Soal Koalisi Dini, CSIS: Kesempatan Parpol Amati Konstituen
Rabu, 08 Juni 2022 - 14:26 WIB
JAKARTA - Centre for Strategic and International Studies (CSIS) menyebut, koalisi dini yang dibentuk oleh sejumlah partai politik jelang Pemilu 2024 bisa menjadi kesempatan untuk mengenali preferensi pilihan masyarakat sebagai konstituen.
Hal tersebut menjadi bahasan dalam media briefing dengan tajuk 'Manuver Koalisi Partai Menjelang Pemilu Presiden: Motivasi dan Resiliensi', yang diadakan Departemen Politik dan Perubahan Sosial CSIS, Rabu (8/6/2022).
Peneliti Departemen Politik dan Perubahan Sosial CSIS, Edbert Gani Suryahudaya mengatakan, dalam konteks koalisi dini yang belakangan dilakukan partai politik merupakan inovasi politik pascaera Reformasi. Hal tersebut seperti terlihat dalam Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) bentukan Golkar, PAN, dan PPP.
"Belajar dari pengalaman sebelumnya, koalisi sering dibentuk oleh kandidat atau calon sehingga parpol mendekat. Koalisi dini membuka percaturan baru, merubah trend politik ke depannya," ujarnya.
Dia menilai keuntungan dari publik terhadap koalisi dini dengan waktu relatif panjang, kemungkinan dimanfaatkan waktu yang tersedia untuk menyelaraskan politik ide gagasan.
"Koalisi dini dapat menjadi daya tarik kandidat yang belum memiliki partai untuk mengikuti kontestasi. Dapat melakukan elaborasi platform dark kandidat. Konvensi terbuka untuk dapat mengelaborasi dalam Pemilu 2024. Dengan koalisi dini maka kesempatan di atas dapat dimanfaatkan parpol yang sudah masuk dalam koalisi," ucapnya.
Koalisi dini, kata dia, juga memiliki sejumlah tantangan, keutuhan gagasan atau ide pencalonan tidak hanya di elite tapi juga sesuai pilihan kandidat tapi juga harus selaras dengan pilihan di daerah. Selain itu kedisiplinan kader parpol untuk mengikuti arahan pusat dapat membuat ketidakstabilan serta peran publik penting, karena setiap ceruk parpol dalam koalisi akan amat berpengaruh.
"Koalisi ini jangan sampai mengganggu kinerja pemerintah. Selama ini kandidat partai politik selalu tertutup. Sekarang lebih terbuka, sehingga lebih transparan dan bisa diuji oleh publik sebelum masuk ke kampanye. Sehingga bisa meningkatkan kepercayaan publik terhadap kandidat tersebut," jelasnya.
Dia tidak menampik diperlukan kandidat capres yang diusung sebagai pengikat koalisi. Apalagi dengan pengalaman dalam pilpres atau pilkada ada elite terbelah dukungannya di tengah koalisi yang sudah terbentuk. "Partai politik harus bisa melakukan uji publik bagi masing-masing kandidat capres. Kesamaan ceruk pemilih partai berkoalisi dengan ceruk pemilih kandidat yang ada. Parpol harus jeli melihat hal ini," katanya.
Dia melihat perubahan trend, di 2014 dan 2019 yang mendukung koalisi adalah kandidat di mana saat itu sosok Jokowi dan Prabowo dapat menarik partai politik mendekat. "Faktor sosok capres dan pimpinan parpol menjadi penting di Pemilu 2024. Misalkan Pak Paloh ketemu dengan Prabowo, SBY. Sekarang belum ada calon definitif. Di situlah menariknya dengan koalisi dini memberikan kesempatan publik untuk melakukan nominasi mendengar suara publik," tutupnya. [Carlos Roy Fajarta]
Hal tersebut menjadi bahasan dalam media briefing dengan tajuk 'Manuver Koalisi Partai Menjelang Pemilu Presiden: Motivasi dan Resiliensi', yang diadakan Departemen Politik dan Perubahan Sosial CSIS, Rabu (8/6/2022).
Peneliti Departemen Politik dan Perubahan Sosial CSIS, Edbert Gani Suryahudaya mengatakan, dalam konteks koalisi dini yang belakangan dilakukan partai politik merupakan inovasi politik pascaera Reformasi. Hal tersebut seperti terlihat dalam Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) bentukan Golkar, PAN, dan PPP.
"Belajar dari pengalaman sebelumnya, koalisi sering dibentuk oleh kandidat atau calon sehingga parpol mendekat. Koalisi dini membuka percaturan baru, merubah trend politik ke depannya," ujarnya.
Dia menilai keuntungan dari publik terhadap koalisi dini dengan waktu relatif panjang, kemungkinan dimanfaatkan waktu yang tersedia untuk menyelaraskan politik ide gagasan.
"Koalisi dini dapat menjadi daya tarik kandidat yang belum memiliki partai untuk mengikuti kontestasi. Dapat melakukan elaborasi platform dark kandidat. Konvensi terbuka untuk dapat mengelaborasi dalam Pemilu 2024. Dengan koalisi dini maka kesempatan di atas dapat dimanfaatkan parpol yang sudah masuk dalam koalisi," ucapnya.
Koalisi dini, kata dia, juga memiliki sejumlah tantangan, keutuhan gagasan atau ide pencalonan tidak hanya di elite tapi juga sesuai pilihan kandidat tapi juga harus selaras dengan pilihan di daerah. Selain itu kedisiplinan kader parpol untuk mengikuti arahan pusat dapat membuat ketidakstabilan serta peran publik penting, karena setiap ceruk parpol dalam koalisi akan amat berpengaruh.
"Koalisi ini jangan sampai mengganggu kinerja pemerintah. Selama ini kandidat partai politik selalu tertutup. Sekarang lebih terbuka, sehingga lebih transparan dan bisa diuji oleh publik sebelum masuk ke kampanye. Sehingga bisa meningkatkan kepercayaan publik terhadap kandidat tersebut," jelasnya.
Dia tidak menampik diperlukan kandidat capres yang diusung sebagai pengikat koalisi. Apalagi dengan pengalaman dalam pilpres atau pilkada ada elite terbelah dukungannya di tengah koalisi yang sudah terbentuk. "Partai politik harus bisa melakukan uji publik bagi masing-masing kandidat capres. Kesamaan ceruk pemilih partai berkoalisi dengan ceruk pemilih kandidat yang ada. Parpol harus jeli melihat hal ini," katanya.
Dia melihat perubahan trend, di 2014 dan 2019 yang mendukung koalisi adalah kandidat di mana saat itu sosok Jokowi dan Prabowo dapat menarik partai politik mendekat. "Faktor sosok capres dan pimpinan parpol menjadi penting di Pemilu 2024. Misalkan Pak Paloh ketemu dengan Prabowo, SBY. Sekarang belum ada calon definitif. Di situlah menariknya dengan koalisi dini memberikan kesempatan publik untuk melakukan nominasi mendengar suara publik," tutupnya. [Carlos Roy Fajarta]
(cip)
tulis komentar anda