Soal RUU KUHP, Begini Catatan Kritis Guru Besar Hukum Pidana UI Indriyanto Seno Adji
Rabu, 06 Juli 2022 - 21:18 WIB
Begitu pula, bentuk pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku pelanggaran delik pers tidak dapat diartikan bidang usaha dan bidang redaksi sebagai presentasi perusahaan pers sebagai subjek tindak pidana, tetapi tetap berlaku aktual dan faktual wrongdoer.
”Tidak pernah ada vicarious liability atau liability without fault terhadap pelaku pelanggaran delik pers, apalagi terkait verspreidingsdelict, meski polemik dual responsibility menjadi atensi dikalangan pers,” katanya.
Kemudian terkait dengan penghinaan terhadap kekuasaan/lembaga negara di Pasal 353 RKUHP dengan delik formil/aduan. Termasuk terhadap Presiden/Wakil Presiden di Pasal 218 RKUHP dengan delik formil/aduan.
Serta terhadap pemerintah yang sah dalam Pasal 240 RKUHP dengan delik materiel atau biasa sebagai perubahan politik hukum pidana yang demokratis, netral dan moderat. ”Ketentuan yang menjadi polemik terkait aturan penghinaan yang dianggap sebagai memberangus kebebasan berekspresi tidaklah argumentatif secara akademik,” ucapnya.
Perlu dipahami bahwa pengaturan ketentuan tentang “Penghinaan” bersifat universal, baik bagi negara yang rerpesentatif anglo saxon atau commom law dalam bentuk Defamatory Statement Act baik Libel atau tertulis maupun slander atau lisan maupun continental/civil law berbentuk Formeeel dan Materiele Beleidiging.
”Ketentuan tentang larangan melakukan penghinaan ini diberlakukan juga terhadap pribadi seseorang maupun kelembagaan, baik dalam kelompok aturan tentang ketertiban umum yakni, penghinaan terhadap agama dan kehidupan beragama, pemerintah, simbol kenegaraan, penghinaan/harkat martabat terhadap presiden/wakil presiden.
”Jadi perbuatan yang dilarang adalah penghinaan yang diartikan sebagai bentuk perbuatan perasaan permusuhan, kebencian dan merendahkan (hatred, ridicule dan contempt) sebagai bentuk “formiele beleidiging” (penghinaan formil), yaitu diutarakan secara kasar, tidak sopan, tidak zakelijk, tidak konstruktif/solusif, bahkan actual malice,” kata Indriyanto.
Memang dalam KUHP lama atau sekarang ini, perbuatan penghinaan yang diformulasikan sebagai delik formil menimbulkan sikap dan perbuatan objektif, zakelijk, konstruktif terhadap pemerintah, simbol negara bahkan presiden/wakil presiden akan dipandang sebagai penghinaan,yang dapat dikatakan bahwa ketentuan ini sebagai penabur kebencian (Haatzaai Artikelen) yang bersifat un-demokratis.
”Dan inilah yang sekarang dilakukan perubahan sebagai makna yang demokratis, netral dan moderat. Tidak ada kritikan konstruktif yang dibungkam oleh RKUHP,” teagsnya.
Melihat perkembangan demokratis yang ekstensif ini, maka RKUHP tetap memberikan aturan yang menyangkut ketertiban umum (penghinaan) dan keamanan nasional dan lain-lain. Kesemuanya berkaitan dengan delik “penghinaan” yang berbentuk delik materiel karenanya pernyataan yang keras dan tegas, objektif, zakelijk dan konstruktif terhadap pemerintah, presiden/wakil presiden maupun simbol-simbol kenegaraan sebagai bentuk “materiele beleidiging” sebagai kritikan konstruktif adalah tidak strafbaar (tidak dipidana) dan tetap demokratis sifatnya.
”Tidak pernah ada vicarious liability atau liability without fault terhadap pelaku pelanggaran delik pers, apalagi terkait verspreidingsdelict, meski polemik dual responsibility menjadi atensi dikalangan pers,” katanya.
Kemudian terkait dengan penghinaan terhadap kekuasaan/lembaga negara di Pasal 353 RKUHP dengan delik formil/aduan. Termasuk terhadap Presiden/Wakil Presiden di Pasal 218 RKUHP dengan delik formil/aduan.
Serta terhadap pemerintah yang sah dalam Pasal 240 RKUHP dengan delik materiel atau biasa sebagai perubahan politik hukum pidana yang demokratis, netral dan moderat. ”Ketentuan yang menjadi polemik terkait aturan penghinaan yang dianggap sebagai memberangus kebebasan berekspresi tidaklah argumentatif secara akademik,” ucapnya.
Perlu dipahami bahwa pengaturan ketentuan tentang “Penghinaan” bersifat universal, baik bagi negara yang rerpesentatif anglo saxon atau commom law dalam bentuk Defamatory Statement Act baik Libel atau tertulis maupun slander atau lisan maupun continental/civil law berbentuk Formeeel dan Materiele Beleidiging.
”Ketentuan tentang larangan melakukan penghinaan ini diberlakukan juga terhadap pribadi seseorang maupun kelembagaan, baik dalam kelompok aturan tentang ketertiban umum yakni, penghinaan terhadap agama dan kehidupan beragama, pemerintah, simbol kenegaraan, penghinaan/harkat martabat terhadap presiden/wakil presiden.
”Jadi perbuatan yang dilarang adalah penghinaan yang diartikan sebagai bentuk perbuatan perasaan permusuhan, kebencian dan merendahkan (hatred, ridicule dan contempt) sebagai bentuk “formiele beleidiging” (penghinaan formil), yaitu diutarakan secara kasar, tidak sopan, tidak zakelijk, tidak konstruktif/solusif, bahkan actual malice,” kata Indriyanto.
Memang dalam KUHP lama atau sekarang ini, perbuatan penghinaan yang diformulasikan sebagai delik formil menimbulkan sikap dan perbuatan objektif, zakelijk, konstruktif terhadap pemerintah, simbol negara bahkan presiden/wakil presiden akan dipandang sebagai penghinaan,yang dapat dikatakan bahwa ketentuan ini sebagai penabur kebencian (Haatzaai Artikelen) yang bersifat un-demokratis.
”Dan inilah yang sekarang dilakukan perubahan sebagai makna yang demokratis, netral dan moderat. Tidak ada kritikan konstruktif yang dibungkam oleh RKUHP,” teagsnya.
Melihat perkembangan demokratis yang ekstensif ini, maka RKUHP tetap memberikan aturan yang menyangkut ketertiban umum (penghinaan) dan keamanan nasional dan lain-lain. Kesemuanya berkaitan dengan delik “penghinaan” yang berbentuk delik materiel karenanya pernyataan yang keras dan tegas, objektif, zakelijk dan konstruktif terhadap pemerintah, presiden/wakil presiden maupun simbol-simbol kenegaraan sebagai bentuk “materiele beleidiging” sebagai kritikan konstruktif adalah tidak strafbaar (tidak dipidana) dan tetap demokratis sifatnya.
Lihat Juga :
tulis komentar anda