Soal RUU KUHP, Begini Catatan Kritis Guru Besar Hukum Pidana UI Indriyanto Seno Adji
loading...
A
A
A
JAKARTA - Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej telah menyerahkan draft terbaru RUU KUHP kepada Komisi III DPR, Rabu (6/7/2022). Kendati demikian, RUU KUHP tersebut tidak dapat diakses publik karena belum selesai dibahas di DPR.
Terkait polemik RUU KUHP, Guru Besar Hukum Pidana sekaligus Pengajar Program Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Indonesia (UI) Indriyanto Seno Adji memberikan sejumlah catatan. Indriyanto menyebut ada 14 isu krusial yang menjadi polemik. Di antaranya, kriminalisasi pers.
“Kalangan pers merasa keberatan adanya kriminalisasi pers yang terdiri dari 47 pasal, berbentuk delik formil (sebanyak 35 pasal) dan delik materiel (sebanyak 7 pasal) sebagai ancaman kebebasan pers,” katanya dalam keterangan tertulis yang diterima SINDOnews, Rabu (6/7/2022).
Ancaman kebebasan pers itu terkait dengan pembatasan atas peliputan, penyiaran, penyebarluasan berita, dalam hal ini Pasal 281 huruf c RKUHP intinya “Tanpa izin pengadilan, merekam, mempublikasikan secara langsung atau membolehkan untuk dipublikasikan proses persidanganan”.
Secara a contrario, tertib acara persidangan kembali kepada kebijakan pengadilan untuk memberi atau tidak memberi izin tersebut. Khususnya sesuai penjelasan pasal ini makna “proses persidangan” yaitu yang memang universal adaya pembatasan untuk acara sidang tertutup misalnya, Tindak Pidana Anak ataupun Tindak Pidana Umum terkait kesusilaan ataupun perkembangannya terhadap Tindak Pidana Luar Biasa, seperti perdagangan narkotika, politics crimes, pencucian uang dan lain-lain, yang secara langsung atau tidak langsung dapat mengancam fisik dari pelaku, saksi, ahli, korban dan lainnya.
Bahkan Pasal 17 UU No.14/2008 tentang Keterbukaan Informasi memberikan batasan terkait proses penegakan hukum, juga komparasi USA Freedom of Information Act 1996 mencantumkan disclosure exemption terhadap semua yang relevan dengan law enforcerment records terkait contempt of records rules .
”Bagi RKUHP dengan memperhatikan asas hukum pidana dalam relasi dengan pers, seharusnya kekhawatiran komunitas pers tidaklah perlu terjadi, karena penyiaran/penyebarluasan yang dilakukan oleh pers (verspreidingsdelict) tidaklah menjadi suatu perbuatan yang strafbaar (dipidana), apabila telah adanya suatu perbuatan yang mendahuluinya (begunstigingsdelict) adalah sebagai strafbaar sifatnya,” katanya.
Begitu pula, bentuk pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku pelanggaran delik pers tidak dapat diartikan bidang usaha dan bidang redaksi sebagai presentasi perusahaan pers sebagai subjek tindak pidana, tetapi tetap berlaku aktual dan faktual wrongdoer.
”Tidak pernah ada vicarious liability atau liability without fault terhadap pelaku pelanggaran delik pers, apalagi terkait verspreidingsdelict, meski polemik dual responsibility menjadi atensi dikalangan pers,” katanya.
Kemudian terkait dengan penghinaan terhadap kekuasaan/lembaga negara di Pasal 353 RKUHP dengan delik formil/aduan. Termasuk terhadap Presiden/Wakil Presiden di Pasal 218 RKUHP dengan delik formil/aduan.
Serta terhadap pemerintah yang sah dalam Pasal 240 RKUHP dengan delik materiel atau biasa sebagai perubahan politik hukum pidana yang demokratis, netral dan moderat. ”Ketentuan yang menjadi polemik terkait aturan penghinaan yang dianggap sebagai memberangus kebebasan berekspresi tidaklah argumentatif secara akademik,” ucapnya.
Perlu dipahami bahwa pengaturan ketentuan tentang “Penghinaan” bersifat universal, baik bagi negara yang rerpesentatif anglo saxon atau commom law dalam bentuk Defamatory Statement Act baik Libel atau tertulis maupun slander atau lisan maupun continental/civil law berbentuk Formeeel dan Materiele Beleidiging.
