Trilogi Pandemi dan Solusinya yang Mendasar
Jum'at, 19 Juni 2020 - 10:39 WIB
Andi A Mallarangeng
Doktor Ilmu Politik, Northern Illinois University AS, Jubir Presiden Keenam RI
SETELAH tiga bulan lebih kita diterpa pandemi korona (Covid-19), aspek-aspek lain tentang pandemi mulai bermunculan. Ini mungkin juga karena media dan para pemangku kepentingan mulai menukik semakin dalam tentang berbagai aspek pandemi. Tampaknya pula hal serupa juga terjadi di banyak tempat di dunia. Beberapa aspek lain dari pandemi mungkin baru sekarang disadari.
Singkatnya sudah mulai disadari adanya kecenderungan selama pandemi bahwa: (1) angka kehamilan meningkat, tetapi pada saat yang sama (2) angka perceraian juga meningkat dan (3) kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) meningkat pula. Bersamaan dengan itu (4) childabuse dan (5) e lderabuse pun meningkat. Tentu saja ini semua belumlah merupakan kecenderungan resmi dan baru merupakan indikasi-indikasi awal yang diberitakan media atau berbagai webinar yang sedang tren. Tapi karena indikasi ini menyangkut sendi paling dasar dari suatu bangsa, yaitu keluarga, kita perlu memikirkan implikasi dan mitigasinya dalam kebijakan publik.
Tampaknya kombinasi stay at home berkepanjangan yang dibarengi dengan kehilangan pekerjaan (joblessness ) dan penurunan penghasilan (income drop ) secara drastis menyebabkan kerusakan mendasar bagi sendi-sendi keluarga. Tampaknya pula kombinasi ketiga faktor ini menjadi sangat berbahaya ketika menghantam sang kepala keluarga yang notabene kaum laki-laki. Ketika kaum laki-laki kehilangan pekerjaan dan penghasilan menurun drastis sembari tetap harus menghadapi anak istri di rumah berbulan-bulan, kepercayaan dan harga diri menurun, lalu anak-istri dan anggota keluarga di rumah menjadi sasaran. Sebuah situasi sempurna yang menghasilkan "korban mencari korban".
Pertanyaannya adalah bagaimana memitigasi persoalan ini dan memformulasikannya dalam kebijakan publik? Sebagian orang mungkin saja mengusulkan perlunya ada psikolog di tingkat puskesmas dan kalau perlu berkeliling untuk memberikan konseling kepada keluarga-keluarga yang membutuhkan. Sebagian lagi mungkin pula mengusulkan agar pemuka agama lebih diperankan untuk memberikan bimbingan spiritual kepada umat masing-masing agar lebih sabar dan tabah. Tapi semua itu tidak menyentuh persoalan mendasar trilogi pandemi: stay at home , joblessness , income drop .
Solusi Mendasar dan Syaratnya
Solusi yang mendasar tentu saja adalah keluar rumah (pekerjaan), penghasilan yang cukup. Dan inilah yang tampaknya yang sedang dipikirkan oleh pemerintah dengan pelonggaran PSBB beserta berbagai istilahnya seperti new normal atau "transisi." Namun hal yang kurang diangkat dalam solusi seperti ini adalah syarat-syarat yang diperlukan untuk melakukan pelonggaran PSBB (walau dalam kenyataan PSBB sebenarnya sudah sangat longgar). Sebagai rujukan, Pusat Pengendalian Penyakit AS (CDC) memberikan tiga syarat kapan suatu negara bagian di AS dapat mulai melonggarkan pembatasan sosialnya. Ketiga syarat itu, pertama, menurunnya kasus positif baru selama periode dua minggu; kedua, menurunnya kunjungan pasien ke instalasi gawat darurat (IGD) atau klinik rumah sakit karena Covid-19 atau gejala influenza selama dua minggu; ketiga, adanya program testing yang efektif dengan hasil 20% atau kurang kasus positif Covid-19 selama dua minggu. Ketiga syarat itu sejalan pula dengan petunjuk (guidelines ) WHO.
Syarat pertama meniscayakan grafik positif Covid-19 yang sedang menurun, bukan ketika grafik sedang mendaki. Inilah yang sering disebut sebagai flattening the curve . Ini pulalah kondisi The New Normal sebagaimana dijelaskan Prof. Hermanto Siregar dari IPB dengan videonya yang viral. Syarat kedua meniscayakan menurunnya beban fasilitas kesehatan dan rumah sakit di daerah tersebut. Sementara syarat ketiga mengharuskan adanya program testing yang efektif dengan hasil yang semakin menurun. Semua syarat itu harus menunjukkan tren penurunan selama periode dua minggu karena masa inkubasi virus ini memang dua minggu.
