Revitalisasi Industri Pala
loading...
A
A
A
M Syaefudin Andrianto
Dosen Departemen Manajemen Fakultas Ekonomi dan Manajemen (FEM) IPB
PERUSAHAAN rempah asal Belanda Verstegen Spices & Sauces BV dikabarkan berminat berinvestasi dalam industri dan perkebunan pala di Indonesia. Luasnya 40.000 hektare di dengan lokasi di Indonesia Timur, khususnya Kabupaten Fakfak, Papua Barat (SINDONews.com), 17/12/2020). Proyek investasi ini menimbulkan pertanyaan soal kesungguhan dan keberanian pemerintah mengambil berbagai risikonya. Di antaranya risiko sejarah, ekonomi, sosial, dan perlunya strategi yang tepat. Terlepas jadi tidaknya Verstegen berinvestasi di Fakfak, menyisakan pertanyaan mengapa pembangunan industri dan kebun pala penting dan strategis?
Presidensi G20 di mana Indonesia menjadi presidensi pada 2022 merupakan momentum strategis karena G20 merepresentasikan lebih dari 60% populasi bumi, 75% perdagangan global, dan 80% PDB dunia. Pemulihan ekonomi sesuai dengan tema presidensi 2022 “Recover Together, Recover Stronger”, memerlukan penggerak recovery. Pala diyakini menjadi salah satu komoditas strategis nasional yang mampu menggerakkan pemulihan perekonomian di Kawasan Timur Indonesia.
Pala merupakan komoditas ekspor yang bernilai strategis. Pasalnya ia bernilai historis, sosiologis dan ekonomis bagi masyarakat Indonesia Timur. Pertama, bernilai historis karena pala merupakan tanaman asli Indonesia. Tepatnya berasal dari kepulauan Banda. Ia sudah dikenal sejak zaman dahulu. Berbagai bangsa mulai dari Romawi-Yunani, Arab, China dan Eropa mengenal tanaman pala memiliki kegunaan beragam, utamanya buat kesehatan.
Pada zaman Romawi-Yunani kuno, pala dikenal berguna memperkuat otak (brain tonic) dan mengurangi depresi, zaman China Kuno kegunaannya beragam. Mulai sebagai penenang dan mengurangi rasa sakit (sedative), mengatasi masalah pencernaan, mengobati napas tidak sedap, membersihkan racun di hati dan ginjal, merawat kulit hingga mempercepat tidur (fitday.com). Bahkan Ibnu Sina, ahli pengobatan Arab sekitar awal abad ke-11, menyebutnya sebagai “Jansi Ban” atau Biji dari Banda yang bermanfaat dalam dunia pengobatan.
Pada abad ke-14 di Eropa, pala dipercaya menangkal pandemi Black Death. Kandungan kimianya yaitu myristin dapat menjadi obat. Tapi, dalam dosis besar bisa menyebabkan halusinasi. Harganya di Jerman masa itu sangat mahal. Sebanyak ½ kg bubuk pala dihargai 7 ekor lembu. Nilai ini lebih mahal ketimbang emas (Khairunnisa, 2020).
Jatuhnya konstantinopel ke khalifahan Ottoman pada 1453 memicu orang-orang Eropa berusaha mencari ke sumber aslinya di kepulauan Banda bagian Indonesia Timur saat ini. Awalnya, orang Eropa mengadakan kontrak pembelian pala dan bunganya (fuli). Lalu berkembang jadi persaingan dan keserakahan. Kondisi ini mendorong timbulnya perbudakan, penjajahan dan monopoli dagang. Monopoli perdagangan pala oleh Belanda berakhir pada tahun 1860 seiring dihapuskannya praktik perbudakan. Sedari awal Belanda melarang penyebaran Pala dari Banda ke daerah lain. Disebabkan beragam faktor seperti alam, muncullah berbagai jenis pala. Paling tidak saat ini diidentifikasi 7 jenis pala. Jenis Kabupaten Fakfak, Papua Barat berbeda secara fisik dan kandungan kimianya dengan di Banda. Secara fisik Pala Papua (myristica argantea warb) berbentuk bulat sedangkan Pala Banda (myristica fragrans) berbentuk lonjong.
