Ruang Kebebasan Sipil Makin Menyempit, UU ITE Perlu Direvisi

Rabu, 20 April 2022 - 22:34 WIB
Perhelatan G20 pada November 2022, menjadi peluang bagi masyarakat sipil untuk mendorong agenda kebebasan masyarakat agar menjadi perhatian negara. FOTO/IST
JAKARTA - Perhelatan G20 atau kelompok 20 negara dengan perekonomian terbesar pada November 2022, menjadi peluang bagi masyarakat sipil untuk mendorong agenda kebebasan masyarakat agar menjadi perhatian negara. Pemerintah Indonesia, yang saat ini memegang Presidensi G20, perlu lebih memperhatikan hak-hak sipil dan mendorong negara-negara lain juga melakukan hal yang sama.

Direktur Eksekutif SAFEnet, Damar Juniarto mengatakan, ruang kebebasan sipil sepanjang empat tahun terakhir memang makin menyempit (shrinking civic space). Menurut pantauan SAFEnet, pada 2018 kebebasan sipil sudah memasuki tahap waspada. Tahun lalu, alarm sudah menyala, kebebasan sipil sudah Siaga 2.

"Jika tak ada upaya serius, ini akan makin memburuk dan bisa mengarah ke Otoritarianisme Digital," ujarnya dalam diskusi daring bertema Presidensi G20 dan Pentingnya Ruang Kebebasan Masyarakat Sipil, Selasa (19/4/2022).



Baca juga: Adam Deni Ajukan Eksepsi atas Dakwaan Pasal UU ITE, Ini Kata Kuasa Hukumnya

Otoritarianisme Digital adalah penggunaan teknologi digital oleh rezim otoriter untuk mengawasi, menekan, dan memanipulasi masyarakat. Otoritarianisme ini ditandai dengan penggunaan instrumen informasi, hukum, dan teknologi untuk menekan kebebasan sipil.

Dalam konteks Indonesia, penggunaan informasi ini misalnya dengan sensor online, menaikkan tagar (hashtag) tertentu, menggunakan jasa pendengung (influencer), atau bahkan propaganda berbasis komputer. Sedangkan penggunaan teknologi contohnya adalah penyebaran informasi pribadi (doxxing), peretasan akun, pencurian identitas atau nomor telepon, sampai mematikan internet.

Untuk penggunaan instrumen hukum paling banyak adalah Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Menurut pantauan SAFEnet, sepanjang 2013-2021 ada 393 kasus hukum UU ITE. Pada 2021, dari 38 kasus hukum UU ITE, aktivis paling banyak dilaporkan dengan UU ITE (dengan porsi 26%), lalu korban/pendamping/saksi kekerasan (21 %), jurnalis (13%), buruh (11%). Dari jumlah itu, kelompok kritis yang dilaporkan dengan UU ITE lebih dari 50%. Pelapor mayoritas adalah orang yang berkuasa, pejabat publik dan petinggi institusi lebih dari 50% total kasus.

Direktur Pengembangan Organisasi dan Penelitian PSHK (Pusat Studi Hukum dan Kebijakan) Rizky Argama menjelaskan, menyempitnya ruang kebebasan sipil itu tren global dan naik turun seiring pergantian rezim. Dalam setiap rezim terjadi pelarangan atau pembubaran organisasi dengan instrumen hukum. "Misal Orde Baru dengan UU Ormas tahun 1985 dan Masa Pemerintahan Jokowi dengan Perppu Ormas 2017," katanya.

Padahal ruang kebebasan sipil (civic space) merupakan ruang bagi masyarakat sipil untuk berperan dalam kehidupan sosial, politik, dan ekonomi masyarakat. Namun yang terjadi justru pengekangan. Rizky, menukil KontraS menyatakan, sepanjang 2015-2019, ada 1.056 pembatasan kebebasan berkumpul. Baik berupa penyerangan, pelarangan, dan pembubaran paksa. Bahkan pada 2019, saat ramai #ReformasiDikorupsi, ada 390 aduan hambatan demonstrasi. Ada 1.048 orang ditangkap.
Halaman :
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More