”Ketentuan tentang larangan melakukan penghinaan ini diberlakukan juga terhadap pribadi seseorang maupun kelembagaan, baik dalam kelompok aturan tentang ketertiban umum yakni, penghinaan terhadap agama dan kehidupan beragama, pemerintah, simbol kenegaraan, penghinaan/harkat martabat terhadap presiden/wakil presiden.
”Jadi perbuatan yang dilarang adalah penghinaan yang diartikan sebagai bentuk perbuatan perasaan permusuhan, kebencian dan merendahkan (hatred, ridicule dan contempt) sebagai bentuk “formiele beleidiging” (penghinaan formil), yaitu diutarakan secara kasar, tidak sopan, tidak zakelijk, tidak konstruktif/solusif, bahkan actual malice,” kata Indriyanto.
Memang dalam KUHP lama atau sekarang ini, perbuatan penghinaan yang diformulasikan sebagai delik formil menimbulkan sikap dan perbuatan objektif, zakelijk, konstruktif terhadap pemerintah, simbol negara bahkan presiden/wakil presiden akan dipandang sebagai penghinaan,yang dapat dikatakan bahwa ketentuan ini sebagai penabur kebencian (Haatzaai Artikelen) yang bersifat un-demokratis.
”Dan inilah yang sekarang dilakukan perubahan sebagai makna yang demokratis, netral dan moderat. Tidak ada kritikan konstruktif yang dibungkam oleh RKUHP,” teagsnya.
Melihat perkembangan demokratis yang ekstensif ini, maka RKUHP tetap memberikan aturan yang menyangkut ketertiban umum (penghinaan) dan keamanan nasional dan lain-lain. Kesemuanya berkaitan dengan delik “penghinaan” yang berbentuk delik materiel karenanya pernyataan yang keras dan tegas, objektif, zakelijk dan konstruktif terhadap pemerintah, presiden/wakil presiden maupun simbol-simbol kenegaraan sebagai bentuk “materiele beleidiging” sebagai kritikan konstruktif adalah tidak strafbaar (tidak dipidana) dan tetap demokratis sifatnya.
Namun demikian batasan sensitifitas berbeda ditemukan pada delik-delik penghinaan terhadap golongan, agama/kehidupan beragama adalah strafbaar dengan debalitas wujudnya, tetapi dapat dianggap sebagai perbuatan yang tidak etis sifatnya. Wujud delik materiel inilah yang menempatkan ketentuan penghinaan sebagai strafbaar sifatnya. Artinya, perbuatan yang dikategorikan sebagai penghinaan tidak menjadi strafbaar, tetapi akibat dari perbuatan tersebut yang menjadikan strafbaar, yaitu misalnya menimbulkan kerusuhan/keonaran yang massif dalam masyarakat.
”Perubahan wujud dari delik formal kepada delik materiel ini adalah bentuk yang paling moderat dan netral dalam sistem hukum pidana, dan sama sekali tidak membatasi kebebasan berekspresi/berpendapat, karena dengan bentuk apapun sistem hukum (pidana), kebebasan yang absolut tanpa batas tidaklah diperkenankan dan tidak ada tempatmya pada sistem hukum pidana,” katanya.
Perubahan wujud dari delik formil ke delik materil juga sesuai amanah yang dipertegas Putusan Mahkamah Konstitusi No. 06/2007 bahwa RKUHP yang merupakan pembaharuan KUHP warisan kolonial dan lagipula menurut keterangan pemerintah konsep RKUHP Baru meskipun tetap memuat ketentuan tindak pidana serupa (baca : Pasal 240 RKUHP), formulasi deliknya tidak lagi berupa delik formal melainkan diubah menjadi delik materiil.
Hal ini menunjukan telah terjadinya perubahan sekaligus perubahan politik hukum pidana kearah perumusan delik yang tidak bertentangan dengan semangat mewujudkan Indonesia sebagai negara hukum yang demokratis dan negara demokrasi yang berdasar atas Hukum yang merupakan jiwa (geist) UUD 1945.
”Dapat dikatakan bahwa sebagai perubahan politik hukum pidana yang demokratis, netral dan moderat dalam sistem negara hukum yang demokratis, bahkan memiliki legitimasi kosntitusionalitas sesuai Putusan Mahkamah Konstitusi No. 06/2007 tersebut. Kita memahami bahwa tidak ada kebebasan absolut tanpa batas yang otoritarian dan justru membahayakan kehidupan negara yang demokratis,” paparnya.
