Senyum Soeharto saat Habibie Sebut Pembangunan sebagai Kapitalisme Kotor
loading...
A
A
A
JAKARTA - Setelah kembali ke Indonesia pada Januari 1974, Burhanudin Jusuf Habibie dipercaya untuk mengembangkan teknologi. Presiden Soeharto waktu itu memberikan tanggung jawab penuh kepada Habibie sebagai penasihat teknologi sekaligus memimpin divisi teknologi Pertamina yang kelak menjadi Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT).
Empat tahun kemudian, Habibie resmi diangkat sebagai Menteri Negara Riset dan Teknologi. Dalam catatan yang ditulis Soeharto menjelang ulang tahun ke-50 Habibie pada 1986, di saat yang sama lelaki kelahiran Parepare itu juga dipercaya memimpin empat lembaga negara serta dua BUMN.
”Untuk menjamin keserasian pertumbuhan industri-industri yang akan digabungkan ke dalam industri strategi, diperlukan dalam satu tangan sejak berdirinya, sebelum badan pembinaan dan pengelolaan tingkat pusat terbentuk,” tulis Soeharto soal rangkap jabatan Habibie, dikutip dari buku Habibie & Soeharto, Kamis (3/3/2022).
Seabrek jabatan itu cukup menggambarkan betapa dekat keduanya dan tingginya kepercayaan Soeharto kepada Habibie, bocah yang pernah ditemuinya bertahun-tahun silam ketika dirinya masih bertugas sebagai Komandan Brigade Mataram di Makassar. Kepercayaan itu terus tumbuh hingga Habibie lebih percaya diri mengemukakan pandangan-pandangan dan kritiknya terhadap konsep pembangunan dalam berbagai kesempatan.
Dalam buku yang ditulis A Makmur Makka tersebut, Habibie disebutkan memang sudah cukup lama menyoroti sistem ekonomi dan pembangunan di Indonesia dan langsung menyampaikan kritiknya kepada Soeharto. ”Aktor ekonomi kita, di Indonesia, salah penafsiran ekonomi Pancasila menjadi early primitive capitalistic dirty economy,” kata Habibie kepada Soeharto.
Tetapi Soeharto yang mendengar tidak marah. Seperti julukannya, The Smiling General, Soeharto hanya tersenyum sembari berkata, “Semua negara juga melalui tahapan ini”.
Habibie tidak sekadar melontarkan kritik. Di kepalanya tumbuh gagasan bagaimana membangun Indonesia, tentu dengan menggunakan teknologi sebaga senjata, sesuai dengan posisinya sebagai menristek. Habibie melontarkan gagasan yang kemudian disebut khalayak sebagai Habibienomics. Dia menekankan dibuatnya nilai tambah pada produk nasional. Nilai tambah itu bisa dibuat dengan sentuhan teknologi.
Tetapi, karena di Indonesia teknlogi adalah barang yang relatif baru, tidak banyak orang yang menguasainya. Untuk itu, diperlukan investasi besar-besaran daam bidang sumber daya manusia. Gagasan Habibie ini langsung berhadapan dengan konsep pembangunan yang telah mapan dan dianggap sukses waktu itu, buah pemikiran ahli ekonomi Widjojo Nitisastro atau yang dikenal dengan istilah Widjojonomics.
Widjojonomics menggunakan keunggulan komparatif seperti sumber daya alam yang melimpah dan upah tenaga kerja yang relatif murah sebagai ”senjata” untuk membangun Indonesia. Konsep ini memang secara cepat mendorong kenaikan ekonomi dan menciptakan lapangan kerja yang luas yang sangat dibutuhkan Indonesia yang baru keluar dari krisis multidimensi peninggalan Orde Lama.
Sebaliknya, Habibienomics menempatkan keunggulan kompetitif untuk mendorong pembangunan. Habibie berharap Indonesia tidak lagi mengandalkan sumber daya alam yang melimpah serta upah buruh yang murah. Indenesia harus memanfaatkan teknologi untuk menghasilkan nilai yang lebih besar bagi ekonomi nasional. Lagipula, dengan pemanfaatan teknologi, Indonesia dapat menyetarakan diri dengan negara-negara maju.
Begitulah yang dicita-citakan Habibie. Tetapi kenyataan berkata lain. Konsep pembangunan Indonesia belum benar-benar berpaling pada teknologi, tetapi terus berkutat pada sumber daya alam dan upah murah buruh. Inilah yang membuat Habibie resah, keresahan yang dibawanya saampai akhir hayat.
