Imam Besar Istiqlal Sebut Penyebaran Narasi Radikalisme di Mimbar Agama Nyata
Selasa, 05 Juli 2022 - 17:38 WIB
JAKARTA - Rumah ibadah saat ini menjadi salah satu sasaran kelompok radikal dalam menyebarkan narasi intoleransi melalui mimbar-mimbar keagamaan. Imbauan kewaspadaan yang disampaikan kemudian dipelintir seolah menjadi pandangan Islamofobia dan sulit mengakui fakta adanya penyebaran radikalisme di ruang keagamaan.
Hal ini ditegaskan oleh Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta, KH Nasaruddin Umar di Jakarta, Senin (4/7/2022). Ia mengakui bahwa praktik penyebaran radikalisme, intoleransi, dan kebencian di ruang serta mimbar keagamaan benar adanya dan menjadi hal yang harus diakui guna memunculkan kewaspadaan dini.
"Pertama saya ingin berikan pernyataan bahwa itu ada susah untuk mengatakan bahwa itu tidak ada, persoalannya adalah bagaimana mengatasi agar ini tidak terus menerus terjadi," katanya dikutip dari keterangan tertulis, Selasa (5/7/2022).
Baca juga: Waspadai Mimbar Agama untuk Penyebaran Radikalisme
Menurut Nasaruddin, untuk mengatasi hal tersebut dibutuhkan upaya yang maksimal dan tepat. Sebab, banyaknya generasi muda penerus bangsa yang jatuh dalam jeratan narasi idelogi radikal dan terorisme sangat berbahaya bagi keberlangsungan bangsa dan eksistensi Pancasila sebagai pedoman bangsa.
"Kita perlu dekati, sebagai seorang bapak dan mereka adalah anak kita, rangkul mereka beri perhatian, supaya energi mereka yang besar tersalurkan, agar tidak digunakan untuk memecah belah bangsa. Energi mereka itu jangan digunakan untuk menyerang orang, tapi untuk merangkul orang," katanya.
Ia menilai penanganan korban dan pelaku narasi radikal intoleran di ruang agama harus dilihat faktor-faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi kerentanannya. Mereka melakukan ini karena faktor pengetahuan keagamaannya atau faktor historis lainnya.
Baca juga: Kepala BNPT: Kawasan Terpadu Nusantara Garut Bukti Negara Hadir Lawan Radikalisme
Kedua, kata mantan Wakil Menteri Agama (Wamenag) ini, upaya yang bisa dilakukan adalah dengan membatasai ruang gerak kelompok radikal yang memanfaatkan ruang dan mimbar keagamaan. Hal ini penting agar tidak justru menyebarkan virus yang membawa bencana bagi keberlangsungan dan persatuan bangsa.
Hal ini ditegaskan oleh Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta, KH Nasaruddin Umar di Jakarta, Senin (4/7/2022). Ia mengakui bahwa praktik penyebaran radikalisme, intoleransi, dan kebencian di ruang serta mimbar keagamaan benar adanya dan menjadi hal yang harus diakui guna memunculkan kewaspadaan dini.
"Pertama saya ingin berikan pernyataan bahwa itu ada susah untuk mengatakan bahwa itu tidak ada, persoalannya adalah bagaimana mengatasi agar ini tidak terus menerus terjadi," katanya dikutip dari keterangan tertulis, Selasa (5/7/2022).
Baca juga: Waspadai Mimbar Agama untuk Penyebaran Radikalisme
Menurut Nasaruddin, untuk mengatasi hal tersebut dibutuhkan upaya yang maksimal dan tepat. Sebab, banyaknya generasi muda penerus bangsa yang jatuh dalam jeratan narasi idelogi radikal dan terorisme sangat berbahaya bagi keberlangsungan bangsa dan eksistensi Pancasila sebagai pedoman bangsa.
"Kita perlu dekati, sebagai seorang bapak dan mereka adalah anak kita, rangkul mereka beri perhatian, supaya energi mereka yang besar tersalurkan, agar tidak digunakan untuk memecah belah bangsa. Energi mereka itu jangan digunakan untuk menyerang orang, tapi untuk merangkul orang," katanya.
Ia menilai penanganan korban dan pelaku narasi radikal intoleran di ruang agama harus dilihat faktor-faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi kerentanannya. Mereka melakukan ini karena faktor pengetahuan keagamaannya atau faktor historis lainnya.
Baca juga: Kepala BNPT: Kawasan Terpadu Nusantara Garut Bukti Negara Hadir Lawan Radikalisme
Kedua, kata mantan Wakil Menteri Agama (Wamenag) ini, upaya yang bisa dilakukan adalah dengan membatasai ruang gerak kelompok radikal yang memanfaatkan ruang dan mimbar keagamaan. Hal ini penting agar tidak justru menyebarkan virus yang membawa bencana bagi keberlangsungan dan persatuan bangsa.
tulis komentar anda