Terapi Plasma Konvalesen Bisa Sembuhkan Covid, Ini Penjelasan LBM Eijkman
Jum'at, 26 Juni 2020 - 15:17 WIB
JAKARTA - Direktur Lembaga Biologi Molekuler (LBM) Eijkman, Amin Soebandrio menyebut bahwa terapi plasma konvalesen bisa menjadi alternatif untuk menyembuhkan pasien COVID-19 di Tanah Air.
Amin pun menerangkan cara kerja terapi plasma konvalesen bisa sembuhkan pasien Covid-19, dalam diskusi bertema ‘Terapi Plasma Konvalesen: Apa, Siapa, dan Mengapa?’ di Media Center Gugus Tugas Penanganan COVID-19, Graha BNPB Jakarta, Jumat (26/6/2020). (Baca juga: Pakar WHO: Covid-19 Belum Mencapai Puncak Infeksi di Amerika)
Amin menjelaskan secara skematis plasma konvalesen ini berasal dari pasien yang sudah sembuh COVID-19. “Jadi (dari) penyintas. Jadi mereka yang pernah terinfeksi di dalam apapun itu, baik oleh jamur atau bakteri atau virus dalam tubuhnya itu akan membentuk antibodi. Nah, antibodi itu ketika pasien sudah sembuh berarti dia sudah bisa mengatasi infeksinya, itu bisa dipakai untuk membantu orang lain yang masih sedang sakit. Jadi prinsipnya seperti itu,” jelasnya.
Setelah diambil plasma dari penyintas COVID-19, kemudian harus dipastikan semuanya aman dan cocok untuk pasiennya maka bisa diberikan kepada pasien yang sedang dirawat yang dalam keadaan berat. Plasma ini, kata Amin, bisa mengeliminasi atau imobilisasi virus COVID-19 di dalam tubuh pasien. “Maka diharapkan lingkaran infeksi itu akan terputus kan,” katanya.
Dengan diberikan plasma ini, maka pasien bisa terhindar dari serangan virus COVID-19. Kemudian, di dalam tubuh pasien COVID-19 bisa memperbaiki jaringannya yang sudah rusak. “Dan pada gilirannya akan memperbaiki sistem imunnya, begitu seterusnya. Jadi satu komponen dari lingkaran itu sudah diputus maka yang lainnya diharapkan akan menjadi lebih baik, itu prinsipnya,” terang Amin.
Meskipun, terapi plasma konvalesen ini sudah lama digunakan untuk mengobati penyakit lain namun ini masih dalam uji klinis. Dengan terapi ini diharapkan antibodi dari penyintas itu bisa mengatasi virus COVID-19 yang ada di tubuh resipien. Lalu, apakah ada efek samping dari terapi plasma konvalesen ini?
Amin menjawab bahwa dalam terapi plasma konvalesen ini ada tiga komponen yang harus dipastikan aman. “Satu, donornya dimana penyintas tadi sehat dan sebagainya. Kedua, produknya. Produknya itu harus juga dipastikan memiliki antibodi dalam kadar yang cukup. Kemudian yang ketiga penerimanya, itu harus tidak boleh ada ketidakcocokan golongan darah. Walaupun lebih lebih ringan dari persyaratan golongan darah, karena ini hanya hanya plasma,” jelasnya.
Selain itu, Amin menegaskan bahwa terapi plasma konvalesen ini tidak boleh untuk pencegahan. Terapi ini, tambah Amin bisa diberikan kepada mereka yang sudah kondisinya menengah atau mengarah ke berat.
“Jadi kalau kita lihat ada tiga stage kan. Pertama stage viremia, kemudian kedua gimana pengaruh virus sudah mulai sedikit tapi pengaruh sistem imun yang berlebihan. Nah, stage ketiga itu yang sudah berat.” (Baca juga: LBM Eijkman Beri Kabar Gembira soal Perkembangan Vaksin COVID-19)
“Nah, masa yang paling baik adalah sebelum mencapai 3 minggu. Artinya virusnya masih banyak, kalau sudah statusnya bukan viremia ya mungkin manfaatnya tidak terlalu banyak,” tambah Amin.
