Transformasi Digital dalam Manajemen SDM

Rabu, 24 Juni 2020 - 05:53 WIB
loading...
Transformasi Digital dalam Manajemen SDM
Muhamad Ali, Pemerhati Human Capital. Foto/Dok. Pribadi
A A A
Muhamad Ali
Pemerhati Human Capital

TIDAK ada lagi manusia modern yang tidak hidup tanpa berurusan dengan hal yang berbau digital. Dari bangun tidur hingga menuju tempat tidur lagi, kehidupan digital sudah menempel dan setiap kita tidak mungkin melepaskan diri atau menghindarkan dari ketergantungan ini. Kehidupan digital, paling mudah ditandai dengan keterhubungan kita dengan dunia luar melalui perangkat yang tersambung melalui jaringan internet.

Dalam organisasi atau korporasi, ketergantungan itu makin terlihat nyata. Tidak ada lagi kita mendengar entitas bisnis atau organisasi birokrasi yang menjalankan proses bisnisnya tanpa ditopang oleh perangkat digital, bahkan yang paling sederhana sekalipun.

Begitu masifnya dunia digital melingkupi kehidupan modern hari ini, tidak ada pilihan bagi tiap organisasi untuk beradaptasi memasuki kehidupan digital ini. Masuk ke dunia itu atau tertinggal dari yang lain dan kemudian mati.

Sudah banyak cerita bagaimana organisasi-organisasi besar mencoba bertahan dan membuat garis kehidupan sendiri, tetapi lalu mati. Kodak adalah salah satu contohnya. Nokia adalah contoh lain yang sedikit berbeda dari Kodak, tetapi mengirimkan pesan yang sama: keberanian untuk berubah atau bertransformasi.

Transformasi Digital
Academy to Innovative Human Resources (AIHR), sebuah lembaga yang mengkaji masalah-masalah sumber daya manusia (SDM), pernah melakukan riset penting mengenai transformasi digital dalam manajemen SDM organisasi. Hasilnya, 76% dari perusahaan yang berusaha bertransformasi menuju digital, gagal melakukannya.

Artinya, tiga dari empat perusahaan yang mencoba bertransformasi ke dunia digital, tidak mampu mencapai proses tersebut. Kesimpulan singkat dari kegagalan transformasi digital berdasarkan laporan tersebut sederhana, tetapi sangat tajam.

Transformasi digital dalam sebuah korporasi/organisasi bukan semata-mata mentransformasi yang tadinya analog atau manual menjadi digital dari setiap unit di dalam organisasi, tetapi merupakan metamorfosis yang melibatkan organisasi secara keseluruhan.

Kebanyakan dari organisasi yang gagal adalah ketidakmampuan menjaga proses metamorfosis ini, sehingga transformasi justru berubah menjadi disintegrasi yang merusak sistem lama dan tidak mampu membangun sistem baru yang solid.

Laporan lain yang dirilis oleh Forbes memperkuat gambaran di atas. Menurut laporan tersebut, manajer dan eksekutif hari ini, sudah beralih ke platform mobile (smartphone) dalam menjalankan operasi bisnis di tempat mereka bekerja. Sebanyak 70% dari mereka, sudah menggunakan ponsel pintar untuk melakukan pengelolaan SDM dan tidak lagi mengandalkan laptop–apalagi komputer desktop—untuk bekerja.

Kalau kita menyaksikan aktivitas manusia modern di ruang-ruang publik hari ini, kenyataan itu makin tak terbantahkan. Lima atau sepuluh tahun lalu, di ruang-ruang publik kita dapat menyaksikan orang menggunakan ponsel pintar untuk menikmati hiburan yang dapat disediakan oleh perangkat tersebut. Mendengarkan musik, menonton video, atau bermain games.

Hari ini, kalau kita melakukan perjalanan dengan pesawat terbang, misalnya, dengan mudah kita temukan orang sedang membaca laporan, membuat persetujuan, mengoreksi bahan, melalui perangkat ponsel mereka.

Tentu saja aktivitas tersebut bisa dikombinasikan dengan memenuhi kebutuhan hiburan seperti mendengarkan musik dan sebagainya, karena secara fitur teknologi sudah semakin mungkin. Karena itu, transformasi digital sendiri belumlah titik. Masih koma. Kata-kata itu harus dilengkapi dengan transformasi digital dalam platform terintegrasi yang bisa diakses secara mobile (bergerak).

