Tak Ada Batasan Tarif, Wajar Ada Tuntutan Tes Corona Digratiskan
Selasa, 23 Juni 2020 - 16:18 WIB
JAKARTA - Polemik biaya rapid test yang mahal terus mengundang keluhan masyarakat. Sekali rapid test masyarakat mesti mengeluarkan duit Rp250.000-Rp 500.000 itu, sedangkan untuk tes polymerase chain reaction (PCR) atau swab test berkisar Rp1.600.000-Rp2.500.000.
Hasil kedua jenis tes itu punya durasi waktu untuk digunakan sebagai ”kartu akses” mobililitas masyarakat. Rapid test hanya berlaku tiga hari, sedangkan PCR tujuh hari. Masyarakat dari Jakarta yang akan ke Jawa Tengah selama sepekan misalnya, setidaknya harus dua kali melakukan rapid test agar bisa kembali ke Jakarta.
(Baca: Rapid Test Massal, Bisnis Anyar yang Menggiurkan)
Melihat kondisi ini, peneliti bidang sosial The Indonesian Institute, Vunny Wijaya menganggap wajar bila masyarakat meminta agar pemerintah bisa menggratiskan pemeriksaan tersebut. Sebab biaya tersebut membebani, terlebih dalam situasi ekonomi sulit sekarang. Wajar
“Saya harapkan pemerintah pusat mempertimbangkan rangkaian tes Covid secara gratis bagi masyarakat. Tidak semua masyarakat mampu membayar,” ujar kata Vunny Wijaya saat dihubungi SINDOnews, Selasa (23/6/2020).
(Baca: KH Cholil Nafis: Paradoks! Orang Tidak Tes Disuruh Tes, Mau Tes Diminta Bayar)
Menurut dia, pemerintah sebenarnya bisa menetapkan patokan biaya tertinggi untuk rapid test dan swab test . Hal ini penting untuk menghindari biaya yang terlampau mahal karena selama ini biaya tes memang tidak diatur. “Dengan kata lain, biaya diserahkan ke kebijakan fasilitas kesehatan yang menyelenggarakan tes Covid-19,” katanya.
Persoalan biaya tes ini sebelumnya telah memantik berbagai respons dari DPR, Ombudsman, MUI, pengamat atau akademisi, dan kelompok masyarakat. Mulai dari tudingan uji rapid test itu menjadi proyek untuk mencari keuntungan bisnis kesehatan, permintaan biaya digratiskan, hingga meminta hentikan pelaksanaan uji skrining awal tersebut.
Terlebih lagi, hal itu kian mengemuka saat pemerintah terus menambah anggaran untuk penanganan Covid-19. Dari semula alokasi dananya sebesar Rp405,1 triliun, kini jumlahnya ditambah lagi menjadi Rp695,2 triliun.
Hasil kedua jenis tes itu punya durasi waktu untuk digunakan sebagai ”kartu akses” mobililitas masyarakat. Rapid test hanya berlaku tiga hari, sedangkan PCR tujuh hari. Masyarakat dari Jakarta yang akan ke Jawa Tengah selama sepekan misalnya, setidaknya harus dua kali melakukan rapid test agar bisa kembali ke Jakarta.
(Baca: Rapid Test Massal, Bisnis Anyar yang Menggiurkan)
Melihat kondisi ini, peneliti bidang sosial The Indonesian Institute, Vunny Wijaya menganggap wajar bila masyarakat meminta agar pemerintah bisa menggratiskan pemeriksaan tersebut. Sebab biaya tersebut membebani, terlebih dalam situasi ekonomi sulit sekarang. Wajar
“Saya harapkan pemerintah pusat mempertimbangkan rangkaian tes Covid secara gratis bagi masyarakat. Tidak semua masyarakat mampu membayar,” ujar kata Vunny Wijaya saat dihubungi SINDOnews, Selasa (23/6/2020).
(Baca: KH Cholil Nafis: Paradoks! Orang Tidak Tes Disuruh Tes, Mau Tes Diminta Bayar)
Menurut dia, pemerintah sebenarnya bisa menetapkan patokan biaya tertinggi untuk rapid test dan swab test . Hal ini penting untuk menghindari biaya yang terlampau mahal karena selama ini biaya tes memang tidak diatur. “Dengan kata lain, biaya diserahkan ke kebijakan fasilitas kesehatan yang menyelenggarakan tes Covid-19,” katanya.
Persoalan biaya tes ini sebelumnya telah memantik berbagai respons dari DPR, Ombudsman, MUI, pengamat atau akademisi, dan kelompok masyarakat. Mulai dari tudingan uji rapid test itu menjadi proyek untuk mencari keuntungan bisnis kesehatan, permintaan biaya digratiskan, hingga meminta hentikan pelaksanaan uji skrining awal tersebut.
Terlebih lagi, hal itu kian mengemuka saat pemerintah terus menambah anggaran untuk penanganan Covid-19. Dari semula alokasi dananya sebesar Rp405,1 triliun, kini jumlahnya ditambah lagi menjadi Rp695,2 triliun.
(muh)
tulis komentar anda