Lihat Juga: AstraZeneca Tuai Polemik Usai Kasus Pembekuan Darah, BPOM: Sudah Tak Beredar di Indonesia
Amin pun menerangkan cara kerja terapi plasma konvalesen bisa sembuhkan pasien Covid-19, dalam diskusi bertema ‘Terapi Plasma Konvalesen: Apa, Siapa, dan Mengapa?’ di Media Center Gugus Tugas Penanganan COVID-19, Graha BNPB Jakarta, Jumat (26/6/2020). (Baca juga: Pakar WHO: Covid-19 Belum Mencapai Puncak Infeksi di Amerika)
Amin menjelaskan secara skematis plasma konvalesen ini berasal dari pasien yang sudah sembuh COVID-19. “Jadi (dari) penyintas. Jadi mereka yang pernah terinfeksi di dalam apapun itu, baik oleh jamur atau bakteri atau virus dalam tubuhnya itu akan membentuk antibodi. Nah, antibodi itu ketika pasien sudah sembuh berarti dia sudah bisa mengatasi infeksinya, itu bisa dipakai untuk membantu orang lain yang masih sedang sakit. Jadi prinsipnya seperti itu,” jelasnya.
Setelah diambil plasma dari penyintas COVID-19, kemudian harus dipastikan semuanya aman dan cocok untuk pasiennya maka bisa diberikan kepada pasien yang sedang dirawat yang dalam keadaan berat. Plasma ini, kata Amin, bisa mengeliminasi atau imobilisasi virus COVID-19 di dalam tubuh pasien. “Maka diharapkan lingkaran infeksi itu akan terputus kan,” katanya.
Dengan diberikan plasma ini, maka pasien bisa terhindar dari serangan virus COVID-19. Kemudian, di dalam tubuh pasien COVID-19 bisa memperbaiki jaringannya yang sudah rusak. “Dan pada gilirannya akan memperbaiki sistem imunnya, begitu seterusnya. Jadi satu komponen dari lingkaran itu sudah diputus maka yang lainnya diharapkan akan menjadi lebih baik, itu prinsipnya,” terang Amin.
Meskipun, terapi plasma konvalesen ini sudah lama digunakan untuk mengobati penyakit lain namun ini masih dalam uji klinis. Dengan terapi ini diharapkan antibodi dari penyintas itu bisa mengatasi virus COVID-19 yang ada di tubuh resipien. Lalu, apakah ada efek samping dari terapi plasma konvalesen ini?
Amin menjawab bahwa dalam terapi plasma konvalesen ini ada tiga komponen yang harus dipastikan aman. “Satu, donornya dimana penyintas tadi sehat dan sebagainya. Kedua, produknya. Produknya itu harus juga dipastikan memiliki antibodi dalam kadar yang cukup. Kemudian yang ketiga penerimanya, itu harus tidak boleh ada ketidakcocokan golongan darah. Walaupun lebih lebih ringan dari persyaratan golongan darah, karena ini hanya hanya plasma,” jelasnya.
Selain itu, Amin menegaskan bahwa terapi plasma konvalesen ini tidak boleh untuk pencegahan. Terapi ini, tambah Amin bisa diberikan kepada mereka yang sudah kondisinya menengah atau mengarah ke berat.
“Jadi kalau kita lihat ada tiga stage kan. Pertama stage viremia, kemudian kedua gimana pengaruh virus sudah mulai sedikit tapi pengaruh sistem imun yang berlebihan. Nah, stage ketiga itu yang sudah berat.” (Baca juga: LBM Eijkman Beri Kabar Gembira soal Perkembangan Vaksin COVID-19)
“Nah, masa yang paling baik adalah sebelum mencapai 3 minggu. Artinya virusnya masih banyak, kalau sudah statusnya bukan viremia ya mungkin manfaatnya tidak terlalu banyak,” tambah Amin.
Lihat Juga: AstraZeneca Tuai Polemik Usai Kasus Pembekuan Darah, BPOM: Sudah Tak Beredar di Indonesia
(kri)
tulis komentar anda