Menguatkan Akar Pancasila
Rabu, 29 Juni 2022 - 13:16 WIB
Sebagai tokoh pesantren yang dekat dengan fikih, Kiai Wahid sepakat dengan penggantian “tujuh kata” Piagam Jakarta dengan sila Ketuhanan YME. Argumentasinya didasarkan pada kaidah fikih: daru al-mafasid muqaddam ‘ala jalb al-mashalih (menghindari kerusakan diutamakan daripada mengejar kebaikan). Artinya, menghindari pecahnya Indonesia lebih diutamakan daripada menegakkan syariah Islam. Kiai Wahid juga menggunakan kaidah fikih: mala yudraku kulluhu la yutraku kulluhu (apa yang tidak bisa didapatkan semua, jangan ditinggal semua). Artinya, ketika syariah Islam tidak bisa ditegakkan di dalam dasar negara, maka nilai Islam jangan dihapus semuanya. Yang terjadi justru sebaliknya, syariah lalu diganti dengan tauhid (Ketuhanan YME), sedangkan tauhid merupakan sumber bagi syariah. (Yudian Wahyudi, 2010: 15)
Akhirnya, dengan penggantian sila “ketuhanan bersyariah” menjadi Ketuhanan YME, Pancasila mengalami rumusan final pada 18 Agustus 1945. Rumusan final ini lalu ditulis dalam Pembukaan UUD 1945, di mana UUD tersebut lalu disahkan oleh PPKI.
Akar Pemikiran
Proses kelahiran, perumusan dan finalisasi Pancasila tidak semata proses pembentukan dasar negara. Proses historis tersebut juga memuat akar pemikiran para perumus Pancasila mengenai Pancasila. Itulah mengapa pada 1975, Presiden Soeharto membentuk Panitia Lima untuk menyusun “tafsir resmi Pancasila” menurut para perumus Pancasila.
Panitia Lima terdiri dari tiga mantan anggota Panitia Sembilan, yakni Bung Hatta, Achmad Soebardjo dan AA Maramis, mantan wakil kepala Tata Usaha BPUPKI, Mr AG Pringgodigdo dan mantan aktivis Perhimpunan Indonesia, Sunario. Sebagai representasi dari para perumus Pancasila, Panitia Lima diminta menyusun tafsir Pancasila. Lahirlah buku Uraian Pancasila (1977) yang memuat konsep Pancasila yang bersifat teosentris, di mana sila Ketuhanan YME ditempatkan sebagai sumber bagi sila-sila di bawahnya. Sayangnya buku Uraian Pancasila gagal dijadikan “tasfir resmi Pancasila” karena alasan politis.
Bung Hatta sendiri juga telah menulis buku tentang Pancasila, yakni Pancasila Jalan Lurus (1969) dan Pengertian Pancasila (1977). Selain itu tentu pemikiran Bung Karno sendiri, di mana pidato 1 Juni dibukukan dalam Lahirnja Pantjasila (1947), serta pemikirannya dalam Kursus-kursus Pancasila sejak tahun 1958-1959 dibukukan dalam Pantjasila, Dasar Filsafat Negara (1960).
Muhammad Yamin juga menulis buku Sistema Filsafah-Pantjasila (1958), serta Ki Hadjar Dewantara (anggota BPUPKI-PPKI) yang pada 1950 menulis buku berjudul Pantjasila.
Berbagai pemikiran penggali dan perumus Pancasila ini merupakan akar pemikiran Pancasila. Sebab, Pancasila bukan hanya norma dasar negara (Grundnorm), melainkan filsafat dasar negara. Bahkan menurut Prof Notonagoro (1981), filsafat Pancasila tersebut merupakan isi (dimensi material) dari dasar negara (dimensi formal). Raibnya isi filosofis dari Pancasila, membuat dasar negara dan ideologi bangsa kita kurang menarik secara akademik-intelektual. Akibatnya, banyak kaum terpelajar yang tertarik dengan ideologi lain yang bertentangan dengan Pancasila.
