Bulan: Terikat dan Terpikat

Sabtu, 14 Mei 2022 - 07:53 WIB
Usaha mengerti hal-hal sulit absolut mendapat pijakan ajaran dari Semar. Sindhunata menghadapkan Sukrosono dengan petuah Semar. Petuah bersuasanakan malam berbulan. Kita membaca: “Sukrosono berkata lirih. Dan jatuhlah air matanya. Kesedihannya yang terdalam ternyata bisa memanggil bulan… Ketika bulan menjadi seluruhnya terang, tak satu pun kesedihan tertinggal. Kesedihan Sukrosono sudah hilang ditelan bulan. Sukrosono pun dibawamasuk ke dalam samar…” Bulan membawakan pesan Semar: “Anakku, akan datang saatnya kau harus hidup dalam sejatinya samar. Di sana kau akan hilang karena harus memberikan seluruh hidupmu dalam keikhlasan. Berbahagialah kau bila datang saatnya kau benar-benar dituntun oleh sejatinya samar.”

Selama puluhan tahun, Sindhunata rajin menghadirkan Semar dan petuah-petuah melalui cerita dan esai. Kita makin mengerti jagat kesusastraan dan keintelektualan Sindhunata memang berakar di epos-epos. Ia pernah menekuni filsafat Barat tapi membawa ke gejolak-gejolak Jawa dan religius dalam persembahan tulisan-tulisan. Semar itu tokoh dan pokok.

Sindhunata tak sendirian mementingkan Semar. Di majalah Jakarta Jakarta, 25-31 Mei 1996, Seno Gumira Ajidarma mengabarkan: “Citra tokoh Semar menjadi bagian hidup sehari-hari.” Di Jawa, Semar itu panutan. Ia dikagumi dengan segala petuah jarang gamblang. Orang-orang justru ingin mengerti maksud Semar dalam samar tak berkesudahan. Semar menghuni gubahan sastra di Jawa, sejak ratusan tahun lalu. Pada suatu masa, Sindhunata mengisahkan dalam buku tipis berjudul Semar Mencari Raga. Pembacaan sosok Semar oleh Seno Gumira Ajidarma mengesankan Semar itu ada dan datang dalam situasi-situasi darurat. Di buku Anak Bajang Mengayun Bulan, Sindhunata menghadirkan Semar memang saat darurat. Semar sebagai “jawaban” atau “peringatan”.

Tokoh-tokoh diceritakan Sindhunata dalam babak awal sampai akhir memiliki derajat-derajat perubahan nasib kadang mengejutkan. Pembaca dituntun mengetahui kedirian tokoh tanpa tergesa memberi penilaian paripurna. “Pluralisme moral menyelubungi seluruh jagat wayang,” tulis Benedict Anderson dalam buku berjudul Mitologi dan Toleransi Orang Jawa (2003). Para penikmat atau penafsir epos-epos mewujud dalam sastra dan pentas di Jawa menanggungkan ambiguitas moral saat mengikuti biografi para tokoh.

Sindhunata membuktikan dengan menghadirkan tokoh-tokoh tak pasti atau selalu benar dan salah. Konon, semua itu bergerak di jalan takdir. Sumantri sering berlaku bohong dan kejam tapi terikat “kebenaran” lambat terperoleh. Sukrosono menuruti kebaikan-kebaikan tapi terpencil di tatanan hidup. Dua bersaudara terbaca dalam pertentangan dan perbedaan. Kita teledor atau salah membaca kadang gagal menemukan ikatan-ikatan berdalil kebaikan bersama.

Pertemuan Sumantri-Sukrosono setelah terpisah lama menimbulkan keinginan bersama dan keberjarakkan. Sindhunata mengajukan Sumantri sebagai pihak dirundung bimbang dan membuat kesalahan. Pada saat berdua dengan Sukrosono, ia menampilkan diri sebagai sosok baik dan memberi kasih. Sumantri justru dalam “permainan” menghasilkan luka-luka bakal tersesali. Pembaca diminta tak gegabah mengecam dan prihatin: “Seperti dulu, setiap kali mendengar suara kakaknya, Sukrosono tak menunggu lama untuk bisa memejamkan matanya. Ia tertidur di pangkuan Sumantri. Ia bermimpi naik ke bulan. Di sana, ia melihat bulan, tidak hanya satu tapi seribu. Ia bisa bermain dengan sesukanya. Dilemparnya bulan bagaikan bulan. Dan ia merasa tanggallah satu per satu kesedihan-kesedihannya.” Keikhlasan dan kesetiaan Sukrosono kepada Sumantri itu kesejatian. Sumantri tersadarkan bahwa Sukrosono “berwajah bulan purnama”.

Urusan asmara dan keluarga disahkan bulan bertambah dengan kekuasaan. Sindhunata fasih mengisahkan kekuasaan sering sulit terpahamkan dalam logika-politik modern. Epos-epos berisi perang, rebutan kekuasaan, pemujaan raja, dendam bersambung, sengketa berpusat perempuan, dan lain-lain. Anak Bajang Mengayun Bulan pun mengandung girang dan derita akibat kekuasaan. Sindhunata tak lupa tetap menautkan kekuasaan dengan bulan.

Sumantri memenuhi hasrat menjadi satria, mengabdi kepada Raja Maespati (Prabu Arjunasasrabahu). Raja itu menginginkan Dewi Citrawati saat diperebutkan seribu raja melalui perang terlalu membingungkan. Sumantri tampil sebagai “pemenang” dalam menunaikan titah Prabu Arjunasasrabahu. Dewi Citrawati bakal termiliki Prabu Arjunasasrabahu atas pengabdian Sumantri dalam perang mengalahkan para raja.

Raihan-raihan Sumantri dalam kekuasaan ditentukan keberanian dan kebaikan Sukrosono. Sosok tak tampak bagi orang-orang telanjur mengagumi Sumantri. Pada saat menuruti perintah Prabu Sasrabahu agar menghadirkan Taman Sriwedari di Maespati atas permintaan Dewi Citrawati, Sumantri merasa dihadapkan kemustahilan. Penjawab dan pemberi bukti justru Sukrosono. Ia berhasil memindahkan Taman Sriwedari ke Maespati. Tokoh di muka untuk membuktikan di hadapan raja dan Dewi Citrawati tentu Sumantri.

Tata cara mewujudkan Taman Sriwedari penuh misteri. Sukrosono berpesan kepada Sumantri: “Tunggulah sampai malam tiba, di mana akan datang bulan purnama. Mintalah mereka datang ke dataran luas yang ada di Maespati ini. Taruhlah kuncup bunga Wijayakusuma ini di telapak tanganmu, lalu bersemadilah!” Peristiwa akbar tergelar. Taman Sriwedari menimbulkan ketakjuban. Pembaca diingatkan pemenuhan hasrat demi asmara dan kekuasaan dipengaruhi bulan. Dewi Citrawati menjadi permaisuri. Perempuan cantik jelita itu bersanding Prabu Arjunasasrabahu. Sumantri menjadi sosok “penentu” dalam pemenuhan ingin Dewi Citrawati dan kehormatan raja.
Dapatkan berita terbaru, follow WhatsApp Channel SINDOnews sekarang juga!
Halaman :
tulis komentar anda
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More