Kedua, secara sosiologis, masyarakat Indonesia Timur khususnya Kabupaten Fakfak memercayai bahwa pala tumbuh dan tersebar di Fakfak karena perilaku empat jenis burung. Mereka adalah Wamar, Mambruk, Pirah, Tugtugri (Andrianto, 2016). Uniknya, tiap suku/marga di Fakfak memiliki pohon pala yang tumbuh secara alami maupun ditanam lewat usaha perkebunan. Pada musim panen juga dibarengi acara adat Meri Tetembora. Suatu ritual persembahan untuk penjaga kebun atau hutan pala. Pala juga dijadikan buah tangan khas Fakfak. Masyarakatnya mampu menyekolahkan anaknya sampai pulau Jawa berkat buah pala.
Ketiga, secara ekonomis,data ITC Trademap mencatat bahwa total nilai ekspor pala Indonesia pada 2020 mencapai USD157 juta, Nilai ini merupakan gabungan pala biji (HSCode 090811 sebesar USD75 juta), dan pala bubuk/olahan (HSCode 090812, USD47 Juta), Fuli (HSCode 090821, USD20 juta) dan fuli olahan (HSCode 090822, USD15 juta). Total volume ekspornya secara berturutan adalah 16.000 ton, 2.873 ton, 3.161 ton dan 794 ton. Kontribusi ekspor Indonesia di pasar global secara berturutan adalah 74%, 35%, 70% dan 54%. Upaya lewat proyek industri pala diharapkan mendongkrak kontribusi ekspor pala olahan hingga dua kali lipatnya dari 35% menjadi 70%. Kemenko Kemaritiman dan Investasi RI, pada 2021 merilis produksi pala nasional mencapai 40.585 ton. Sayang, datanya tidak dirinci berdasarkan HSCode. Kini perkiraan perhitungan konsumsi pala dalam negeri lewat pendekatan produksi dikurangi ekspor serapannya secara pasar domestik mencapai 50%.
Urgensi
Pengembangan industri pala saat ini amatlah urgen. Mengingat harganya sangat berfluktuasi dan merugikan petani. Jalur distribusi pala Papua amat panjang sehingga menyebabkan kualitasnya turun. Paling tidak, tiga alasan mesti membangun industri pala beserta turunannya.
Pertama, pemerataan dan percepatan pembangunan Indonesia Timur supaya menciptakan keadilan antarwilayah. Pembangunan tidak terpusat di Jawa termasuk pembangunan industri. Salah satunya industri pala. Infrastruktur di Indonesia Timur relatif tertinggal dan kurang menarik investor. Dukungan pemerintah bagi pembangunan industri pala dan turunannya yaitu bagaimana menyeimbangkan antara kebutuhan industri, penyerapan tenaga kerja, pengolahan bahan baku yang bernilai tambah dan menggerakan perekonomian lokal.
Kedua, pengembangan komoditas strategis berbasis budaya lokal (selain tambang dan sawit). Pilihan komoditas bernilai tambah beragam. Selain tambang, kekayaan alam tanah Papua adalah juga hutan, perkebunan dan pertanian. Pala di Papua termasuk tanaman hutan karena umumnya tumbuh liar dengan sendirinya. Pengembangan perkebunan Pala jadi alternatif ketimbang sawit yang kontroversial. Masyarakat Papua sangat familiar dengan Pala. Pala juga sudah menjadi bagian kepercayaannya sehingga pengembangannya memperkuat budaya lokal.
