Senyum Soeharto saat Habibie Sebut Pembangunan sebagai Kapitalisme Kotor
Kamis, 03 Maret 2022 - 06:14 WIB
Tetapi, karena di Indonesia teknlogi adalah barang yang relatif baru, tidak banyak orang yang menguasainya. Untuk itu, diperlukan investasi besar-besaran daam bidang sumber daya manusia. Gagasan Habibie ini langsung berhadapan dengan konsep pembangunan yang telah mapan dan dianggap sukses waktu itu, buah pemikiran ahli ekonomi Widjojo Nitisastro atau yang dikenal dengan istilah Widjojonomics.
Widjojonomics menggunakan keunggulan komparatif seperti sumber daya alam yang melimpah dan upah tenaga kerja yang relatif murah sebagai ”senjata” untuk membangun Indonesia. Konsep ini memang secara cepat mendorong kenaikan ekonomi dan menciptakan lapangan kerja yang luas yang sangat dibutuhkan Indonesia yang baru keluar dari krisis multidimensi peninggalan Orde Lama.
Sebaliknya, Habibienomics menempatkan keunggulan kompetitif untuk mendorong pembangunan. Habibie berharap Indonesia tidak lagi mengandalkan sumber daya alam yang melimpah serta upah buruh yang murah. Indenesia harus memanfaatkan teknologi untuk menghasilkan nilai yang lebih besar bagi ekonomi nasional. Lagipula, dengan pemanfaatan teknologi, Indonesia dapat menyetarakan diri dengan negara-negara maju.
Begitulah yang dicita-citakan Habibie. Tetapi kenyataan berkata lain. Konsep pembangunan Indonesia belum benar-benar berpaling pada teknologi, tetapi terus berkutat pada sumber daya alam dan upah murah buruh. Inilah yang membuat Habibie resah, keresahan yang dibawanya saampai akhir hayat.
”Ia gregetan melihat koondisi negaranya. Hingga selepas masa jabatan kepresidenannya BJ Habibie masih terus berteriak dalam sunyi tentang hal-hal ini: perlunya nilai tambah, neraca jam kerja, atau VOC gaya baru,” tulis A Makka.
Widjojonomics menggunakan keunggulan komparatif seperti sumber daya alam yang melimpah dan upah tenaga kerja yang relatif murah sebagai ”senjata” untuk membangun Indonesia. Konsep ini memang secara cepat mendorong kenaikan ekonomi dan menciptakan lapangan kerja yang luas yang sangat dibutuhkan Indonesia yang baru keluar dari krisis multidimensi peninggalan Orde Lama.
Sebaliknya, Habibienomics menempatkan keunggulan kompetitif untuk mendorong pembangunan. Habibie berharap Indonesia tidak lagi mengandalkan sumber daya alam yang melimpah serta upah buruh yang murah. Indenesia harus memanfaatkan teknologi untuk menghasilkan nilai yang lebih besar bagi ekonomi nasional. Lagipula, dengan pemanfaatan teknologi, Indonesia dapat menyetarakan diri dengan negara-negara maju.
Begitulah yang dicita-citakan Habibie. Tetapi kenyataan berkata lain. Konsep pembangunan Indonesia belum benar-benar berpaling pada teknologi, tetapi terus berkutat pada sumber daya alam dan upah murah buruh. Inilah yang membuat Habibie resah, keresahan yang dibawanya saampai akhir hayat.
”Ia gregetan melihat koondisi negaranya. Hingga selepas masa jabatan kepresidenannya BJ Habibie masih terus berteriak dalam sunyi tentang hal-hal ini: perlunya nilai tambah, neraca jam kerja, atau VOC gaya baru,” tulis A Makka.
(muh)
tulis komentar anda