”Ia gregetan melihat koondisi negaranya. Hingga selepas masa jabatan kepresidenannya BJ Habibie masih terus berteriak dalam sunyi tentang hal-hal ini: perlunya nilai tambah, neraca jam kerja, atau VOC gaya baru,” tulis A Makka.
Empat tahun kemudian, Habibie resmi diangkat sebagai Menteri Negara Riset dan Teknologi. Dalam catatan yang ditulis Soeharto menjelang ulang tahun ke-50 Habibie pada 1986, di saat yang sama lelaki kelahiran Parepare itu juga dipercaya memimpin empat lembaga negara serta dua BUMN.
”Untuk menjamin keserasian pertumbuhan industri-industri yang akan digabungkan ke dalam industri strategi, diperlukan dalam satu tangan sejak berdirinya, sebelum badan pembinaan dan pengelolaan tingkat pusat terbentuk,” tulis Soeharto soal rangkap jabatan Habibie, dikutip dari buku Habibie & Soeharto, Kamis (3/3/2022).
Seabrek jabatan itu cukup menggambarkan betapa dekat keduanya dan tingginya kepercayaan Soeharto kepada Habibie, bocah yang pernah ditemuinya bertahun-tahun silam ketika dirinya masih bertugas sebagai Komandan Brigade Mataram di Makassar. Kepercayaan itu terus tumbuh hingga Habibie lebih percaya diri mengemukakan pandangan-pandangan dan kritiknya terhadap konsep pembangunan dalam berbagai kesempatan.
Dalam buku yang ditulis A Makmur Makka tersebut, Habibie disebutkan memang sudah cukup lama menyoroti sistem ekonomi dan pembangunan di Indonesia dan langsung menyampaikan kritiknya kepada Soeharto. ”Aktor ekonomi kita, di Indonesia, salah penafsiran ekonomi Pancasila menjadi early primitive capitalistic dirty economy,” kata Habibie kepada Soeharto.
Tetapi Soeharto yang mendengar tidak marah. Seperti julukannya, The Smiling General, Soeharto hanya tersenyum sembari berkata, “Semua negara juga melalui tahapan ini”.
Habibie tidak sekadar melontarkan kritik. Di kepalanya tumbuh gagasan bagaimana membangun Indonesia, tentu dengan menggunakan teknologi sebaga senjata, sesuai dengan posisinya sebagai menristek. Habibie melontarkan gagasan yang kemudian disebut khalayak sebagai Habibienomics. Dia menekankan dibuatnya nilai tambah pada produk nasional. Nilai tambah itu bisa dibuat dengan sentuhan teknologi.
Tetapi, karena di Indonesia teknlogi adalah barang yang relatif baru, tidak banyak orang yang menguasainya. Untuk itu, diperlukan investasi besar-besaran daam bidang sumber daya manusia. Gagasan Habibie ini langsung berhadapan dengan konsep pembangunan yang telah mapan dan dianggap sukses waktu itu, buah pemikiran ahli ekonomi Widjojo Nitisastro atau yang dikenal dengan istilah Widjojonomics.
Widjojonomics menggunakan keunggulan komparatif seperti sumber daya alam yang melimpah dan upah tenaga kerja yang relatif murah sebagai ”senjata” untuk membangun Indonesia. Konsep ini memang secara cepat mendorong kenaikan ekonomi dan menciptakan lapangan kerja yang luas yang sangat dibutuhkan Indonesia yang baru keluar dari krisis multidimensi peninggalan Orde Lama.
Sebaliknya, Habibienomics menempatkan keunggulan kompetitif untuk mendorong pembangunan. Habibie berharap Indonesia tidak lagi mengandalkan sumber daya alam yang melimpah serta upah buruh yang murah. Indenesia harus memanfaatkan teknologi untuk menghasilkan nilai yang lebih besar bagi ekonomi nasional. Lagipula, dengan pemanfaatan teknologi, Indonesia dapat menyetarakan diri dengan negara-negara maju.
Begitulah yang dicita-citakan Habibie. Tetapi kenyataan berkata lain. Konsep pembangunan Indonesia belum benar-benar berpaling pada teknologi, tetapi terus berkutat pada sumber daya alam dan upah murah buruh. Inilah yang membuat Habibie resah, keresahan yang dibawanya saampai akhir hayat.
”Ia gregetan melihat koondisi negaranya. Hingga selepas masa jabatan kepresidenannya BJ Habibie masih terus berteriak dalam sunyi tentang hal-hal ini: perlunya nilai tambah, neraca jam kerja, atau VOC gaya baru,” tulis A Makka.
(muh)