Fahri Bachmid: Usulan Penundaan Pemilu adalah Pembangkangan Konstitusi
Minggu, 27 Februari 2022 - 20:32 WIB
Selanjutnya mengenai pemilihan presiden dan wakil presiden, secara limitatif dan definitif juga telah diatur dalam ketentuan norma pasal 7 UUD 1945. Pasal 7 mengatur secara “expressis verbis” bahwa “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan”.
Selanjutnya ketentuan norma Pasal 22E ayat (1) dan ayat (2) yang secara terang mengatur bahwa “Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali” dan selanjutnya ketentuan berikutnya mengatur bahwa “Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan wakil presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah”.
Berangkat dari rumusan konstitusi itu, maka UUD 1945 telah mengatur secara restriksi tentang siklus pelaksanaan Pemilu di Indonesia setiap lima tahun sekali. Ini sebagai perwujudan hak asasi politik warga negara untuk memilih wakil-wakil rakyat yang duduk di DPR, DPD dan DPRD, serta memilih Presiden dan Wakil Presiden.
“Hal ini dimaksudkan untuk mendapat derajat legitimasi dari rakyat melalui saluran Pemilu yang legitimate sesuai perintah konstitusi. Secara teoritik sesungguhnya untuk melaksanakan pergantian serta sirkulasi personal pemerintahan secara damai, aman, dan tertib secara konstitusional “suksesi nasional” dan menjamin kesinambungan pembangunan nasional,” katanya.
Dengan demikian, menurut dia, berdasarkan desain konstitusional sistem Pemilu dalam UUD 1945, maka tidak ada peluang serta jalan keluar untuk mengakomodasi wacana perpanjangan masa jabatan-jabatan publik yang diisi berdasarkan hasil Pemilu maupun mencari formula penundaan Pemilu. Sebab tidak adanya pranata konstitusional yang tersedia dan diciptakan untuk itu.
“Jika memang dipandang perlu dan penting untuk harus diatur suatu mekanisme serta jalan keluar konstitusional jika terjadi keadaan hukum Krisis konstitusional “Constitutional crisis” jika Pemilu tidak terselengara sebagaimana perintah konstitusi karena terjadi beberapa keadaan seperti terjadinya perang, pemberontakan, gangguan keamanan, bencana alam dan lain-lain, sehingga berakibat pada tidak terselenggaranya pelaksanaan Pemilu untuk mengisi jabatan-jabatan publik tertentu, sehingga perlu di fikirkan untuk diberikan kewenagan atributif kepada MPR untuk dapat menetapkan penundaan Pemilu sampai pada batas waktu tertentu,
“Maka idealnya perumusan serta dilakukannya melalui amandemen UUD 1945 untuk memberikan kewenagan untuk menunda Pemilu itu secara atributif kepada MPR, tentunya harus dilakukan melalui sebuah proyeksi perubahan UUD 1945, tetapi tidak dimaksudkan untuk menampung serta mengakomodasi situasi politik kontemporer saat ini,” jelasnya.
https://nasional.sindonews.com/read/698269/12/jika-pemilu-2024-ditunda-yusril-jalan-paling-mungkin-amendemen-uud-1945-1645941742
Sebab, perkembangan dan dinamika hukum tata negara saat ini dengan alasan-alasan Penundaan Pemilu yang selama ini dilontarkan oleh pengusung ide ini sama sekali tidak berangkat dari dasar dan analisis yang konstruktif dengan mengedepankan ketaatan serta tertib melaksanakan perintah konstitusi, kemudian gagasan Penundaan berdasarkan deskripsi keadaan ekonomi bukan termasuk alasan yang “indispensable” untuk dilakukan amandemen. Asumsi ini dapat dikesampingkan, karena secara empirik Indonesia sangat sukses melaksanakan perhelatan pesta demokrasi lokal (Pilkada) ditengah pendemi pada tahun 2020. Dan secara teknis tidak ada hambatan yang signifikan untuk merealisir hajatan demokrasi itu, sepanjang mengenai usulan jalan keluar untuk mengantisipasi kebuntuan konstitusi jika terdapat keadaan “Staatsnoodrecht” atau setidak-tidaknya keadaan yang dapat dikualifisir sebagai “Overmacht atau Force Majeure”.
“Sehingga Pemilu tidak dapat berjalan sebagaimana mestinya sebagaimana usulan dan pandangan Profesor Yusril Ihza Mahendra dengan melakukan amandemen terhadap UUD 1945 untuk menambah beberapa ayat pada kententuan pasal 22E. Ini merupakan jalan keluar yang sangat solutif, dan idelanya harus diatur dalam konstitusi yang dibuat berdasarkan proyeksi perubahan yang terukur dengan cara amandemen UUD 1945 melalui sidang umum MPR, tetapi bukan untuk keadaan saat ini. Hal itu dapat dilakukan pada saat anggota MPR yang baru produk Pemilu 2024, agar tingkat legitimasinya lebih kredible,“ katanya.
