Jimly Asshiddiqie: Penundaan Pemilu Tak Boleh, Tak Mungkin, Tak Akan Terjadi
Senin, 28 Maret 2022 - 17:43 WIB
JAKARTA - Anggota DPD RI Jimly Asshidiqie menegaskan, perpanjangan masa jabatan presiden atau penundaan pemilu, tidak mungkin terjadi. Jimly beralasan, gagasan tersebut jelas-jelas bertentangan dengan konstitusi. Terlebih, pembatasan kekuasaan merupakan ide pertama dari amanat reformasi.
“Sejak 3-4 bulan yang lalu, itu saya sudah ngomong. Ini ide perpanjangan masa jabatan, penundaan pemilu, tidak boleh terjadi, tidak mungkin terjadi, dan tidak akan terjadi. Saya dengan optimis berpendapat demikian. Karena amanat reformasi konstitusi kita, ide pertamanya adalah pembatasan kekuasaan,” kata Jimly saat menjadi pembicara dalam dialog kenegaraan bertema Penundaan Pemilu, Kemunduran, atau Terobosan Demokrasi, Senin (28/3/2022).
Pakar hukum tata negara itu menjelaskan, dalam pasal 7 di perubahan pertama dijelaskan bahwa Presiden memegang jabatannya untuk lima tahun dan dapat dipilih dalam jabatan itu. “Ada kata ‘hanya.’ Kata itu begitu diperdebatkan di MPR. Itu serius, ‘hanya untuk satu kali masa jabatan.’ Dan itulah amanat reformasi konstitusi kita. Maka tidak boleh dikhianati. Presiden pun sudah bersumpah dengan konstitusi yang membatasi itu. Nah, pasa 22 e tegas lagi, jelas pemilihan umum, lima tahun sekali,” papar dia.
“Jadi, kita akan melanggar amanat konstitusi baik pasal 7 maupun 22 e ayat 1 UUD, maupun sumpah jabatan pasal 9 ayat 1. Dan lebih dari itu, itulah cita-citanya reformasi memperbaiki sistem politik. Karena Indonesia ini kalau sistem politiknya tidak dibenahi, apa yang akan menentukan budaya,” lanjut dia.
“Sejak 3-4 bulan yang lalu, itu saya sudah ngomong. Ini ide perpanjangan masa jabatan, penundaan pemilu, tidak boleh terjadi, tidak mungkin terjadi, dan tidak akan terjadi. Saya dengan optimis berpendapat demikian. Karena amanat reformasi konstitusi kita, ide pertamanya adalah pembatasan kekuasaan,” kata Jimly saat menjadi pembicara dalam dialog kenegaraan bertema Penundaan Pemilu, Kemunduran, atau Terobosan Demokrasi, Senin (28/3/2022).
Pakar hukum tata negara itu menjelaskan, dalam pasal 7 di perubahan pertama dijelaskan bahwa Presiden memegang jabatannya untuk lima tahun dan dapat dipilih dalam jabatan itu. “Ada kata ‘hanya.’ Kata itu begitu diperdebatkan di MPR. Itu serius, ‘hanya untuk satu kali masa jabatan.’ Dan itulah amanat reformasi konstitusi kita. Maka tidak boleh dikhianati. Presiden pun sudah bersumpah dengan konstitusi yang membatasi itu. Nah, pasa 22 e tegas lagi, jelas pemilihan umum, lima tahun sekali,” papar dia.
“Jadi, kita akan melanggar amanat konstitusi baik pasal 7 maupun 22 e ayat 1 UUD, maupun sumpah jabatan pasal 9 ayat 1. Dan lebih dari itu, itulah cita-citanya reformasi memperbaiki sistem politik. Karena Indonesia ini kalau sistem politiknya tidak dibenahi, apa yang akan menentukan budaya,” lanjut dia.
(muh)
tulis komentar anda