Imam Besar Istiqlal Sebut Penyebaran Narasi Radikalisme di Mimbar Agama Nyata
loading...
A
A
A
JAKARTA - Rumah ibadah saat ini menjadi salah satu sasaran kelompok radikal dalam menyebarkan narasi intoleransi melalui mimbar-mimbar keagamaan. Imbauan kewaspadaan yang disampaikan kemudian dipelintir seolah menjadi pandangan Islamofobia dan sulit mengakui fakta adanya penyebaran radikalisme di ruang keagamaan.
Hal ini ditegaskan oleh Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta, KH Nasaruddin Umar di Jakarta, Senin (4/7/2022). Ia mengakui bahwa praktik penyebaran radikalisme, intoleransi, dan kebencian di ruang serta mimbar keagamaan benar adanya dan menjadi hal yang harus diakui guna memunculkan kewaspadaan dini.
"Pertama saya ingin berikan pernyataan bahwa itu ada susah untuk mengatakan bahwa itu tidak ada, persoalannya adalah bagaimana mengatasi agar ini tidak terus menerus terjadi," katanya dikutip dari keterangan tertulis, Selasa (5/7/2022).
Baca juga: Waspadai Mimbar Agama untuk Penyebaran Radikalisme
Menurut Nasaruddin, untuk mengatasi hal tersebut dibutuhkan upaya yang maksimal dan tepat. Sebab, banyaknya generasi muda penerus bangsa yang jatuh dalam jeratan narasi idelogi radikal dan terorisme sangat berbahaya bagi keberlangsungan bangsa dan eksistensi Pancasila sebagai pedoman bangsa.
"Kita perlu dekati, sebagai seorang bapak dan mereka adalah anak kita, rangkul mereka beri perhatian, supaya energi mereka yang besar tersalurkan, agar tidak digunakan untuk memecah belah bangsa. Energi mereka itu jangan digunakan untuk menyerang orang, tapi untuk merangkul orang," katanya.
Ia menilai penanganan korban dan pelaku narasi radikal intoleran di ruang agama harus dilihat faktor-faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi kerentanannya. Mereka melakukan ini karena faktor pengetahuan keagamaannya atau faktor historis lainnya.
Baca juga: Kepala BNPT: Kawasan Terpadu Nusantara Garut Bukti Negara Hadir Lawan Radikalisme
Kedua, kata mantan Wakil Menteri Agama (Wamenag) ini, upaya yang bisa dilakukan adalah dengan membatasai ruang gerak kelompok radikal yang memanfaatkan ruang dan mimbar keagamaan. Hal ini penting agar tidak justru menyebarkan virus yang membawa bencana bagi keberlangsungan dan persatuan bangsa.
"Pendekatan berikutnya yaitu kita batasi pergerakan mereka agar nanti tidak seperti virus, yang justru membawa bencana ke mana-mana. Jadi harus dilokalisir, aparat keamanan kita sudah harus memberi warning, kalau sudah menyerang ya harus dilawan," katanya.
Ia mengungkapkan, kelompok radikal kerap memutarbalikan narasi yang menggiring opini masyarakat seakan pemerintah telah melakukan praktik Islamofobia. "Islamofobia kan itu kelompok yang tidak mau Islam dan muslim berkembang. Tidak ada itu di Indonesia, bahkan kita punya Kementerian Agama dan Lembaga lainnya yang mengatur dan mendukung jalannya kehidupan beragama di Indonesia. Masa ini Islamofobia, saya kira tidak tepat," kata Nasaruddin.
Menurutnya, hal ini terkait cara pandang individu terhadap suatu permasalahan. Pemerintah wajib melaksanakan tugas-tugas kenegaraan untuk memepertahankan keutuhan NKRI. Imbauan serta temuan aparat terkait radikalisme dan upaya penanganannya tidak tepat dikatakan sebagai Islamofobia.
"Oleh karenanya, saya kira penting bagi seseorang untuk memiliki pemahaman agama yang komprehensif, memperkuat aqidah agar tidak mudah terpancing dan terprovokasi," katanya.
Dalam pandangan Nasaruddin, upaya pemerintah selama ini patut diapresiasi. Terlebih belakangan ini masayarakat dapat menikmati kehidupan yang aman dan damai dari tindak pidana terorisme. "Selama ini kita bertahun-tahun menikmati kehidupan yang aman damai itu kan karena ada sistem yang bekerja, bukan hal yang terjadi begitu saja," katanya.
