Kawal Ketat Protokol Baru di Pasar dan Mal
Selasa, 23 Juni 2020 - 06:31 WIB
DATA lonjakan kasus pedagang yang terpapar Covid-19 di pasar-pasar tradisional DKI Jakarta makin miris. Jumlahnya kian hari terus bertambah, yang membuat sedikitnya hingga kemarin ada 12 pasar tradisional ditutup sementara. Bahkan data terbaru, 49 pedagang di Pasar Induk Kramatjati yang menjadi sentral distribusi sayur dan buah di wilayah Jabodetabek, juga diketahui turut terpapar korona. Namun karena alasan ekonomis, pasar ini diputuskan tidak sampai ditutup.
Peningkatan kasus ini makin membuka mata bahwa potensi penyebaran virus korona masih terbuka. Masalah semakin kompleks manakala untuk menerapkan protokol kesehatan di pasar ini, juga tak mudah. Di sana-sini, kita mudah sekali pedagang maupun pengunjung yang tak lagi memakai masker. PSBB transisi saat ini banyak dimaknai warga sebagai masuknya fase kehidupan benar-benar sudah normal. Fakta ini seolah mengonfirmasi penelitian pakar epidemiologi Universitas Indonesia Tri Yunis Miko Wahyono yang mengungkapkan bahwa tingkat kepatuhan warga DKI Jakarta saat PSBB hanya 60%.
Masih rendahnya kesadaran warga ini tidak boleh dianggap enteng. Rendahnya disiplin pedagang mematuhi protokol kesehatan di pasar misalnya, sejatinya juga memiliki dampak lain yang luas. Ketika protokol itu tak diindahkan, tentu barang-barang sembako atau lainnya yang mereka jual sangat mungkin tertempel virus. Kita tahu, virus-virus itu menurut penelitian medis mampu bertahan lama, termasuk di benda padat atau kering sekalipun. Jika ini terjadi, potensi para konsumen terpapar virus juga kian besar.
Langkah pemerintah melakukan tes cepat (rapid test ) terhadap para pedagang adalah sebuah keputusan bijak. Setidaknya dari pasar inilah maka potensi paparan virus bisa diantisipasi. Berkaca pada sejumlah kasus seperti di Padang, Semarang, dan Surabaya, klaster-klaster baru Covid-19 justru banyak bermula dari pasar tradisional. Besarnya kasus ini beralasan, karena sekali lagi, kepatuhan orang saat di pasar masih rendah. Protokol kesehatan juga bukan hal yang mudah karena minimnya sarana, petugas, anggaran, dan sebagainya.
Namun, tes cepat bukan solusi akhir. Yang lebih utama justru agar di tengah PSBB yang sifatnya masih transisi ini, semua pihak memiliki kesadaran tinggi. Apalagi, selain pasar, sejak Senin (15/6) lalu, sekitar 80 mal di Jakarta juga diizinkan beroperasi kembali. Sepekan beroperasi, beberapa mal tampak memberlakukan prosedur yang ketat. Tak hanya di dalam mal, pengetatan juga terlihat di area parkir, pintu masuk atau lift.
Toh begitu, potensi munculnya klaster baru mal juga tetap terbuka. Prediksi meningkatnya pergerakan ekonomi dalam beberapa hari ke depan diyakini akan membuat aktivitas di mal juga kian bergeliat. Pada saat seperti itulah, hukum pasar pun berlaku. Pengelola mal bisa jadi semakin dilematis. Apakah batasan maksimal 50% pengunjung akan benar-benar bisa diterapkan. Sementara di depan mereka ada potensi pendapatan yang besar. Lebih-lebih, pendapatan pengelola dalam tiga bulan terakhir tersendat lantaran PSBB. Belum lagi jika petugas monitoring dari satpol PP atau instansi terkait yang menempel bertugas di mal kian kendur berjaga.
Pada saat kendur dan abai itulah, virus-virus itu bisa jadi semakin dekat, bahkan ada di depan mata kita. Yang kian miris, mereka yang tak turut berbelanja ke pasar atau ke mal pun sangat mungkin menjadi korban karena dibawa oleh orang terdekatnya yang sebelumnya bersinggungan dari tempat tersebut.
Mencegah kerumunan dan membangkitkan kesadaran warga lagi di tengah PSBB transisi juga bukanlah hal mudah. Pasalnya, warga banyak yang merasa sudah kuat dan pengalaman cara terhindar dari korona. Di sisi lain, warga juga makin penat. Dan, PSSB transisi seolah menjadi arena pelampiasan.
