Soal RUU KUHP, Begini Catatan Kritis Guru Besar Hukum Pidana UI Indriyanto Seno Adji
Rabu, 06 Juli 2022 - 21:18 WIB
Namun demikian batasan sensitifitas berbeda ditemukan pada delik-delik penghinaan terhadap golongan, agama/kehidupan beragama adalah strafbaar dengan debalitas wujudnya, tetapi dapat dianggap sebagai perbuatan yang tidak etis sifatnya. Wujud delik materiel inilah yang menempatkan ketentuan penghinaan sebagai strafbaar sifatnya. Artinya, perbuatan yang dikategorikan sebagai penghinaan tidak menjadi strafbaar, tetapi akibat dari perbuatan tersebut yang menjadikan strafbaar, yaitu misalnya menimbulkan kerusuhan/keonaran yang massif dalam masyarakat.
”Perubahan wujud dari delik formal kepada delik materiel ini adalah bentuk yang paling moderat dan netral dalam sistem hukum pidana, dan sama sekali tidak membatasi kebebasan berekspresi/berpendapat, karena dengan bentuk apapun sistem hukum (pidana), kebebasan yang absolut tanpa batas tidaklah diperkenankan dan tidak ada tempatmya pada sistem hukum pidana,” katanya.
Perubahan wujud dari delik formil ke delik materil juga sesuai amanah yang dipertegas Putusan Mahkamah Konstitusi No. 06/2007 bahwa RKUHP yang merupakan pembaharuan KUHP warisan kolonial dan lagipula menurut keterangan pemerintah konsep RKUHP Baru meskipun tetap memuat ketentuan tindak pidana serupa (baca : Pasal 240 RKUHP), formulasi deliknya tidak lagi berupa delik formal melainkan diubah menjadi delik materiil.
Hal ini menunjukan telah terjadinya perubahan sekaligus perubahan politik hukum pidana kearah perumusan delik yang tidak bertentangan dengan semangat mewujudkan Indonesia sebagai negara hukum yang demokratis dan negara demokrasi yang berdasar atas Hukum yang merupakan jiwa (geist) UUD 1945.
”Dapat dikatakan bahwa sebagai perubahan politik hukum pidana yang demokratis, netral dan moderat dalam sistem negara hukum yang demokratis, bahkan memiliki legitimasi kosntitusionalitas sesuai Putusan Mahkamah Konstitusi No. 06/2007 tersebut. Kita memahami bahwa tidak ada kebebasan absolut tanpa batas yang otoritarian dan justru membahayakan kehidupan negara yang demokratis,” paparnya.
”Perubahan wujud dari delik formal kepada delik materiel ini adalah bentuk yang paling moderat dan netral dalam sistem hukum pidana, dan sama sekali tidak membatasi kebebasan berekspresi/berpendapat, karena dengan bentuk apapun sistem hukum (pidana), kebebasan yang absolut tanpa batas tidaklah diperkenankan dan tidak ada tempatmya pada sistem hukum pidana,” katanya.
Perubahan wujud dari delik formil ke delik materil juga sesuai amanah yang dipertegas Putusan Mahkamah Konstitusi No. 06/2007 bahwa RKUHP yang merupakan pembaharuan KUHP warisan kolonial dan lagipula menurut keterangan pemerintah konsep RKUHP Baru meskipun tetap memuat ketentuan tindak pidana serupa (baca : Pasal 240 RKUHP), formulasi deliknya tidak lagi berupa delik formal melainkan diubah menjadi delik materiil.
Hal ini menunjukan telah terjadinya perubahan sekaligus perubahan politik hukum pidana kearah perumusan delik yang tidak bertentangan dengan semangat mewujudkan Indonesia sebagai negara hukum yang demokratis dan negara demokrasi yang berdasar atas Hukum yang merupakan jiwa (geist) UUD 1945.
”Dapat dikatakan bahwa sebagai perubahan politik hukum pidana yang demokratis, netral dan moderat dalam sistem negara hukum yang demokratis, bahkan memiliki legitimasi kosntitusionalitas sesuai Putusan Mahkamah Konstitusi No. 06/2007 tersebut. Kita memahami bahwa tidak ada kebebasan absolut tanpa batas yang otoritarian dan justru membahayakan kehidupan negara yang demokratis,” paparnya.
(cip)
tulis komentar anda