Polemik RUU HIP, PBNU Tegaskan Pancasila Sudah Final
Selasa, 16 Juni 2020 - 16:45 WIB
Untuk mencapai tujuan dan cita-cita negara, Pancasila merupakan ideologi prinsip yang menjiwai sistem penyelenggaraan negara dan pemerintahan. Penerjemahan Pancasila sebagai ideologi kerja selalu mempertimbangan dinamika dan perkembangan zaman.
"Membakukan tafsir atas demokrasi Pancasila dalam suatu undang-undang jelas akan mempersempit ruang tafsir yang memandekkan dinamika, kreativitas, dan inovasi yang dibutuhkan untuk mendorong kemajuan bangsa sesuai dengan tuntutan zaman," katanya.
Menurutnya, kesalahan yang terjadi di masa lampau terkait monopoli tafsir atas Pancasila tidak boleh terulang lagi. Kendati demikian hal ini bukan meupakan dasar dan alasan yang dapat membenarkan perluasan dan/atau penyempitan tafsir atas Pancasila dalam suatu undang-undang yang isinya mengatur demokrasi politik Pancasila dan demokrasi ekonomi Pancasila sebagaimana RUU HIP.
"Bahwa obsesi untuk menafsirkan Pancasila secara ekspansif akan menimbulkan ekses negatif berupa menguatnya kontrol negara dalam kehidupan masyarakat," ujarnya.
Kiai Said mengatakan, penguatan eksesif kelembagaan BPIP dapat melahirkan kembali BP7 (Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) di zaman Orde Baru yang praktiknya menjadi alat sensor ideologi masyarakat. Pancasila yang terlalu ambisius akan kehilangan roh sebagai ideologi pemersatu, yang pada gilirannya dapat menimbulkan benturan-benturan norma dalam masyarakat.
Bahwa setelah mencermati dengan seksama naskah akademik dan draft RUU HIP, PBNU menyampaikan penilaian bahwa Pasal 3 ayat (2), Pasal 6, dan Pasal 7 bertentangan dengan Pancasila sebagai konsensus kebangsaan.
Kemudian, Pasal 13, 14, 15, 16, dan 17 mempersempit ruang tafsir yang menjurus pada mono-tafsir Pancasila. Selanjutnya, Pasal 22 dan turunannya tidak relevan diatur di dalam RUU HIP. Pasal 23 dapat menimbulkan benturan norma agama dan negara.
Pasal 34, 35, 37, 38, 41, dan 43 merupakan bentuk tafsir ekspansif Pancasila yang tidak perlu. Pasal 48 ayat (6) dan Pasal 49 dapat menimbulkan konflik kepentingan.
Menurut Kiai Said, Nahdlatul Ulama memandang bahwa Pancasila merupakan konsensus kebangsaan yang bersifat final. Oleh karena itu, Musyawarah Nasional Alim Ulama di Situbondo tahun 1983 dan dikukuhkan dalam Muktamar ke-27 NU di Situbondo tahun 1984, menetapkan hubungan Pancasila dengan Islam sebagai dasar falsafah Negara Republik Indonesia bukanlah agama, tidak dapat menggantikan agama dan tidak dapat dipergunakan untuk menggantikan kedudukan agama.
Sila Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai dasar Negara Republik Indonesia menurut pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, yang menjiwai sila-sila yang lain, mencerminkan tauhid menurut pengertian keimanan dalam Islam.
"Membakukan tafsir atas demokrasi Pancasila dalam suatu undang-undang jelas akan mempersempit ruang tafsir yang memandekkan dinamika, kreativitas, dan inovasi yang dibutuhkan untuk mendorong kemajuan bangsa sesuai dengan tuntutan zaman," katanya.
Menurutnya, kesalahan yang terjadi di masa lampau terkait monopoli tafsir atas Pancasila tidak boleh terulang lagi. Kendati demikian hal ini bukan meupakan dasar dan alasan yang dapat membenarkan perluasan dan/atau penyempitan tafsir atas Pancasila dalam suatu undang-undang yang isinya mengatur demokrasi politik Pancasila dan demokrasi ekonomi Pancasila sebagaimana RUU HIP.
"Bahwa obsesi untuk menafsirkan Pancasila secara ekspansif akan menimbulkan ekses negatif berupa menguatnya kontrol negara dalam kehidupan masyarakat," ujarnya.
Kiai Said mengatakan, penguatan eksesif kelembagaan BPIP dapat melahirkan kembali BP7 (Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) di zaman Orde Baru yang praktiknya menjadi alat sensor ideologi masyarakat. Pancasila yang terlalu ambisius akan kehilangan roh sebagai ideologi pemersatu, yang pada gilirannya dapat menimbulkan benturan-benturan norma dalam masyarakat.
Bahwa setelah mencermati dengan seksama naskah akademik dan draft RUU HIP, PBNU menyampaikan penilaian bahwa Pasal 3 ayat (2), Pasal 6, dan Pasal 7 bertentangan dengan Pancasila sebagai konsensus kebangsaan.
Kemudian, Pasal 13, 14, 15, 16, dan 17 mempersempit ruang tafsir yang menjurus pada mono-tafsir Pancasila. Selanjutnya, Pasal 22 dan turunannya tidak relevan diatur di dalam RUU HIP. Pasal 23 dapat menimbulkan benturan norma agama dan negara.
Pasal 34, 35, 37, 38, 41, dan 43 merupakan bentuk tafsir ekspansif Pancasila yang tidak perlu. Pasal 48 ayat (6) dan Pasal 49 dapat menimbulkan konflik kepentingan.
Menurut Kiai Said, Nahdlatul Ulama memandang bahwa Pancasila merupakan konsensus kebangsaan yang bersifat final. Oleh karena itu, Musyawarah Nasional Alim Ulama di Situbondo tahun 1983 dan dikukuhkan dalam Muktamar ke-27 NU di Situbondo tahun 1984, menetapkan hubungan Pancasila dengan Islam sebagai dasar falsafah Negara Republik Indonesia bukanlah agama, tidak dapat menggantikan agama dan tidak dapat dipergunakan untuk menggantikan kedudukan agama.
Sila Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai dasar Negara Republik Indonesia menurut pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, yang menjiwai sila-sila yang lain, mencerminkan tauhid menurut pengertian keimanan dalam Islam.
tulis komentar anda