Kasus ACT dan Kerawanan Altruisme

Jum'at, 08 Juli 2022 - 17:24 WIB
Mencintai orang lain berarti peduli pada liyan dengan maksud untuk membantu atau meringankan beban sebagai wujud tanggung jawab sosial. Kedua, membantu orang lain (helping them doing their time of need). Hal ini berarti memiliki sifat kepedulian, simpati dan empati terhadap orang lain. Sementara yang ketiga, memastikan bahwa orang lain dihargai (making sure that they are appreciated). Dalam konteks ini, altruistik dicirikan dengan kemampuan mengontrol ego untuk respek terhadap orang lain.

Kontra Produktif

Wajar jika publik geram ketika mendengar donasi umat melalui gerakan altruisme justru diselewengkan. Titik rawan itu berpangkal pada dana yang seharusnya disalurkan dalam hal kemanusiaan, justru tersendat oleh kepentingan pribadi dan gelimang kemewahan. Dari altruisme menjadi egoisme akibat ulah segelintir oknum.

Setidaknya, dua hal kontraproduktif yang sangat mencolok. Pertama, aktivitas filantropi yang bertujuan untuk membantu orang lain berbanding terbalik dengan realitas. Empati altruistik ternodai oleh dugaan kejahatan yang diindikasikan berpangkal pada sokongan aktivitas terlarang. Jika dugaan ini benar dan terbukti, maka gerakan deradikalisasi, penanggulangan terorisme, dan segala kegiatan untuk memutus mata rantai radikalisme dan terorisme, tidak akan berjalan efektif, bahkan tumpul.

Satu sisi gerakan pemantauan dan deteksi dini, pencegahan, pembinaan, penanggulangan, dan penangkapan, semuanya terus dijalankan. Tapi pada sisi yang lain, justru terjadi penyuburan pergerakan dengan bantuan dana yang sesungguhnya untuk misi kemanusiaan.

Jika mengacu pada potensi ancaman terorisme di Indonesia sebagaimana yang disampaikan Kepala Badan Penaggulangan Terorisme (BNPT) Komjen Pol Rafli, Indonesia menempati urutan ke-24 dari 162 negara berdasar data dari Global Terrorism Index (GTI) 2022 (Sindonews, 4 Juli 2022). Dengan kata lain, perkembangan gerakan teror saat ini justru mengalami peningkatan. Terorisme global telah merambah pada pemanfaatan teknologi informasi dengan modus awal propaganda narasi kebencian.

Propaganda ini akan mendulang kesuksesasan di republik ini karena berdasar data dari Digital Civility Index (DCI) yang dilansir Microsoft, warganet Indonesia menempati urutan terbawah se-Asia Tenggara alias paling tidak beradab dalam menggunakan internet saat berkomunikasi di dunia maya. Politik identitas dan polarisasi mengental dengan kuat akibat narasi-narasi provokatif di media. Fakta ini akan mudah dimanfaatkan oleh kelompok jaringan teroris.

Kedua, realitas kontra produktif ini akan menguntungkan para kelompok teroris karena mereka terus disuarakan, dibahas, dan didiskusikan. Mereka akan meraup wujud eksistensial untuk menunjukkan kepada publik bahwa jaringan terorisme itu akan terus berkembang. Ini akan menjadi strategi untuk melempar ketakutan kepada publik tanpa keterlibatan mereka secara langsung. Desas-desus pemberitaan dimanfaatkan untuk mendulang eksistensial mereka.

Regulasi

Pada titik inilah, diperlukan kepastian hukum dalam konteks pengelolaan dana umat. Jika penggalangan dana ini tidak diperkuat oleh regulasi yang jelas, maka sangat rentan dan rawan diselewengkan. Penyelewangan ini yang harus menjadi perhatian bersama agar fondasi awal dari tujuan baik mengelola dana umat dapat berjalan dengan amanah. Transparansi dan amanah menjadi kunci untuk memperkuat kepercayaan para pihak yang telah menyalurkan dana dengan maksud tulus untuk meringankan beban sesama.
Halaman :
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More