Revitalisasi Industri Pala
Kamis, 17 Februari 2022 - 16:33 WIB
Ketiga, secara ekonomis,data ITC Trademap mencatat bahwa total nilai ekspor pala Indonesia pada 2020 mencapai USD157 juta, Nilai ini merupakan gabungan pala biji (HSCode 090811 sebesar USD75 juta), dan pala bubuk/olahan (HSCode 090812, USD47 Juta), Fuli (HSCode 090821, USD20 juta) dan fuli olahan (HSCode 090822, USD15 juta). Total volume ekspornya secara berturutan adalah 16.000 ton, 2.873 ton, 3.161 ton dan 794 ton. Kontribusi ekspor Indonesia di pasar global secara berturutan adalah 74%, 35%, 70% dan 54%. Upaya lewat proyek industri pala diharapkan mendongkrak kontribusi ekspor pala olahan hingga dua kali lipatnya dari 35% menjadi 70%. Kemenko Kemaritiman dan Investasi RI, pada 2021 merilis produksi pala nasional mencapai 40.585 ton. Sayang, datanya tidak dirinci berdasarkan HSCode. Kini perkiraan perhitungan konsumsi pala dalam negeri lewat pendekatan produksi dikurangi ekspor serapannya secara pasar domestik mencapai 50%.
Urgensi
Pengembangan industri pala saat ini amatlah urgen. Mengingat harganya sangat berfluktuasi dan merugikan petani. Jalur distribusi pala Papua amat panjang sehingga menyebabkan kualitasnya turun. Paling tidak, tiga alasan mesti membangun industri pala beserta turunannya.
Pertama, pemerataan dan percepatan pembangunan Indonesia Timur supaya menciptakan keadilan antarwilayah. Pembangunan tidak terpusat di Jawa termasuk pembangunan industri. Salah satunya industri pala. Infrastruktur di Indonesia Timur relatif tertinggal dan kurang menarik investor. Dukungan pemerintah bagi pembangunan industri pala dan turunannya yaitu bagaimana menyeimbangkan antara kebutuhan industri, penyerapan tenaga kerja, pengolahan bahan baku yang bernilai tambah dan menggerakan perekonomian lokal.
Kedua, pengembangan komoditas strategis berbasis budaya lokal (selain tambang dan sawit). Pilihan komoditas bernilai tambah beragam. Selain tambang, kekayaan alam tanah Papua adalah juga hutan, perkebunan dan pertanian. Pala di Papua termasuk tanaman hutan karena umumnya tumbuh liar dengan sendirinya. Pengembangan perkebunan Pala jadi alternatif ketimbang sawit yang kontroversial. Masyarakat Papua sangat familiar dengan Pala. Pala juga sudah menjadi bagian kepercayaannya sehingga pengembangannya memperkuat budaya lokal.
Ketiga, potensi pengembangan energi inovatif (energi matahari, angin dan ombak). Pengembangan perkebunan dan industri pala mesti mempertimbangkan lingkungan. Pertimbangan aspek keberlanjutannya yaitu: profit, people, dan planet. Perhitungan tim riset IPB 2021 menyimpulkan bahwa kebutuhan investasi membangun industri pala paling tidak sebesar Rp4 trilliun. Nantinya bakal dibangun industri pengolahan bubuk pala, minyak atsiri dan industri lemak trimiristin. Selain infrastruktur, salah satu komponen biaya terbesarnya adalah energi untuk industri. Tren perkembangan teknologi energi hijau dan ramah lingkungan jadi pilihan alternatif dalam membangun industri pala. Supaya semakin ekonomis pilihannya adalah memanfaatkan matahari, angin, ombak dan biomas buat pasokan energi listriknya.
Tantangan
Pengembangan industri pala di Indonesia Timur bukan tanpa tantangan. Setidaknya, pertama, promosi investasi (insentif perizinan dan dukungan stakeholder terkait). Keseriusan pemerintah dibuktikan lewat promosi investasi industri pengolahan dan perkebunan Pala terintegrasi oleh Kementerian Investasi/BKPM. Tujuannya untuk menarik investor. Industri pengolahan dan perkebunan pala termasuk salah satu dari 41 proyek potensi investasi regional seluruh Indonesia.
Kedua, mitra lokal. Keberlanjutan investasi industri pala mesti menggandeng mitra pengusaha lokal yang berimbas secara sosial ekonomi. Pasalnya tujuan utama industri ini adalah pasar ekspor. Nantinya investor yang mengembangkan industrinya adalah investor asing atau domestik yang memiliki pasar internasional. Mengingat permintaan pasar pala nasional juga cukup besar, mitra lokal juga berperan untuk memasarkan dalam negeri. Strategi ini merupakan antisipasi risiko fluktuasi nilai tukar rupiah terhadap dolar.