Nasaruddin berharap segenap tokoh agama dan masyarakat untuk dapat membekali umat dan pengikutnya agar tidak mudah terpengaruh kepada paham radikal dan terorisme serta mengedepankan ilmu agama yang komprehensif. "Jangan sampai karena persoalan subjektif kita lantas marah-marah, membenci. Jadi harus kedepankan objektivitas, itu kan cara Nabi," katanya.
Hal ini ditegaskan oleh Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta, KH Nasaruddin Umar di Jakarta, Senin (4/7/2022). Ia mengakui bahwa praktik penyebaran radikalisme, intoleransi, dan kebencian di ruang serta mimbar keagamaan benar adanya dan menjadi hal yang harus diakui guna memunculkan kewaspadaan dini.
"Pertama saya ingin berikan pernyataan bahwa itu ada susah untuk mengatakan bahwa itu tidak ada, persoalannya adalah bagaimana mengatasi agar ini tidak terus menerus terjadi," katanya dikutip dari keterangan tertulis, Selasa (5/7/2022).
Baca juga: Waspadai Mimbar Agama untuk Penyebaran Radikalisme
Menurut Nasaruddin, untuk mengatasi hal tersebut dibutuhkan upaya yang maksimal dan tepat. Sebab, banyaknya generasi muda penerus bangsa yang jatuh dalam jeratan narasi idelogi radikal dan terorisme sangat berbahaya bagi keberlangsungan bangsa dan eksistensi Pancasila sebagai pedoman bangsa.
"Kita perlu dekati, sebagai seorang bapak dan mereka adalah anak kita, rangkul mereka beri perhatian, supaya energi mereka yang besar tersalurkan, agar tidak digunakan untuk memecah belah bangsa. Energi mereka itu jangan digunakan untuk menyerang orang, tapi untuk merangkul orang," katanya.
Ia menilai penanganan korban dan pelaku narasi radikal intoleran di ruang agama harus dilihat faktor-faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi kerentanannya. Mereka melakukan ini karena faktor pengetahuan keagamaannya atau faktor historis lainnya.
Baca juga: Kepala BNPT: Kawasan Terpadu Nusantara Garut Bukti Negara Hadir Lawan Radikalisme
Kedua, kata mantan Wakil Menteri Agama (Wamenag) ini, upaya yang bisa dilakukan adalah dengan membatasai ruang gerak kelompok radikal yang memanfaatkan ruang dan mimbar keagamaan. Hal ini penting agar tidak justru menyebarkan virus yang membawa bencana bagi keberlangsungan dan persatuan bangsa.
"Pendekatan berikutnya yaitu kita batasi pergerakan mereka agar nanti tidak seperti virus, yang justru membawa bencana ke mana-mana. Jadi harus dilokalisir, aparat keamanan kita sudah harus memberi warning, kalau sudah menyerang ya harus dilawan," katanya.
Ia mengungkapkan, kelompok radikal kerap memutarbalikan narasi yang menggiring opini masyarakat seakan pemerintah telah melakukan praktik Islamofobia. "Islamofobia kan itu kelompok yang tidak mau Islam dan muslim berkembang. Tidak ada itu di Indonesia, bahkan kita punya Kementerian Agama dan Lembaga lainnya yang mengatur dan mendukung jalannya kehidupan beragama di Indonesia. Masa ini Islamofobia, saya kira tidak tepat," kata Nasaruddin.
Menurutnya, hal ini terkait cara pandang individu terhadap suatu permasalahan. Pemerintah wajib melaksanakan tugas-tugas kenegaraan untuk memepertahankan keutuhan NKRI. Imbauan serta temuan aparat terkait radikalisme dan upaya penanganannya tidak tepat dikatakan sebagai Islamofobia.
"Oleh karenanya, saya kira penting bagi seseorang untuk memiliki pemahaman agama yang komprehensif, memperkuat aqidah agar tidak mudah terpancing dan terprovokasi," katanya.
Dalam pandangan Nasaruddin, upaya pemerintah selama ini patut diapresiasi. Terlebih belakangan ini masayarakat dapat menikmati kehidupan yang aman dan damai dari tindak pidana terorisme. "Selama ini kita bertahun-tahun menikmati kehidupan yang aman damai itu kan karena ada sistem yang bekerja, bukan hal yang terjadi begitu saja," katanya.
Nasaruddin berharap segenap tokoh agama dan masyarakat untuk dapat membekali umat dan pengikutnya agar tidak mudah terpengaruh kepada paham radikal dan terorisme serta mengedepankan ilmu agama yang komprehensif. "Jangan sampai karena persoalan subjektif kita lantas marah-marah, membenci. Jadi harus kedepankan objektivitas, itu kan cara Nabi," katanya.
(abd)