Organisasi atau korporasi modern hari ini sudah tidak lagi diisi oleh mereka yang sebagian besar adalah generasi analog atau imigran digital. Semua adalah digital native.

Manusia yang sudah sejak lahir sudah hidup dalam ekosistem digital. Masalahnya adalah, para pengambil keputusan penting dalam organisasi, kerap masih diisi oleh mereka yang tergolong imigran digital atau bahkan sama sekali generasi analog. Keengganan para eksekutif atau pemimpin puncak untuk melihat realitas yang telah tersebut sering menjadi penghambat terbesar dalam transformasi digital.

Pandemi global Covid-19 menguatkan fenomena tersebut. Pandemi ini telah menghentikan aktivitas fisik semua orang dan memaksa mereka untuk tinggal di rumah secara tiba-tiba. Pertemuan daring/virtual menjadi wajib. Pengiriman barang atau dokumen menjadi serba digital.

Operasi bisnis harus dibelokkan ke dalam arus utama dunia digital. Kemudian kita menyaksikan, siapa yang gagal atau terbata-bata merespons situasi, siapa yang relatif mulus menjalankannya, dan siapa yang paling mendapatkan keuntungan dari sana.

Manajemen Digital SDM
Manajemen SDM dalam paradigma lama sering kali dilihat atau dipersepsikan sebagai manajemen pendukung yang menopang setiap karyawan dalam organisasi untuk menjalankan tugasnya. Itu tidak salah. Tetapi, itu hanya merupakan salah satu saja. Manajemen SDM dalam konteks kehidupan digital hari ini, dituntut untuk meluaskan cakrawala untuk menjadi pemimpin dan pendorong dalam seluruh proses transformasi digital organisasi.

Karena itu, manajemen SDM dituntut untuk merancang organisasi, proses bisnis, pengelolaan talenta ke dalam praktik baru berbasis digital yang ditandai dengan adanya budaya inovasi dan berbagi (innovation and sharing). Memetakan setiap potensi individu dalam organisasi atau korporasi dengan demikian menjadi sangat penting, karena budaya inovasi dan berbagi hanya dimungkinkan ketika tersedia infrastruktur yang memungkinkan berlangsungnya proses berinovasi dan saling berbagi tersebut.

Karena itu pula organisasi dan korporasi harus menciptakan ekosistem bekerja yang memberi ruang bagi produktivitas yang lebih baik, entah melalui penggunaan perangkat komunikasi digital yang sekarang ini makin banyak tersedia di pasar, atau menciptakan fungsi-fungsi dan tanggung jawab baru dalam organisasi yang semuanya beroperasi dalam platform digital.

Dengan demikian, yang dituntut dalam organisasi atau korporasi tidak semata-mata bekerja digital (do digital) tetapi menjadi digital (be digital). Bekerja digital itu sudah keharusan, tetapi menjadi digital, itu adalah perubahan paradigma atau pola pikir (mindset).

Mengubah pola pikir be digital memerlukan upaya yang jauh lebih serius dan kompleks ketimbang hanya bekerja digital atau do digital. Do digital hanya mengandaikan tersedianya perangkat, sedangkan be digital mengandaikan adanya upaya untuk membangun sistem yang end to end, mulai dari manusianya, lingkungan kerjanya, sampai dengan platform yang digunakan.

Apabila organisasi dan korporasi mampu mengoperasikan proses bisnis dan “memaksa” setiap entitas atau unit di dalam organisasi menjadi digital, tidak sekadar bekerja digital, kemungkinan untuk dapat beradaptasi dengan perubahan-perubahan yang didorong oleh kehadiran teknologi atau fenomena pandemi seperti sekarang ini, tentu semakin besar.

Karena dalam setiap zaman atau setiap situasi apa pun, paradigma dan nasihat lama tetap berlaku: “Bukan mereka yang paling besar dan paling kuat yang dapat bertahan, melainkan mereka yang lincah dan cepat beradaptasi dengan perubahan-perubahan baru yang sedang terjadi.”
(poe)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1944 seconds (0.1#10.140)