Terkait polemik RUU KUHP, Guru Besar Hukum Pidana sekaligus Pengajar Program Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Indonesia (UI) Indriyanto Seno Adji memberikan sejumlah catatan. Indriyanto menyebut ada 14 isu krusial yang menjadi polemik. Di antaranya, kriminalisasi pers.
“Kalangan pers merasa keberatan adanya kriminalisasi pers yang terdiri dari 47 pasal, berbentuk delik formil (sebanyak 35 pasal) dan delik materiel (sebanyak 7 pasal) sebagai ancaman kebebasan pers,” katanya dalam keterangan tertulis yang diterima SINDOnews, Rabu (6/7/2022).
Ancaman kebebasan pers itu terkait dengan pembatasan atas peliputan, penyiaran, penyebarluasan berita, dalam hal ini Pasal 281 huruf c RKUHP intinya “Tanpa izin pengadilan, merekam, mempublikasikan secara langsung atau membolehkan untuk dipublikasikan proses persidanganan”.
Secara a contrario, tertib acara persidangan kembali kepada kebijakan pengadilan untuk memberi atau tidak memberi izin tersebut. Khususnya sesuai penjelasan pasal ini makna “proses persidangan” yaitu yang memang universal adaya pembatasan untuk acara sidang tertutup misalnya, Tindak Pidana Anak ataupun Tindak Pidana Umum terkait kesusilaan ataupun perkembangannya terhadap Tindak Pidana Luar Biasa, seperti perdagangan narkotika, politics crimes, pencucian uang dan lain-lain, yang secara langsung atau tidak langsung dapat mengancam fisik dari pelaku, saksi, ahli, korban dan lainnya.
Bahkan Pasal 17 UU No.14/2008 tentang Keterbukaan Informasi memberikan batasan terkait proses penegakan hukum, juga komparasi USA Freedom of Information Act 1996 mencantumkan disclosure exemption terhadap semua yang relevan dengan law enforcerment records terkait contempt of records rules .
”Bagi RKUHP dengan memperhatikan asas hukum pidana dalam relasi dengan pers, seharusnya kekhawatiran komunitas pers tidaklah perlu terjadi, karena penyiaran/penyebarluasan yang dilakukan oleh pers (verspreidingsdelict) tidaklah menjadi suatu perbuatan yang strafbaar (dipidana), apabila telah adanya suatu perbuatan yang mendahuluinya (begunstigingsdelict) adalah sebagai strafbaar sifatnya,” katanya.
Begitu pula, bentuk pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku pelanggaran delik pers tidak dapat diartikan bidang usaha dan bidang redaksi sebagai presentasi perusahaan pers sebagai subjek tindak pidana, tetapi tetap berlaku aktual dan faktual wrongdoer.
”Tidak pernah ada vicarious liability atau liability without fault terhadap pelaku pelanggaran delik pers, apalagi terkait verspreidingsdelict, meski polemik dual responsibility menjadi atensi dikalangan pers,” katanya.
Kemudian terkait dengan penghinaan terhadap kekuasaan/lembaga negara di Pasal 353 RKUHP dengan delik formil/aduan. Termasuk terhadap Presiden/Wakil Presiden di Pasal 218 RKUHP dengan delik formil/aduan.
Serta terhadap pemerintah yang sah dalam Pasal 240 RKUHP dengan delik materiel atau biasa sebagai perubahan politik hukum pidana yang demokratis, netral dan moderat. ”Ketentuan yang menjadi polemik terkait aturan penghinaan yang dianggap sebagai memberangus kebebasan berekspresi tidaklah argumentatif secara akademik,” ucapnya.
Perlu dipahami bahwa pengaturan ketentuan tentang “Penghinaan” bersifat universal, baik bagi negara yang rerpesentatif anglo saxon atau commom law dalam bentuk Defamatory Statement Act baik Libel atau tertulis maupun slander atau lisan maupun continental/civil law berbentuk Formeeel dan Materiele Beleidiging.
