Sejarah Perang Padri, Taktik Licik Kolonialisme Belanda untuk Kuasai Minangkabau
Senin, 25 Juli 2022 - 16:24 WIB
JAKARTA - Mendengar istilah Perang Padri, sebagian masyarakat tentu sudah tidak asing dengannya. Di bangku sekolah, khususnya pelajaran sejarah pasti perang ini pernah disampaikan oleh para guru. Perang ini akan lekat kaitannya dengan seorang tokoh bernama Tuanku Imam Bonjol .
Perang Padri merupakan perang saudara yang terjadi di Sumatera Barat. Dalam sejarahnya, konflik ini berlangsung di wilayah Kerajaan Pagaruyung sekitar tahun 1803 sampai 1838.
Baca juga : Polemik Kamus Sejarah, Kemendikbud Diminta Tulis Sejarah Secara Jujur
Awalnya, pemicu perang padri berawal dari masalah agama antara Kaum Padri (kelompok agama) dengan kaum adat. Namun, Belanda menjadi tamu tak diundang dan turut ikut campur dalam konflik ini. Mereka sendiri menerapkan taktik adu domba untuk memecah rakyat Minangkabau.
Dikutip dari laman Cagar Budaya Kemdikbud, pemicu konflik ini didasari keinginan kalangan pemimpin ulama di kerajaan Pagaruyung untuk menerapkan dan menjalankan syariat Islam yang berpegang teguh pada Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Saw.
Setelahnya, para pemuka agama tersebut mengajak Yang Dipertuan Pagaruyung beserta kaum adat untuk meninggalkan kebiasaan-kebiasaannya yang tidak sesuai syariat Islam. Sayangnya, dalam beberapa pertemuan antara kedua kelompok ini tidak tercapai kata sepakat.
Alhasil, Kerajaan Pagaruyung mulai bergejolak. Kaum Padri dibawah pimpinan Tuanku Pasaman menyerang Pagaruyung pada tahun 1815 dan pecahlah pertempuran di Koto Tangah dekat Batu Sangkar. Dalam serangan ini, Sultan Arifin Muningsyah terpaksa melarikan diri dari ibukota kerajaan ke Lubuk Jambi.
Terdesak oleh Kaum Padri, Pada 21 Februari 1821, kaum Adat bekerja sama dengan Belanda dalam perjanjian yang ditandatangani di Padang. Sebagai bentuk kompensasi, Belanda akan mendapat hak akses dan penguasaan atas wilayah darek (pedalaman Minangkabau).
Baca : Ratusan Peluru Meriam Diduga Peninggalan Tuanku Imam Bonjol Ditemukan
Perang Padri merupakan perang saudara yang terjadi di Sumatera Barat. Dalam sejarahnya, konflik ini berlangsung di wilayah Kerajaan Pagaruyung sekitar tahun 1803 sampai 1838.
Baca juga : Polemik Kamus Sejarah, Kemendikbud Diminta Tulis Sejarah Secara Jujur
Awalnya, pemicu perang padri berawal dari masalah agama antara Kaum Padri (kelompok agama) dengan kaum adat. Namun, Belanda menjadi tamu tak diundang dan turut ikut campur dalam konflik ini. Mereka sendiri menerapkan taktik adu domba untuk memecah rakyat Minangkabau.
Dikutip dari laman Cagar Budaya Kemdikbud, pemicu konflik ini didasari keinginan kalangan pemimpin ulama di kerajaan Pagaruyung untuk menerapkan dan menjalankan syariat Islam yang berpegang teguh pada Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Saw.
Setelahnya, para pemuka agama tersebut mengajak Yang Dipertuan Pagaruyung beserta kaum adat untuk meninggalkan kebiasaan-kebiasaannya yang tidak sesuai syariat Islam. Sayangnya, dalam beberapa pertemuan antara kedua kelompok ini tidak tercapai kata sepakat.
Alhasil, Kerajaan Pagaruyung mulai bergejolak. Kaum Padri dibawah pimpinan Tuanku Pasaman menyerang Pagaruyung pada tahun 1815 dan pecahlah pertempuran di Koto Tangah dekat Batu Sangkar. Dalam serangan ini, Sultan Arifin Muningsyah terpaksa melarikan diri dari ibukota kerajaan ke Lubuk Jambi.
Terdesak oleh Kaum Padri, Pada 21 Februari 1821, kaum Adat bekerja sama dengan Belanda dalam perjanjian yang ditandatangani di Padang. Sebagai bentuk kompensasi, Belanda akan mendapat hak akses dan penguasaan atas wilayah darek (pedalaman Minangkabau).
Baca : Ratusan Peluru Meriam Diduga Peninggalan Tuanku Imam Bonjol Ditemukan
Lihat Juga :
tulis komentar anda