuan pendidikan. Pengelola satuan pendidikan sudah semestinya memiliki kesadaran dan pemahaman yang sama bahwa generasi muda saat ini berperan penting dalam pengejewantahan nilai-nilai toleransi, kebinekaan dan kebebasan. Realitas yang terjadi justru kontra produktif. Alih-alih merawat keragaman, satuan pendidikan berperan ganda menjadi agen penyubur intoleransi dan diskriminasi.
Idealnya, peserta didik memiliki kebebasan untuk merayakan keberagaman. Persoalan mengenai seragam sekolah ini tidak dipaksakan dengan aturan-aturan diskriminatif, bahkan tekanan. Jika ini terus terjadi, polemik ini akan memperlebar arena diskriminasi dan menyulut resonansi intoleransi keagamaan.
Sentimen dan Diskriminasi
Ketidakmampuan untuk menata sistem yang toleran dan moderat melahirkan konstruksi pemahaman yang absolutis hingga mudah menyulut diskriminasi dan segregasi. Ibarat menanam jagung, satuan pendidikan memberikan saluran air yang cukup untuk terus menumbuhkan bibit-bibit intoleransi dan diskriminasi. Realitas ini menjadi pendorong kuat penyebaran intoleransi, pembibitan radikalisme dan penumbuhan diskriminasi yang saat ini memanfaatkan platform digital untuk menyasar generasi milenial.
Temuan riset yang dilakukan Infid bersama Lembaga Demografi FEB UI pada tahun 2021 menunjukkan kecenderungan eksklusivitas beragama dari generasi milenial. Sebagaimana dilansir dalam siaran pers Infid, hasil riset yang dilakukan di 18 provinsi menunjukkan 40% responden mendukung peraturan berpakaian di sekolah yang selaras dengan mayoritas agama di daerah tertentu. Selain itu, berkaitan dengan isu kepemimpinan, hanya 53% responden Gen Z mau menerima pemimpin dari kelompok minoritas. Pada sisi yang lain, 35% responden muda menilai kelompok suku/adat minoritas tidak layak menjadi pemimpin. Bahkan, hanya sekitar 19% yang menilai pemeluk agama minoritas layak untuk menjadi Presiden (Infid: 14 Juli 2022).
Kondisi tersebut sangat mencemaskan jika dikaitkan dengan beberapa peristiwa perundungan yang dalam satu minggu terakhir ini menjadi perbicangan publik. Sekolah yang semestinya berperan merawat sikap-sikap positif justru berbelok arah. Sekolah yang merupakan rumah kedua bagi seorang anak belum mampu mengelola sentimen dan emosi yang kerapkali meletup berujung diskriminasi. Dengan kata lain, sekolah belum optimal untuk difungsikan sebagai tempat penumbuhan rasa aman dan nyaman. Sekolah masih menyisakan persoalan krusial untuk memastikan bahwa tidak ada diskriminasi danbullyingutamanya bagi peserta didik, pendidik, dan tenaga kependidikan.
Hemat saya, pemaksaan penggunaan seragam khas agama tertentu telah merobek nalar sekaligus derajat martabat kemanusiaan. Pada tataran teoritisnya, harus diakui bahwa diskursus penggunaan jilbab menjadi perdebatan panjang dengan argumentasi yang berbeda-beda. Tapi jika sekolah masuk pada persoalan privat dan kedaulatan tubuh semacam ini, itu berarti telah mencederai kedaulatan ruang gerak dan ekspresi peserta didik dan sekaligus juga mengganggu keyakinan beragama yang telah dijamin oleh Undang-Undang Dasar 1945, dan secara khusus merobek butir-butirConvention on Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (CEDAW).
Melayani Keragaman
Pesan susbtansial dari Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Pendidikan, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Agama tentang Penggunaan Pakaian Seragam dan Atribut bagi Tenaga Kependidikan di lingkungan Sekolah yang diselenggarakan pemerintah daerah pada jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah sejatinya untuk menanamkan toleransi dan menghindari segregasi. Akan tetapi, Mahkamah Agung (MA) telah membatalkan SKB 3 Menteri tersebut. Padahal, jelas bahwa SKB ini mengatur tentang sekolah negeri yang diselenggarakan oleh pemerintah.
Sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang (UU) No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) pada pasal 4 ayat 1, prinsip penyelenggaraan pendidikan di sekolah harus demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, serta kemajemukan bangsa. Dari penegasan ini, satuan pendidikan memiliki kewajiban untuk melayani keragaman dan mencerdaskan keberagamaan.
Melayani keragaman, artinya sekolah tidak menjadi ruang untuk menyemai dan melahirkan diskriminasi. Sekolah memiliki tanggung jawab besar untuk meminimalisasi pandangan intoleran baik terhadap agama, ras, etnis dan lain sebagainya. Keragaman menjadi modal untuk merajut solidaritas di tengah realitas anak bangsa yang multikultural dengan laku teladan yang baik, adil, setara dan tidak ada unsur pemaksaan.
Saat ini, pemerintah telah menyosialisasikan kebijakan Kurikulum Merdeka yang secara substansi sejalan dengan penguatan moderasi beragama. Profil pelajar Pancasila yang bercirikan beriman dan bertakwa, mandiri, berkebinekaan global, gotong royong, kritis, dan kreatif, menjadi pembuka ruang yang cukup luas untuk selalu menanamkan persaudaraan dan harmoni keberagaman. Dengan demikian, satuan pendidikan harus menempatkan diri pada suatu kesamaan identitas dalam perbedaan (identity in difference) yang mengokohkan tali persaudaraan. Sekolah melindungi dan merawat realitas keragaman anak didik untuk dibawa dalam kebersamaan identitas (difference in identity).
Sementara mencerdaskan keberagamaan, sekolah berarti turut andil memperkuat nilai-nilai persatuan bangsa, toleransi, moderasi beragama dengan bingkai kebhinekaan yang ada di Indonesia. Toleransi menjadi kata kunci agar kehidupan keberagamaan berjalan damai dan sepi dari konflik dan derita akibat tumbuhnya segregasi sosial. Sekolah menjadi tempat paling dini kedua setelah lingkungan keluarga untuk terus menumbuhkan semangat kerukunan.
Sebagaimana yang ditegaskan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas saat memberikan apresiasi pada Gerakan Siswa Moderat (GSM) oleh Kementerian Agama Kabupaten Lumajang, bahwa penguatan moderasi beragama dimulai dari tahapan yang paling dini dalam keluarga dan juga lembaga pendidikan. Artinya, sekolah berperan penting dalam mengokohkan generasi milenial melalui penguatan kerukunan umat beragama untuk terus merawat keberlangsungan harmoni keberagamaan. Semoga.
Baca Juga: koran-sindo.com
(bmm)