Bulan: Terikat dan Terpikat

Sabtu, 14 Mei 2022 - 07:53 WIB
Tokoh bernama Sukrosono (raksasa bajang) sedang dilanda sedih dan merasa tenggelam dalam duka tak bernama. Di hutan, ia menanggungkan nasib ingin terang tapi gelap melanda dengan duka dan kesepian. Sindhunata bercerita: “Di ujung kegelapan ini tampak bulan sedang turun serendah-rendahnya, menghamparkan remang-remang terangnya. Betapa bahagia raksasa bajang ketika ia kembali melihat sinar bulan setelah sekian lama terbenam tanpa jalan keluar dalam kegelapan. Dengan helai-helai sinar bulan, ia mengamati sekelilingnya. Ia mendapati dirinya sedang berdiri di tengah hamparan kembang campaka yang membentang jadi pelataran bulan purnama. Bulan tiba-tiba menjadi penuh, cahayanya memecah kesunyian, dan gugurlah daun-daun malam yang bergemerisik, membangunkan kesepian raksasa bajang.”

Kita melihat peristiwa puitis. Ketakjuban tak mungkin selesai dengan selusin alinea. Sindhunata masih bersabar tak mengumbar bulan cuma di halaman-halaman awal. Peristiwa dialami Sukrosono di hutan Jatirasa membenarkan anggapan: bulan itu perempuan, bulan itu ibu, bulan itu kerinduan, bulan itu kenangan. Pembaca dibuat terharu dalam pertemuan anak dan ibu. Perpisahan dan kegamangan nasib dijawab bulan. Sukrosono merindukan ibu. Perempuan merasa bersalah dan menginginkan pertemuan dengan anak pernah dibuang gara-gara bertubuh dan bertampang jelek. Dua sosok bertemu sulit dalam berbahasa tapi merasa mengerti dengan pelukan dan ciuman. Sindhunata memberi adegan mengharukan: “Merasakan pelukan yang demikian mesra, makin deraslah perempuan itu mencucurkan air matanya. Ia tak dapat berkata-kata, kecuali menciumi pipi raksasa bajang itu dengan tak kalah mesranya.”

Sindhunata bercerita bulan mengacu warisan epos-epos bersemi di Jawa. Ia memasuki jagat cerita telah dialami orang-orang terdahulu menghidupi Mahabharata dan Ramayana. Di Jawa atau Nusantara, epos-epos itu bertumbuh dan bercabang menghasilkan ribuan cerita. Epos sebagai acuan mendapat imbuhan dari pembacaan kitab suci dan sejarah peradaban memungkinkan pembesaran bahasa-sains. Sindhunata belum bermaksud menceritakan bulan sebagai kebenaran-kebenaran rasional. Sekian cerita ingin mengembalikan bulan dalam pengalaman-pengalaman keindahan, keimanan, dan asmara.

Bercerita bulan bukan untuk bualan tapi buaian kesejatian manusia, alam, dan Tuhan. Di khazanah sastra Jawa, kemahiran Sindhunata mengisahkan bulan sudah didahului para pujangga atau penggubah tembang-tembang, sejak ratusan tahun lalu. Di Jawa, bulan itu acuan menimbulkan keberlimpahan cerita untuk terbaca-terdengar atau kenikmatan menembang dalam kesendirian atau kebersamaan. Sindhunata berada di jalan sudah dilewati orang-orang terpukau bulan.

Di buku berjudul Kebudayaan Jawa (1984), Koentjaraningrat menjelaskan pelbagai seni dan sastra mementingkan pengisahan alam-semesta. Bulan menjadi acuan terlanggengkan. Di kalangan priyayi dan petani, bulan ditemukan dalam beragam seni. Di persembahan sastra-sastra lama beralamat keraton atau tetembangan desa, bulan senantiasa menakjubkan dalam ungkapan kegembiraan, kebahagiaan, dan keindahan. Bulan pun renungan atau tamsil. Di Jawa, bulan makin berarti dengan kesadaran arsitektur rumah dan tata cara pertanian. Bulan bukan milik orang-orang Jawa saja tapi kepemilikan itu erat.