Doktor Ilmu Politik, Northern Illinois University AS, Jubir Presiden Keenam RI
SETELAH tiga bulan lebih kita diterpa pandemi korona (Covid-19), aspek-aspek lain tentang pandemi mulai bermunculan. Ini mungkin juga karena media dan para pemangku kepentingan mulai menukik semakin dalam tentang berbagai aspek pandemi. Tampaknya pula hal serupa juga terjadi di banyak tempat di dunia. Beberapa aspek lain dari pandemi mungkin baru sekarang disadari.
Singkatnya sudah mulai disadari adanya kecenderungan selama pandemi bahwa: (1) angka kehamilan meningkat, tetapi pada saat yang sama (2) angka perceraian juga meningkat dan (3) kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) meningkat pula. Bersamaan dengan itu (4) childabuse dan (5) e lderabuse pun meningkat. Tentu saja ini semua belumlah merupakan kecenderungan resmi dan baru merupakan indikasi-indikasi awal yang diberitakan media atau berbagai webinar yang sedang tren. Tapi karena indikasi ini menyangkut sendi paling dasar dari suatu bangsa, yaitu keluarga, kita perlu memikirkan implikasi dan mitigasinya dalam kebijakan publik.
Tampaknya kombinasi stay at home berkepanjangan yang dibarengi dengan kehilangan pekerjaan (joblessness ) dan penurunan penghasilan (income drop ) secara drastis menyebabkan kerusakan mendasar bagi sendi-sendi keluarga. Tampaknya pula kombinasi ketiga faktor ini menjadi sangat berbahaya ketika menghantam sang kepala keluarga yang notabene kaum laki-laki. Ketika kaum laki-laki kehilangan pekerjaan dan penghasilan menurun drastis sembari tetap harus menghadapi anak istri di rumah berbulan-bulan, kepercayaan dan harga diri menurun, lalu anak-istri dan anggota keluarga di rumah menjadi sasaran. Sebuah situasi sempurna yang menghasilkan "korban mencari korban".
Pertanyaannya adalah bagaimana memitigasi persoalan ini dan memformulasikannya dalam kebijakan publik? Sebagian orang mungkin saja mengusulkan perlunya ada psikolog di tingkat puskesmas dan kalau perlu berkeliling untuk memberikan konseling kepada keluarga-keluarga yang membutuhkan. Sebagian lagi mungkin pula mengusulkan agar pemuka agama lebih diperankan untuk memberikan bimbingan spiritual kepada umat masing-masing agar lebih sabar dan tabah. Tapi semua itu tidak menyentuh persoalan mendasar trilogi pandemi: stay at home , joblessness , income drop .
Solusi Mendasar dan Syaratnya
Solusi yang mendasar tentu saja adalah keluar rumah (pekerjaan), penghasilan yang cukup. Dan inilah yang tampaknya yang sedang dipikirkan oleh pemerintah dengan pelonggaran PSBB beserta berbagai istilahnya seperti new normal atau "transisi." Namun hal yang kurang diangkat dalam solusi seperti ini adalah syarat-syarat yang diperlukan untuk melakukan pelonggaran PSBB (walau dalam kenyataan PSBB sebenarnya sudah sangat longgar). Sebagai rujukan, Pusat Pengendalian Penyakit AS (CDC) memberikan tiga syarat kapan suatu negara bagian di AS dapat mulai melonggarkan pembatasan sosialnya. Ketiga syarat itu, pertama, menurunnya kasus positif baru selama periode dua minggu; kedua, menurunnya kunjungan pasien ke instalasi gawat darurat (IGD) atau klinik rumah sakit karena Covid-19 atau gejala influenza selama dua minggu; ketiga, adanya program testing yang efektif dengan hasil 20% atau kurang kasus positif Covid-19 selama dua minggu. Ketiga syarat itu sejalan pula dengan petunjuk (guidelines ) WHO.
Syarat pertama meniscayakan grafik positif Covid-19 yang sedang menurun, bukan ketika grafik sedang mendaki. Inilah yang sering disebut sebagai flattening the curve . Ini pulalah kondisi The New Normal sebagaimana dijelaskan Prof. Hermanto Siregar dari IPB dengan videonya yang viral. Syarat kedua meniscayakan menurunnya beban fasilitas kesehatan dan rumah sakit di daerah tersebut. Sementara syarat ketiga mengharuskan adanya program testing yang efektif dengan hasil yang semakin menurun. Semua syarat itu harus menunjukkan tren penurunan selama periode dua minggu karena masa inkubasi virus ini memang dua minggu.
Lihat Juga :
tulis komentar anda