Tak heran, ajang car free day (CFD) pertama pada Minggu (20/6) sangat padat. Sekitar 5.000 orang memadati Jalan Sudirman-Thamrin pada pagi hari itu. Ini tentu pekerjaan besar bersama. Pemprov DKI perlu segera membuat tata aturan baru protokol kesehatan di tempat-tempat umum tersebut. Tentu pendekatan yang dilakukan lebih mengutamakan persuasif dengan tujuan membangkitkan kesadaran bersama. Dengan cara itu maka aturan-aturan akan lebih mudah diterapkan.
Peningkatan kasus ini makin membuka mata bahwa potensi penyebaran virus korona masih terbuka. Masalah semakin kompleks manakala untuk menerapkan protokol kesehatan di pasar ini, juga tak mudah. Di sana-sini, kita mudah sekali pedagang maupun pengunjung yang tak lagi memakai masker. PSBB transisi saat ini banyak dimaknai warga sebagai masuknya fase kehidupan benar-benar sudah normal. Fakta ini seolah mengonfirmasi penelitian pakar epidemiologi Universitas Indonesia Tri Yunis Miko Wahyono yang mengungkapkan bahwa tingkat kepatuhan warga DKI Jakarta saat PSBB hanya 60%.
Masih rendahnya kesadaran warga ini tidak boleh dianggap enteng. Rendahnya disiplin pedagang mematuhi protokol kesehatan di pasar misalnya, sejatinya juga memiliki dampak lain yang luas. Ketika protokol itu tak diindahkan, tentu barang-barang sembako atau lainnya yang mereka jual sangat mungkin tertempel virus. Kita tahu, virus-virus itu menurut penelitian medis mampu bertahan lama, termasuk di benda padat atau kering sekalipun. Jika ini terjadi, potensi para konsumen terpapar virus juga kian besar.
Langkah pemerintah melakukan tes cepat (rapid test ) terhadap para pedagang adalah sebuah keputusan bijak. Setidaknya dari pasar inilah maka potensi paparan virus bisa diantisipasi. Berkaca pada sejumlah kasus seperti di Padang, Semarang, dan Surabaya, klaster-klaster baru Covid-19 justru banyak bermula dari pasar tradisional. Besarnya kasus ini beralasan, karena sekali lagi, kepatuhan orang saat di pasar masih rendah. Protokol kesehatan juga bukan hal yang mudah karena minimnya sarana, petugas, anggaran, dan sebagainya.
Namun, tes cepat bukan solusi akhir. Yang lebih utama justru agar di tengah PSBB yang sifatnya masih transisi ini, semua pihak memiliki kesadaran tinggi. Apalagi, selain pasar, sejak Senin (15/6) lalu, sekitar 80 mal di Jakarta juga diizinkan beroperasi kembali. Sepekan beroperasi, beberapa mal tampak memberlakukan prosedur yang ketat. Tak hanya di dalam mal, pengetatan juga terlihat di area parkir, pintu masuk atau lift.
Toh begitu, potensi munculnya klaster baru mal juga tetap terbuka. Prediksi meningkatnya pergerakan ekonomi dalam beberapa hari ke depan diyakini akan membuat aktivitas di mal juga kian bergeliat. Pada saat seperti itulah, hukum pasar pun berlaku. Pengelola mal bisa jadi semakin dilematis. Apakah batasan maksimal 50% pengunjung akan benar-benar bisa diterapkan. Sementara di depan mereka ada potensi pendapatan yang besar. Lebih-lebih, pendapatan pengelola dalam tiga bulan terakhir tersendat lantaran PSBB. Belum lagi jika petugas monitoring dari satpol PP atau instansi terkait yang menempel bertugas di mal kian kendur berjaga.
Pada saat kendur dan abai itulah, virus-virus itu bisa jadi semakin dekat, bahkan ada di depan mata kita. Yang kian miris, mereka yang tak turut berbelanja ke pasar atau ke mal pun sangat mungkin menjadi korban karena dibawa oleh orang terdekatnya yang sebelumnya bersinggungan dari tempat tersebut.
Mencegah kerumunan dan membangkitkan kesadaran warga lagi di tengah PSBB transisi juga bukanlah hal mudah. Pasalnya, warga banyak yang merasa sudah kuat dan pengalaman cara terhindar dari korona. Di sisi lain, warga juga makin penat. Dan, PSSB transisi seolah menjadi arena pelampiasan.
Tak heran, ajang car free day (CFD) pertama pada Minggu (20/6) sangat padat. Sekitar 5.000 orang memadati Jalan Sudirman-Thamrin pada pagi hari itu. Ini tentu pekerjaan besar bersama. Pemprov DKI perlu segera membuat tata aturan baru protokol kesehatan di tempat-tempat umum tersebut. Tentu pendekatan yang dilakukan lebih mengutamakan persuasif dengan tujuan membangkitkan kesadaran bersama. Dengan cara itu maka aturan-aturan akan lebih mudah diterapkan.
(thm)
tulis komentar anda