Polri: ACT Diduga Alihkan Kekayaan Yayasan dan Penggelapan
Rabu, 13 Juli 2022 - 18:18 WIB
JAKARTA - Polri menyatakan bahwa lembaga Aksi Cepat Tanggap (ACT) diduga telah melakukan tindak pidana kejahatan dugaan mengalihkan kekayaan yayasan secara langsung atau tidak langsung serta penggelapan .
"Kasus tersebut terkait dengan dugaan tindak pidana melakukan pengalihan kekayaan yayasan secara langsung maupun tidak langsung sebagaimana diatur dalam Pasal 70 ayat (1) dan (2) jo Pasal 5 UU Nomor 16 Tahun 2001 sebagaimana diubah menjadi UU Nomor 28 Tahun 2004 tentang Yayasan. Kedua, penggelapan sebagaimana diatur 372 KUHP," ujar Karo Penmas Divisi Humas Polri Brigjen Ahmad Ramadhan, Rabu (13/7/2022).
Dengan adanya indikasi tindak pidana tersebut, kata Ramadhan, penyidik Dit Tipideksus Bareskrim Polri telah menemukan bukti permulaan cukup dengan minimal dua alat bukti. Dengan begitu, perkara ini ditingkatkan dari tahap penyelidikan menjadi penyidikan.
Dit Tipideksus, menurut Ramadhan, membentuk tim khusus yang melibatkan lima subdit untuk menangani kasus ACT secara cepat, serius, dan profesional.
"Mengambil keterangan 8 saksi yang terdiri dari dua pelaksana proyek atau relawan kontruksi dan enam orang dari perangkat yayasan dan stok yayasan," jelas Ramadhan.
Bareskrim mengusut dugaan penyalahgunaan dana bantuan kompensasi untuk korban kecelakaan pesawat Lion Air JT-610 pada 2018. Pasalnya, Boeing menunjuk ACT sebagai pengelola dana sosial.
Semula, dana diperuntukkan untuk membangun fasilitas pendidikan sesuai dengan rekomendasi para ahli waris korban. Sebagai kompensasi tragedi kecelakaan, Boeing memberikan dua santunan, yakni uang tunai kepada para ahli waris masing-masing sebesar USD144.500 atau sebesar Rp2,06 miliar dan bantuan non tunai dalam bentuk CSR.
Namun dana yang diberikan diduga dikelola dengan tidak transparan dan menyimpang. Beberapa di antaranya, kata polisi, digunakan untuk kepentingan pribadi para petinggi organisasi filantropi itu.
Dalam mengusut kasus ini, polisi mendalami Pasal 372 jo 372 KUHP dan/atau Pasal 45A ayat (1) jo Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan/atau Pasal 70 ayat (1) dan ayat (2) jo Pasal 5 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Yayasan dan/atau Pasal 3, Pasal 4 dan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU.
"Kasus tersebut terkait dengan dugaan tindak pidana melakukan pengalihan kekayaan yayasan secara langsung maupun tidak langsung sebagaimana diatur dalam Pasal 70 ayat (1) dan (2) jo Pasal 5 UU Nomor 16 Tahun 2001 sebagaimana diubah menjadi UU Nomor 28 Tahun 2004 tentang Yayasan. Kedua, penggelapan sebagaimana diatur 372 KUHP," ujar Karo Penmas Divisi Humas Polri Brigjen Ahmad Ramadhan, Rabu (13/7/2022).
Dengan adanya indikasi tindak pidana tersebut, kata Ramadhan, penyidik Dit Tipideksus Bareskrim Polri telah menemukan bukti permulaan cukup dengan minimal dua alat bukti. Dengan begitu, perkara ini ditingkatkan dari tahap penyelidikan menjadi penyidikan.
Dit Tipideksus, menurut Ramadhan, membentuk tim khusus yang melibatkan lima subdit untuk menangani kasus ACT secara cepat, serius, dan profesional.
"Mengambil keterangan 8 saksi yang terdiri dari dua pelaksana proyek atau relawan kontruksi dan enam orang dari perangkat yayasan dan stok yayasan," jelas Ramadhan.
Bareskrim mengusut dugaan penyalahgunaan dana bantuan kompensasi untuk korban kecelakaan pesawat Lion Air JT-610 pada 2018. Pasalnya, Boeing menunjuk ACT sebagai pengelola dana sosial.
Semula, dana diperuntukkan untuk membangun fasilitas pendidikan sesuai dengan rekomendasi para ahli waris korban. Sebagai kompensasi tragedi kecelakaan, Boeing memberikan dua santunan, yakni uang tunai kepada para ahli waris masing-masing sebesar USD144.500 atau sebesar Rp2,06 miliar dan bantuan non tunai dalam bentuk CSR.
Namun dana yang diberikan diduga dikelola dengan tidak transparan dan menyimpang. Beberapa di antaranya, kata polisi, digunakan untuk kepentingan pribadi para petinggi organisasi filantropi itu.
Dalam mengusut kasus ini, polisi mendalami Pasal 372 jo 372 KUHP dan/atau Pasal 45A ayat (1) jo Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan/atau Pasal 70 ayat (1) dan ayat (2) jo Pasal 5 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Yayasan dan/atau Pasal 3, Pasal 4 dan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU.
(kri)
Lihat Juga :
tulis komentar anda