”Ketentuan tentang larangan melakukan penghinaan ini diberlakukan juga terhadap pribadi seseorang maupun kelembagaan, baik dalam kelompok aturan tentang ketertiban umum yakni, penghinaan terhadap agama dan kehidupan beragama, pemerintah, simbol kenegaraan, penghinaan/harkat martabat terhadap presiden/wakil presiden.
”Jadi perbuatan yang dilarang adalah penghinaan yang diartikan sebagai bentuk perbuatan perasaan permusuhan, kebencian dan merendahkan (hatred, ridicule dan contempt) sebagai bentuk “formiele beleidiging” (penghinaan formil), yaitu diutarakan secara kasar, tidak sopan, tidak zakelijk, tidak konstruktif/solusif, bahkan actual malice,” kata Indriyanto.
Memang dalam KUHP lama atau sekarang ini, perbuatan penghinaan yang diformulasikan sebagai delik formil menimbulkan sikap dan perbuatan objektif, zakelijk, konstruktif terhadap pemerintah, simbol negara bahkan presiden/wakil presiden akan dipandang sebagai penghinaan,yang dapat dikatakan bahwa ketentuan ini sebagai penabur kebencian (Haatzaai Artikelen) yang bersifat un-demokratis.
”Dan inilah yang sekarang dilakukan perubahan sebagai makna yang demokratis, netral dan moderat. Tidak ada kritikan konstruktif yang dibungkam oleh RKUHP,” teagsnya.
Melihat perkembangan demokratis yang ekstensif ini, maka RKUHP tetap memberikan aturan yang menyangkut ketertiban umum (penghinaan) dan keamanan nasional dan lain-lain. Kesemuanya berkaitan dengan delik “penghinaan” yang berbentuk delik materiel karenanya pernyataan yang keras dan tegas, objektif, zakelijk dan konstruktif terhadap pemerintah, presiden/wakil presiden maupun simbol-simbol kenegaraan sebagai bentuk “materiele beleidiging” sebagai kritikan konstruktif adalah tidak strafbaar (tidak dipidana) dan tetap demokratis sifatnya.
Namun demikian batasan sensitifitas berbeda ditemukan pada delik-delik penghinaan terhadap golongan, agama/kehidupan beragama adalah strafbaar dengan debalitas wujudnya, tetapi dapat dianggap sebagai perbuatan yang tidak etis sifatnya. Wujud delik materiel inilah yang menempatkan ketentuan penghinaan sebagai strafbaar sifatnya. Artinya, perbuatan yang dikategorikan sebagai penghinaan tidak menjadi strafbaar, tetapi akibat dari perbuatan tersebut yang menjadikan strafbaar, yaitu misalnya menimbulkan kerusuhan/keonaran yang massif dalam masyarakat.
”Perubahan wujud dari delik formal kepada delik materiel ini adalah bentuk yang paling moderat dan netral dalam sistem hukum pidana, dan sama sekali tidak membatasi kebebasan berekspresi/berpendapat, karena dengan bentuk apapun sistem hukum (pidana), kebebasan yang absolut tanpa batas tidaklah diperkenankan dan tidak ada tempatmya pada sistem hukum pidana,” katanya.
Perubahan wujud dari delik formil ke delik materil juga sesuai amanah yang dipertegas Putusan Mahkamah Konstitusi No. 06/2007 bahwa RKUHP yang merupakan pembaharuan KUHP warisan kolonial dan lagipula menurut keterangan pemerintah konsep RKUHP Baru meskipun tetap memuat ketentuan tindak pidana serupa (baca : Pasal 240 RKUHP), formulasi deliknya tidak lagi berupa delik formal melainkan diubah menjadi delik materiil.
Hal ini menunjukan telah terjadinya perubahan sekaligus perubahan politik hukum pidana kearah perumusan delik yang tidak bertentangan dengan semangat mewujudkan Indonesia sebagai negara hukum yang demokratis dan negara demokrasi yang berdasar atas Hukum yang merupakan jiwa (geist) UUD 1945.
”Dapat dikatakan bahwa sebagai perubahan politik hukum pidana yang demokratis, netral dan moderat dalam sistem negara hukum yang demokratis, bahkan memiliki legitimasi kosntitusionalitas sesuai Putusan Mahkamah Konstitusi No. 06/2007 tersebut. Kita memahami bahwa tidak ada kebebasan absolut tanpa batas yang otoritarian dan justru membahayakan kehidupan negara yang demokratis,” paparnya.
(cip)