Ketiga, komitmen membangun industri turunan tidak sekadar dagang. Investornya tidak sekadar berdagang untuk membeli pala biji, melainkan juga mengolahnya di Fakfak hingga membangun industri turunannya seperti minyak lemak pala/trimiristin bernilai ekonomi tinggi. Komitmen tersebut akan memperkuat keterikatan dan kebersamaan sehingga tidak sekedar hubungan dagang yang harganya volatile dan merugikan masyarakat.
Urgensi
Pengembangan industri pala saat ini amatlah urgen. Mengingat harganya sangat berfluktuasi dan merugikan petani. Jalur distribusi pala Papua amat panjang sehingga menyebabkan kualitasnya turun. Paling tidak, tiga alasan mesti membangun industri pala beserta turunannya.
Pertama, pemerataan dan percepatan pembangunan Indonesia Timur supaya menciptakan keadilan antarwilayah. Pembangunan tidak terpusat di Jawa termasuk pembangunan industri. Salah satunya industri pala. Infrastruktur di Indonesia Timur relatif tertinggal dan kurang menarik investor. Dukungan pemerintah bagi pembangunan industri pala dan turunannya yaitu bagaimana menyeimbangkan antara kebutuhan industri, penyerapan tenaga kerja, pengolahan bahan baku yang bernilai tambah dan menggerakan perekonomian lokal.
Kedua, pengembangan komoditas strategis berbasis budaya lokal (selain tambang dan sawit). Pilihan komoditas bernilai tambah beragam. Selain tambang, kekayaan alam tanah Papua adalah juga hutan, perkebunan dan pertanian. Pala di Papua termasuk tanaman hutan karena umumnya tumbuh liar dengan sendirinya. Pengembangan perkebunan Pala jadi alternatif ketimbang sawit yang kontroversial. Masyarakat Papua sangat familiar dengan Pala. Pala juga sudah menjadi bagian kepercayaannya sehingga pengembangannya memperkuat budaya lokal.
Ketiga, potensi pengembangan energi inovatif (energi matahari, angin dan ombak). Pengembangan perkebunan dan industri pala mesti mempertimbangkan lingkungan. Pertimbangan aspek keberlanjutannya yaitu: profit, people, dan planet. Perhitungan tim riset IPB 2021 menyimpulkan bahwa kebutuhan investasi membangun industri pala paling tidak sebesar Rp4 trilliun. Nantinya bakal dibangun industri pengolahan bubuk pala, minyak atsiri dan industri lemak trimiristin. Selain infrastruktur, salah satu komponen biaya terbesarnya adalah energi untuk industri. Tren perkembangan teknologi energi hijau dan ramah lingkungan jadi pilihan alternatif dalam membangun industri pala. Supaya semakin ekonomis pilihannya adalah memanfaatkan matahari, angin, ombak dan biomas buat pasokan energi listriknya.
Tantangan
Pengembangan industri pala di Indonesia Timur bukan tanpa tantangan. Setidaknya, pertama, promosi investasi (insentif perizinan dan dukungan stakeholder terkait). Keseriusan pemerintah dibuktikan lewat promosi investasi industri pengolahan dan perkebunan Pala terintegrasi oleh Kementerian Investasi/BKPM. Tujuannya untuk menarik investor. Industri pengolahan dan perkebunan pala termasuk salah satu dari 41 proyek potensi investasi regional seluruh Indonesia.
Kedua, mitra lokal. Keberlanjutan investasi industri pala mesti menggandeng mitra pengusaha lokal yang berimbas secara sosial ekonomi. Pasalnya tujuan utama industri ini adalah pasar ekspor. Nantinya investor yang mengembangkan industrinya adalah investor asing atau domestik yang memiliki pasar internasional. Mengingat permintaan pasar pala nasional juga cukup besar, mitra lokal juga berperan untuk memasarkan dalam negeri. Strategi ini merupakan antisipasi risiko fluktuasi nilai tukar rupiah terhadap dolar.
Ketiga, komitmen membangun industri turunan tidak sekadar dagang. Investornya tidak sekadar berdagang untuk membeli pala biji, melainkan juga mengolahnya di Fakfak hingga membangun industri turunannya seperti minyak lemak pala/trimiristin bernilai ekonomi tinggi. Komitmen tersebut akan memperkuat keterikatan dan kebersamaan sehingga tidak sekedar hubungan dagang yang harganya volatile dan merugikan masyarakat.
tulis komentar anda