Berdasarkan hal tersebut, maka akar pemikiran Pancasila dari penggali dan perumus Pancasila mesti dikuatkan kembali. Apalagi berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 4/2022 tentang Standar Nasional Pendidikan yang menghidupkan kembali pendidikan Pancasila di semua jenjang pendidikan, tentu harus diikuti dengan penghidupan dimensi keilmuan Pancasila. Sayangnya, dimensi keilmuan Pancasila tidak akan hidup tanpa penguatan akar pemikiran Pancasila dari para perumus Pancasila. Sebab, metode berpikir ilmiah meniscayakan proses berpikir yang historis dan genalogis.
Baca Juga: koran-sindo.com
Akhirnya, dengan penggantian sila “ketuhanan bersyariah” menjadi Ketuhanan YME, Pancasila mengalami rumusan final pada 18 Agustus 1945. Rumusan final ini lalu ditulis dalam Pembukaan UUD 1945, di mana UUD tersebut lalu disahkan oleh PPKI.
Akar Pemikiran
Proses kelahiran, perumusan dan finalisasi Pancasila tidak semata proses pembentukan dasar negara. Proses historis tersebut juga memuat akar pemikiran para perumus Pancasila mengenai Pancasila. Itulah mengapa pada 1975, Presiden Soeharto membentuk Panitia Lima untuk menyusun “tafsir resmi Pancasila” menurut para perumus Pancasila.
Panitia Lima terdiri dari tiga mantan anggota Panitia Sembilan, yakni Bung Hatta, Achmad Soebardjo dan AA Maramis, mantan wakil kepala Tata Usaha BPUPKI, Mr AG Pringgodigdo dan mantan aktivis Perhimpunan Indonesia, Sunario. Sebagai representasi dari para perumus Pancasila, Panitia Lima diminta menyusun tafsir Pancasila. Lahirlah buku Uraian Pancasila (1977) yang memuat konsep Pancasila yang bersifat teosentris, di mana sila Ketuhanan YME ditempatkan sebagai sumber bagi sila-sila di bawahnya. Sayangnya buku Uraian Pancasila gagal dijadikan “tasfir resmi Pancasila” karena alasan politis.
Bung Hatta sendiri juga telah menulis buku tentang Pancasila, yakni Pancasila Jalan Lurus (1969) dan Pengertian Pancasila (1977). Selain itu tentu pemikiran Bung Karno sendiri, di mana pidato 1 Juni dibukukan dalam Lahirnja Pantjasila (1947), serta pemikirannya dalam Kursus-kursus Pancasila sejak tahun 1958-1959 dibukukan dalam Pantjasila, Dasar Filsafat Negara (1960).
Muhammad Yamin juga menulis buku Sistema Filsafah-Pantjasila (1958), serta Ki Hadjar Dewantara (anggota BPUPKI-PPKI) yang pada 1950 menulis buku berjudul Pantjasila.
Berbagai pemikiran penggali dan perumus Pancasila ini merupakan akar pemikiran Pancasila. Sebab, Pancasila bukan hanya norma dasar negara (Grundnorm), melainkan filsafat dasar negara. Bahkan menurut Prof Notonagoro (1981), filsafat Pancasila tersebut merupakan isi (dimensi material) dari dasar negara (dimensi formal). Raibnya isi filosofis dari Pancasila, membuat dasar negara dan ideologi bangsa kita kurang menarik secara akademik-intelektual. Akibatnya, banyak kaum terpelajar yang tertarik dengan ideologi lain yang bertentangan dengan Pancasila.
Berdasarkan hal tersebut, maka akar pemikiran Pancasila dari penggali dan perumus Pancasila mesti dikuatkan kembali. Apalagi berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 4/2022 tentang Standar Nasional Pendidikan yang menghidupkan kembali pendidikan Pancasila di semua jenjang pendidikan, tentu harus diikuti dengan penghidupan dimensi keilmuan Pancasila. Sayangnya, dimensi keilmuan Pancasila tidak akan hidup tanpa penguatan akar pemikiran Pancasila dari para perumus Pancasila. Sebab, metode berpikir ilmiah meniscayakan proses berpikir yang historis dan genalogis.
Baca Juga: koran-sindo.com
tulis komentar anda