Selanjutnya ketentuan norma Pasal 22E ayat (1) dan ayat (2) yang secara terang mengatur bahwa “Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali” dan selanjutnya ketentuan berikutnya mengatur bahwa “Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan wakil presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah”.
Berangkat dari rumusan konstitusi itu, maka UUD 1945 telah mengatur secara restriksi tentang siklus pelaksanaan Pemilu di Indonesia setiap lima tahun sekali. Ini sebagai perwujudan hak asasi politik warga negara untuk memilih wakil-wakil rakyat yang duduk di DPR, DPD dan DPRD, serta memilih Presiden dan Wakil Presiden.
“Hal ini dimaksudkan untuk mendapat derajat legitimasi dari rakyat melalui saluran Pemilu yang legitimate sesuai perintah konstitusi. Secara teoritik sesungguhnya untuk melaksanakan pergantian serta sirkulasi personal pemerintahan secara damai, aman, dan tertib secara konstitusional “suksesi nasional” dan menjamin kesinambungan pembangunan nasional,” katanya.
Dengan demikian, menurut dia, berdasarkan desain konstitusional sistem Pemilu dalam UUD 1945, maka tidak ada peluang serta jalan keluar untuk mengakomodasi wacana perpanjangan masa jabatan-jabatan publik yang diisi berdasarkan hasil Pemilu maupun mencari formula penundaan Pemilu. Sebab tidak adanya pranata konstitusional yang tersedia dan diciptakan untuk itu.
“Jika memang dipandang perlu dan penting untuk harus diatur suatu mekanisme serta jalan keluar konstitusional jika terjadi keadaan hukum Krisis konstitusional “Constitutional crisis” jika Pemilu tidak terselengara sebagaimana perintah konstitusi karena terjadi beberapa keadaan seperti terjadinya perang, pemberontakan, gangguan keamanan, bencana alam dan lain-lain, sehingga berakibat pada tidak terselenggaranya pelaksanaan Pemilu untuk mengisi jabatan-jabatan publik tertentu, sehingga perlu di fikirkan untuk diberikan kewenagan atributif kepada MPR untuk dapat menetapkan penundaan Pemilu sampai pada batas waktu tertentu,
“Maka idealnya perumusan serta dilakukannya melalui amandemen UUD 1945 untuk memberikan kewenagan untuk menunda Pemilu itu secara atributif kepada MPR, tentunya harus dilakukan melalui sebuah proyeksi perubahan UUD 1945, tetapi tidak dimaksudkan untuk menampung serta mengakomodasi situasi politik kontemporer saat ini,” jelasnya.
https://nasional.sindonews.com/read/698269/12/jika-pemilu-2024-ditunda-yusril-jalan-paling-mungkin-amendemen-uud-1945-1645941742
Sebab, perkembangan dan dinamika hukum tata negara saat ini dengan alasan-alasan Penundaan Pemilu yang selama ini dilontarkan oleh pengusung ide ini sama sekali tidak berangkat dari dasar dan analisis yang konstruktif dengan mengedepankan ketaatan serta tertib melaksanakan perintah konstitusi, kemudian gagasan Penundaan berdasarkan deskripsi keadaan ekonomi bukan termasuk alasan yang “indispensable” untuk dilakukan amandemen. Asumsi ini dapat dikesampingkan, karena secara empirik Indonesia sangat sukses melaksanakan perhelatan pesta demokrasi lokal (Pilkada) ditengah pendemi pada tahun 2020. Dan secara teknis tidak ada hambatan yang signifikan untuk merealisir hajatan demokrasi itu, sepanjang mengenai usulan jalan keluar untuk mengantisipasi kebuntuan konstitusi jika terdapat keadaan “Staatsnoodrecht” atau setidak-tidaknya keadaan yang dapat dikualifisir sebagai “Overmacht atau Force Majeure”.
“Sehingga Pemilu tidak dapat berjalan sebagaimana mestinya sebagaimana usulan dan pandangan Profesor Yusril Ihza Mahendra dengan melakukan amandemen terhadap UUD 1945 untuk menambah beberapa ayat pada kententuan pasal 22E. Ini merupakan jalan keluar yang sangat solutif, dan idelanya harus diatur dalam konstitusi yang dibuat berdasarkan proyeksi perubahan yang terukur dengan cara amandemen UUD 1945 melalui sidang umum MPR, tetapi bukan untuk keadaan saat ini. Hal itu dapat dilakukan pada saat anggota MPR yang baru produk Pemilu 2024, agar tingkat legitimasinya lebih kredible,“ katanya.
tulis komentar anda