TKA dari China Terus Berdatangan, KSPI Tuntut Pemulangan
Minggu, 28 Juni 2020 - 11:00 WIB
JAKARTA - Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) mengecam kedatangan tenaga kerja asing (TKA) asal Tiongkok di Indonesia. Lapangan pekerjaan yang ada sebaiknya diberikan kepada masyarakat masyarakat Indonesia.
Pada 23 Juni lalu, 156 TKA Tiongkok sudah mendarat di Kendari, Sulawesi Tenggara (Sultra). Presiden KSPI Said Iqbal meminta pemerintah menarik kembali para TKA tersebut.
“Di tengah pandemi dan banyak buruh yang kehilangan pekerjaan, mengapa TKA justru diizinkan bekerja di Indonesia? Bukankah akan lebih jika pekerjaan tersebut diberikan untuk rakyat Indonesia,” ujarnya dalam keterangan tertulis yang diterima SINDOnews, Minggu (28/6/2020).
(Baca: Soal TKA China, Pemerintah Harus Perhatikan Psikologis Masyarakat)
Rencananya, ada sekitar 500 TKA Tiongkok yang akan bekerja di PT Virrtue Dragon Nickel Industry (VDNI). Sejak awal rencana itu mendapatkan penolakan luas dari masyarakat setempat hingga tokoh-tokoh di Jakarta.
Said Iqbal mendesak pemerintah untuk membataslkan masuknya TKA Tiongkok secara keseluruhan. Kedatangan TKA pada gelombang pertama itu dianggap telah mencederaia rasa keadilan pekerja lokal dan rakyat Indonesia.
KSPI menginginkan lapangan pekerjaan yang ada diberikan sepenuhnya kepada masyarakat Indonesia. Said Iqbal tidak sependapat dengan alasannya TKA Tiongkok diperlukan karena keahlian mereka belum dimilik masyarakat Indonesia.
Itu tidak masuk akal karena PT VDGI sudah cukup lama beroperasi di Konawe, Sultra. “Itu artinya selama ini perusahaan dan pemerintah gagal memenuhi persyaratan bahwa tKA yang bekerja di Indonesia harus tenaga ahli. Selain itu, harus melakukan transfer of knowledge dan transfer of job,” terangnya.
(Baca: KSPI Nilai PHK Karyawan Gojek Langgar Undang-Undang)
Dlam Undang-Undang (UU) Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, disebutkan satu orang TKA wajib didampingi 10 orang pekerja lokal. Jika TKA ini didampingi dan terjadi transfer pengetahuan, pekerjaan yang ada seharusnya sudah bisa ditangani pekerja lokal.
KSPI menilai hal tersebut merupakan pelanggaran terhadap ketentuan hukum yang mengatur penggunaan tenaga kerja asing. Pelanggaran lain adalah seharusnya para TKA bisa berbahasa Indonesia. Masalah komunikasi inilah bisa menghambat transfer of knowledge.
KSPI mengungkapkan lulusan-lulusan perguruan tinggi di Indonesia sudah banyak yang mumpuni dalam bekerja dan penguasaan teknologi di berbagai bidang. “Saya tidak yakin lulusan dari UI, ITB, dan kampus-kampus ternama di Indonesia tidak mampu memenuhi skill yang dibutuhkan di sana,” pungkasnya.
Pada 23 Juni lalu, 156 TKA Tiongkok sudah mendarat di Kendari, Sulawesi Tenggara (Sultra). Presiden KSPI Said Iqbal meminta pemerintah menarik kembali para TKA tersebut.
“Di tengah pandemi dan banyak buruh yang kehilangan pekerjaan, mengapa TKA justru diizinkan bekerja di Indonesia? Bukankah akan lebih jika pekerjaan tersebut diberikan untuk rakyat Indonesia,” ujarnya dalam keterangan tertulis yang diterima SINDOnews, Minggu (28/6/2020).
(Baca: Soal TKA China, Pemerintah Harus Perhatikan Psikologis Masyarakat)
Rencananya, ada sekitar 500 TKA Tiongkok yang akan bekerja di PT Virrtue Dragon Nickel Industry (VDNI). Sejak awal rencana itu mendapatkan penolakan luas dari masyarakat setempat hingga tokoh-tokoh di Jakarta.
Said Iqbal mendesak pemerintah untuk membataslkan masuknya TKA Tiongkok secara keseluruhan. Kedatangan TKA pada gelombang pertama itu dianggap telah mencederaia rasa keadilan pekerja lokal dan rakyat Indonesia.
KSPI menginginkan lapangan pekerjaan yang ada diberikan sepenuhnya kepada masyarakat Indonesia. Said Iqbal tidak sependapat dengan alasannya TKA Tiongkok diperlukan karena keahlian mereka belum dimilik masyarakat Indonesia.
Itu tidak masuk akal karena PT VDGI sudah cukup lama beroperasi di Konawe, Sultra. “Itu artinya selama ini perusahaan dan pemerintah gagal memenuhi persyaratan bahwa tKA yang bekerja di Indonesia harus tenaga ahli. Selain itu, harus melakukan transfer of knowledge dan transfer of job,” terangnya.
(Baca: KSPI Nilai PHK Karyawan Gojek Langgar Undang-Undang)
Dlam Undang-Undang (UU) Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, disebutkan satu orang TKA wajib didampingi 10 orang pekerja lokal. Jika TKA ini didampingi dan terjadi transfer pengetahuan, pekerjaan yang ada seharusnya sudah bisa ditangani pekerja lokal.
KSPI menilai hal tersebut merupakan pelanggaran terhadap ketentuan hukum yang mengatur penggunaan tenaga kerja asing. Pelanggaran lain adalah seharusnya para TKA bisa berbahasa Indonesia. Masalah komunikasi inilah bisa menghambat transfer of knowledge.
KSPI mengungkapkan lulusan-lulusan perguruan tinggi di Indonesia sudah banyak yang mumpuni dalam bekerja dan penguasaan teknologi di berbagai bidang. “Saya tidak yakin lulusan dari UI, ITB, dan kampus-kampus ternama di Indonesia tidak mampu memenuhi skill yang dibutuhkan di sana,” pungkasnya.
(muh)
tulis komentar anda