Pandemi yang Tak Cukup Mengubah Budaya Pergi Kerja
Selasa, 05 April 2022 - 15:55 WIB
Bisa jadi ada beberapa persoalan yang menyebabkan budaya pergi kerja ini sulit berubah, meskipun sudah diuji coba secara alami melalui peristiwa wabah atau covid-19. Pertama, pergi bekerja itu bukan hanya sekadar bepergian untuk bekerja. Namun lebih dari itu, ada hal-hal nonbekerja yang kemudian memberikan pengaruh kepada keindahan pergi bekerja. Misalnya berkumpul dengan teman-teman atau mengerjakan sesuatu yang terkait dengan pekerjaan, atau bukan pekerjaan di tempat kerja itu sendiri. Kadang-kadang proyek sampingan itu bisa dikerjakan di tempat nongkrong seperti kafe dan lain-lain, bersama teman-teman yang berbeda.
Kedua, budaya pergi kerja sulit dihilangkan karena sudah terbiasa bahwa yang disebut bekerja itu adalah pergi bekerja. Padahal pergi untuk bekerja dengan bekerja itu sendiri merupakan dua entitas yang berbeda signifikan. Sehingga keduanya tidak perlu dianggap dua dalam satu, atau satu dalam dua. Bekerja bisa dilakukan di mana saja. Serta berproduksi bisa dilakukan dengan menggunakan apa saja. Tetapi pergi kerja adalah proses bagaimana menuju ke tempat kerja yang bisa jadi beberapa orang malah pergi ke tempat kerja tidak untuk bekerja, tetapi justru untuk tidak bekerja. Maka kemudian di sinilah kita akan susah melakukan transformasi budaya pergi bekerja.
Ketiga, mungkin saja ada persoalan di rumahnya. Persoalan ini tidak selalu harus dilihat negatif. Sebab bisa jadi hanya jenuh saja karena rutinitas yang berlangsung pada keadaan yang itu-itu saja, pun bisa memberikan pengaruh besar kepada produktivitas. Sehingga pergi ke tempat kerja bisa jadi merupakan upaya pemenuhan kerinduan berkumpul bersama yang lain. Semacam rekreasi mental yang kemudian, ketika kembali ke rumah, akan terasa segar kembali.
Arah Baru
Lalu bagaimana mempertemukan antara budaya pergi kerja agar bisa berdampak kepada pengurangan kemacetan ini?
Pertama, peran pemerintah penting dalam mengatur jam pergi kerja untuk sektor-sektor tertentu ini. Misalnya sektor pendidikan dan penunjangnya seperti kampus dan sekolah jam perginya bisa lebih pagi. Sementara kantor-kantor bisa diatur lebih siang. Atau bisa juga sebaliknya. Dengan mengatur ini saja, maka penumpukan kendaraan bisa berkurang signifikan.
Kedua, sektor-sektor yang memungkinkan bisa dikerjakan di rumah dengan pendekatan WFH bisa diberlakukan sistem shift. Misalnya 50% pekerja hadir dari hari Senin sampai Rabu; lalu 50% lagi hadir pada sisa harinya sehingga setiap orang tetap merasakan budaya pergi ke kantor tersebut.
Ketiga, penghargaan bagi institusi yang konsisten melakukan kebijakan tersebut. Sebab, lembaga-lembaga yang bisa mengatur kebijakan pengaturan budaya pergi kerja ini, akan memberikan kontribusi signifikan pada berbagai persoalan lingkungan, seperti penghematan sumber daya energi, pengurangan polusi dan tentu mengurangi kemacetan.
Kedua, budaya pergi kerja sulit dihilangkan karena sudah terbiasa bahwa yang disebut bekerja itu adalah pergi bekerja. Padahal pergi untuk bekerja dengan bekerja itu sendiri merupakan dua entitas yang berbeda signifikan. Sehingga keduanya tidak perlu dianggap dua dalam satu, atau satu dalam dua. Bekerja bisa dilakukan di mana saja. Serta berproduksi bisa dilakukan dengan menggunakan apa saja. Tetapi pergi kerja adalah proses bagaimana menuju ke tempat kerja yang bisa jadi beberapa orang malah pergi ke tempat kerja tidak untuk bekerja, tetapi justru untuk tidak bekerja. Maka kemudian di sinilah kita akan susah melakukan transformasi budaya pergi bekerja.
Ketiga, mungkin saja ada persoalan di rumahnya. Persoalan ini tidak selalu harus dilihat negatif. Sebab bisa jadi hanya jenuh saja karena rutinitas yang berlangsung pada keadaan yang itu-itu saja, pun bisa memberikan pengaruh besar kepada produktivitas. Sehingga pergi ke tempat kerja bisa jadi merupakan upaya pemenuhan kerinduan berkumpul bersama yang lain. Semacam rekreasi mental yang kemudian, ketika kembali ke rumah, akan terasa segar kembali.
Arah Baru
Lalu bagaimana mempertemukan antara budaya pergi kerja agar bisa berdampak kepada pengurangan kemacetan ini?
Pertama, peran pemerintah penting dalam mengatur jam pergi kerja untuk sektor-sektor tertentu ini. Misalnya sektor pendidikan dan penunjangnya seperti kampus dan sekolah jam perginya bisa lebih pagi. Sementara kantor-kantor bisa diatur lebih siang. Atau bisa juga sebaliknya. Dengan mengatur ini saja, maka penumpukan kendaraan bisa berkurang signifikan.
Kedua, sektor-sektor yang memungkinkan bisa dikerjakan di rumah dengan pendekatan WFH bisa diberlakukan sistem shift. Misalnya 50% pekerja hadir dari hari Senin sampai Rabu; lalu 50% lagi hadir pada sisa harinya sehingga setiap orang tetap merasakan budaya pergi ke kantor tersebut.
Ketiga, penghargaan bagi institusi yang konsisten melakukan kebijakan tersebut. Sebab, lembaga-lembaga yang bisa mengatur kebijakan pengaturan budaya pergi kerja ini, akan memberikan kontribusi signifikan pada berbagai persoalan lingkungan, seperti penghematan sumber daya energi, pengurangan polusi dan tentu mengurangi kemacetan.
(bmm)
Lihat Juga :
tulis komentar anda