Polemik Rapid Test Mahal, Uang Negara untuk Tangani Wabah dan Kemiskinan
Kamis, 25 Juni 2020 - 09:20 WIB
JAKARTA - Direktur Eksekutif Lingkar Madani untuk Indonesia (LIMA), Ray Rangkuti melihat ada dua persoalan yang mengemuka dalam pelaksanaan rapid test yang menyebabkan masyarakat mengeluhkan mahalnya biaya rapid test.
Pertama, menurut Ray, adanya masyarakat yang secara swadaya ingin melakukan rapid test , padahal belum ada gejala yang mengarah ke orang dalam pengawasan (ODP), apalagi postif terinfeksi virus corona (COVID-19).
"Tentu minat masyarakat untuk rapid test sendiri tidak bisa dicegah. Namun dalam situasi seperti ini, maka hukum pasar akan berlaku. Barang yang banyak peminatnya maka akan meninggi harganya," tutur Ray saat dihubungi SINDOnews, Kamis (25/6/2020).( )
Persoalan kedua, lanjut dia, lamban dan terbatasnya jangkauan rapid test dari pemerintah. Akibatnya masyarakat memilih melakukan rapid secara swadaya. Menurutnya, jika pemerintah dengan segera dan luas daya jangkau rapid testnya, maka biaya tes cepat itu kemungkinan akan dapat ditekan.
Analis sosial politik asal UIN Jakarta ini menganggap sulit jika negara menggratiskan rapid test bagi warga negaranya. Sebab, rapid test sendiri memang tidak dijajarkan untuk seluruh rakyat Indonesia. Hanya dalam persentase tertentu seperti yang dianjurkan oleh organisasi kesehatan dunia seperti WHO.
Masalahnya, menurut Ray, kemampuan rapid test kita ke angka ideal dan berdasarkan standar WHO itu masih lamban. Di samping itu, memang karena dananya yang tidak tersedia. Dana negara terpecah antara penanggulangan wabahnya dengan penanggulan dampaknya seperti kemiskinan.
"Sekali pun begitu, kecepatan dan makin luasnya daya jangkau rapid test pemerintah akan dapat mengurangi biaya rapid test sendiri," katanya.( )
Pertama, menurut Ray, adanya masyarakat yang secara swadaya ingin melakukan rapid test , padahal belum ada gejala yang mengarah ke orang dalam pengawasan (ODP), apalagi postif terinfeksi virus corona (COVID-19).
"Tentu minat masyarakat untuk rapid test sendiri tidak bisa dicegah. Namun dalam situasi seperti ini, maka hukum pasar akan berlaku. Barang yang banyak peminatnya maka akan meninggi harganya," tutur Ray saat dihubungi SINDOnews, Kamis (25/6/2020).( )
Persoalan kedua, lanjut dia, lamban dan terbatasnya jangkauan rapid test dari pemerintah. Akibatnya masyarakat memilih melakukan rapid secara swadaya. Menurutnya, jika pemerintah dengan segera dan luas daya jangkau rapid testnya, maka biaya tes cepat itu kemungkinan akan dapat ditekan.
Analis sosial politik asal UIN Jakarta ini menganggap sulit jika negara menggratiskan rapid test bagi warga negaranya. Sebab, rapid test sendiri memang tidak dijajarkan untuk seluruh rakyat Indonesia. Hanya dalam persentase tertentu seperti yang dianjurkan oleh organisasi kesehatan dunia seperti WHO.
Masalahnya, menurut Ray, kemampuan rapid test kita ke angka ideal dan berdasarkan standar WHO itu masih lamban. Di samping itu, memang karena dananya yang tidak tersedia. Dana negara terpecah antara penanggulangan wabahnya dengan penanggulan dampaknya seperti kemiskinan.
"Sekali pun begitu, kecepatan dan makin luasnya daya jangkau rapid test pemerintah akan dapat mengurangi biaya rapid test sendiri," katanya.( )
(abd)
tulis komentar anda