Transformasi Digital dalam Manajemen SDM
Rabu, 24 Juni 2020 - 05:53 WIB
Transformasi digital dalam sebuah korporasi/organisasi bukan semata-mata mentransformasi yang tadinya analog atau manual menjadi digital dari setiap unit di dalam organisasi, tetapi merupakan metamorfosis yang melibatkan organisasi secara keseluruhan.
Kebanyakan dari organisasi yang gagal adalah ketidakmampuan menjaga proses metamorfosis ini, sehingga transformasi justru berubah menjadi disintegrasi yang merusak sistem lama dan tidak mampu membangun sistem baru yang solid.
Laporan lain yang dirilis oleh Forbes memperkuat gambaran di atas. Menurut laporan tersebut, manajer dan eksekutif hari ini, sudah beralih ke platform mobile (smartphone) dalam menjalankan operasi bisnis di tempat mereka bekerja. Sebanyak 70% dari mereka, sudah menggunakan ponsel pintar untuk melakukan pengelolaan SDM dan tidak lagi mengandalkan laptop–apalagi komputer desktop—untuk bekerja.
Kalau kita menyaksikan aktivitas manusia modern di ruang-ruang publik hari ini, kenyataan itu makin tak terbantahkan. Lima atau sepuluh tahun lalu, di ruang-ruang publik kita dapat menyaksikan orang menggunakan ponsel pintar untuk menikmati hiburan yang dapat disediakan oleh perangkat tersebut. Mendengarkan musik, menonton video, atau bermain games.
Hari ini, kalau kita melakukan perjalanan dengan pesawat terbang, misalnya, dengan mudah kita temukan orang sedang membaca laporan, membuat persetujuan, mengoreksi bahan, melalui perangkat ponsel mereka.
Tentu saja aktivitas tersebut bisa dikombinasikan dengan memenuhi kebutuhan hiburan seperti mendengarkan musik dan sebagainya, karena secara fitur teknologi sudah semakin mungkin. Karena itu, transformasi digital sendiri belumlah titik. Masih koma. Kata-kata itu harus dilengkapi dengan transformasi digital dalam platform terintegrasi yang bisa diakses secara mobile (bergerak).
Organisasi atau korporasi modern hari ini sudah tidak lagi diisi oleh mereka yang sebagian besar adalah generasi analog atau imigran digital. Semua adalah digital native.
Manusia yang sudah sejak lahir sudah hidup dalam ekosistem digital. Masalahnya adalah, para pengambil keputusan penting dalam organisasi, kerap masih diisi oleh mereka yang tergolong imigran digital atau bahkan sama sekali generasi analog. Keengganan para eksekutif atau pemimpin puncak untuk melihat realitas yang telah tersebut sering menjadi penghambat terbesar dalam transformasi digital.
Pandemi global Covid-19 menguatkan fenomena tersebut. Pandemi ini telah menghentikan aktivitas fisik semua orang dan memaksa mereka untuk tinggal di rumah secara tiba-tiba. Pertemuan daring/virtual menjadi wajib. Pengiriman barang atau dokumen menjadi serba digital.
Operasi bisnis harus dibelokkan ke dalam arus utama dunia digital. Kemudian kita menyaksikan, siapa yang gagal atau terbata-bata merespons situasi, siapa yang relatif mulus menjalankannya, dan siapa yang paling mendapatkan keuntungan dari sana.
Kebanyakan dari organisasi yang gagal adalah ketidakmampuan menjaga proses metamorfosis ini, sehingga transformasi justru berubah menjadi disintegrasi yang merusak sistem lama dan tidak mampu membangun sistem baru yang solid.
Laporan lain yang dirilis oleh Forbes memperkuat gambaran di atas. Menurut laporan tersebut, manajer dan eksekutif hari ini, sudah beralih ke platform mobile (smartphone) dalam menjalankan operasi bisnis di tempat mereka bekerja. Sebanyak 70% dari mereka, sudah menggunakan ponsel pintar untuk melakukan pengelolaan SDM dan tidak lagi mengandalkan laptop–apalagi komputer desktop—untuk bekerja.
Kalau kita menyaksikan aktivitas manusia modern di ruang-ruang publik hari ini, kenyataan itu makin tak terbantahkan. Lima atau sepuluh tahun lalu, di ruang-ruang publik kita dapat menyaksikan orang menggunakan ponsel pintar untuk menikmati hiburan yang dapat disediakan oleh perangkat tersebut. Mendengarkan musik, menonton video, atau bermain games.
Hari ini, kalau kita melakukan perjalanan dengan pesawat terbang, misalnya, dengan mudah kita temukan orang sedang membaca laporan, membuat persetujuan, mengoreksi bahan, melalui perangkat ponsel mereka.
Tentu saja aktivitas tersebut bisa dikombinasikan dengan memenuhi kebutuhan hiburan seperti mendengarkan musik dan sebagainya, karena secara fitur teknologi sudah semakin mungkin. Karena itu, transformasi digital sendiri belumlah titik. Masih koma. Kata-kata itu harus dilengkapi dengan transformasi digital dalam platform terintegrasi yang bisa diakses secara mobile (bergerak).
Organisasi atau korporasi modern hari ini sudah tidak lagi diisi oleh mereka yang sebagian besar adalah generasi analog atau imigran digital. Semua adalah digital native.
Manusia yang sudah sejak lahir sudah hidup dalam ekosistem digital. Masalahnya adalah, para pengambil keputusan penting dalam organisasi, kerap masih diisi oleh mereka yang tergolong imigran digital atau bahkan sama sekali generasi analog. Keengganan para eksekutif atau pemimpin puncak untuk melihat realitas yang telah tersebut sering menjadi penghambat terbesar dalam transformasi digital.
Pandemi global Covid-19 menguatkan fenomena tersebut. Pandemi ini telah menghentikan aktivitas fisik semua orang dan memaksa mereka untuk tinggal di rumah secara tiba-tiba. Pertemuan daring/virtual menjadi wajib. Pengiriman barang atau dokumen menjadi serba digital.
Operasi bisnis harus dibelokkan ke dalam arus utama dunia digital. Kemudian kita menyaksikan, siapa yang gagal atau terbata-bata merespons situasi, siapa yang relatif mulus menjalankannya, dan siapa yang paling mendapatkan keuntungan dari sana.
tulis komentar anda