Sindhunata menuliskan bulan untuk orang-orang masih mau memberi tatapan ketakjuban ketimbang penelantaran akibat peradaban terlalu berubah oleh lampu-lampu dan pemandangan buatan. Di halaman-halaman Anak Bajang Mengayun Bulan, kita menikmati lagi cerita-cerita bergerak lambat untuk nikmat bagi pendamba makna-makna terhubung kesilaman dan epos tak pernah kedaluwarsa.

Kita diminta mengandaikan pengalaman bergejolak tokoh-tokoh dipengaruhi bulan. Sindhunata menuliskan bulan dan nafsu. Kita membaca tanpa sangkaan picisan. Kita mengingat adegan Begawan Swandagni dan Dewi Sokawati di bawah bulan, penentu kehamilan dan kelahiran dua anak berbeda rupa: Sumantri dan Sukrosono. Begawan Swandagni dikutuk salah dan keinginan pengampunan: “Sering, di saat malam sedang indah dengan terang bulannya, ia berjalan sendiri di pelataran Jatisrana. Terputarlah kembali dalam ingatannya, ketika ia melakukan perbuatan asmara, yang membuat nafsunya membara. Ia sangat menikmati nafsunya ketika bercinta dengan Dewi Sokawati pada malam itu, namun mengapa ia menolak buah dari nafsu itu, hingga ia menganggap Sukrosono bukanlah buah dari perbuatan cintanya? Ia menyesali perbuatannya.”

Di bawah bulan, lelaki dan perempuan dalam pemenuhan nafsu. Kenikmatan makin indah dengan terang bulan. Kenikmatan disusul ingkar dan kesalahan. Dewi Sokawati melahirkan Sumantri dan Sukrosono. Sumantri bertampang rupawan. Sukrosono mula-mula dilihat buruk berakibat dibuang atas “perintah” Begawan Swandagni. Derita, keajaiban, dan kutukan perlahan menjadikan cerita terbaca mendebarkan. Sukrosono justru sosok baik, setia, dan berani. Sumantri sering memburu ingin muluk-muluk dan merasa malu memiliki adik Sukrosono.

Di beragam perjalanan dan peristiwa, Sumantri dan Sukrosono bertemu para tokoh berurusan asmara, keluarga, kekuasaan, alam, dan lain-lain. Kita tak mampu memihak dengan pujian mutlak atau mengutuk tokoh pasti salah. Tokoh-tokoh dalam Anak Bajang Mengayun Bulan meminta pembaca tekun mempertimbangkan baik-buruk, benar-salah, benci-cinta, damai-perang, erat-renggang, suci-kotor, dan lain-lain.

Pembaca biasa dalam dilema-dilema mengartikan peristiwa dan peran tokoh-tokoh. Di buku berjudul Kisah Karna dan Dendam Kita (1999), Mohamad Sobary mengingatkan bahwa epos-epos masih referensi bagi orang-orang Indonesia membincangkan moral, politik, kebenaran, kebahagiaan, dan lain-lain. Penilaian tak mungkin tetap dan mutlak dalam mengerti tokoh-tokoh. Tragedi-tragedi dalam epos memungkinkan pembaca mengetahui nasib dan keajaiban tercipta. Epos menguak sifat-sifat manusia sering berpasangan tapi terbahasakan tak gamblang. Kebiasaan orang-orang Jawa mengisahkan tokoh-tokoh dalam epos itu pengajaran menjadi manusia berbarengan menilik ulang sifat-sifat mengejawantah tanpa mengabaikan takdir terselenggara sulit ditebak.
Dapatkan berita terbaru, follow WhatsApp Channel SINDOnews sekarang juga!
Halaman :
tulis komentar anda
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More