Ketiga, potensi pengembangan energi inovatif (energi matahari, angin dan ombak). Pengembangan perkebunan dan industri pala mesti mempertimbangkan lingkungan. Pertimbangan aspek keberlanjutannya yaitu: profit, people, dan planet. Perhitungan tim riset IPB 2021 menyimpulkan bahwa kebutuhan investasi membangun industri pala paling tidak sebesar Rp4 trilliun. Nantinya bakal dibangun industri pengolahan bubuk pala, minyak atsiri dan industri lemak trimiristin. Selain infrastruktur, salah satu komponen biaya terbesarnya adalah energi untuk industri. Tren perkembangan teknologi energi hijau dan ramah lingkungan jadi pilihan alternatif dalam membangun industri pala. Supaya semakin ekonomis pilihannya adalah memanfaatkan matahari, angin, ombak dan biomas buat pasokan energi listriknya.
Tantangan
Pengembangan industri pala di Indonesia Timur bukan tanpa tantangan. Setidaknya, pertama, promosi investasi (insentif perizinan dan dukungan stakeholder terkait). Keseriusan pemerintah dibuktikan lewat promosi investasi industri pengolahan dan perkebunan Pala terintegrasi oleh Kementerian Investasi/BKPM. Tujuannya untuk menarik investor. Industri pengolahan dan perkebunan pala termasuk salah satu dari 41 proyek potensi investasi regional seluruh Indonesia.
Kedua, mitra lokal. Keberlanjutan investasi industri pala mesti menggandeng mitra pengusaha lokal yang berimbas secara sosial ekonomi. Pasalnya tujuan utama industri ini adalah pasar ekspor. Nantinya investor yang mengembangkan industrinya adalah investor asing atau domestik yang memiliki pasar internasional. Mengingat permintaan pasar pala nasional juga cukup besar, mitra lokal juga berperan untuk memasarkan dalam negeri. Strategi ini merupakan antisipasi risiko fluktuasi nilai tukar rupiah terhadap dolar.
Ketiga, komitmen membangun industri turunan tidak sekadar dagang. Investornya tidak sekadar berdagang untuk membeli pala biji, melainkan juga mengolahnya di Fakfak hingga membangun industri turunannya seperti minyak lemak pala/trimiristin bernilai ekonomi tinggi. Komitmen tersebut akan memperkuat keterikatan dan kebersamaan sehingga tidak sekedar hubungan dagang yang harganya volatile dan merugikan masyarakat.
Penulis berharap revitalisasi industri pala di Fakfak, Papua Barat adalah jalan terbaik memacu pemerataan ekonomi di negeri ini. Pasalnya, pala bukan sekadar bernilai ekonomi di wilayah ini. Melainkan juga bernilai historis dan sosiologis. Maka dari itu dukungan berbagai pihak mulai dari pemerintah pusat, lokal, hingga tokoh adat jadi prasyaratnya. Termasuk dukungan kelembagaan dari pemerintah pusat maupun daerah sehingga industri ini berjalan secara simultan dan berkelanjutan. Imbasnya mampu menarik minat investor domestik maupun asing. Semoga!
Dosen Departemen Manajemen Fakultas Ekonomi dan Manajemen (FEM) IPB
PERUSAHAAN rempah asal Belanda Verstegen Spices & Sauces BV dikabarkan berminat berinvestasi dalam industri dan perkebunan pala di Indonesia. Luasnya 40.000 hektare di dengan lokasi di Indonesia Timur, khususnya Kabupaten Fakfak, Papua Barat (SINDONews.com), 17/12/2020). Proyek investasi ini menimbulkan pertanyaan soal kesungguhan dan keberanian pemerintah mengambil berbagai risikonya. Di antaranya risiko sejarah, ekonomi, sosial, dan perlunya strategi yang tepat. Terlepas jadi tidaknya Verstegen berinvestasi di Fakfak, menyisakan pertanyaan mengapa pembangunan industri dan kebun pala penting dan strategis?
Presidensi G20 di mana Indonesia menjadi presidensi pada 2022 merupakan momentum strategis karena G20 merepresentasikan lebih dari 60% populasi bumi, 75% perdagangan global, dan 80% PDB dunia. Pemulihan ekonomi sesuai dengan tema presidensi 2022 “Recover Together, Recover Stronger”, memerlukan penggerak recovery. Pala diyakini menjadi salah satu komoditas strategis nasional yang mampu menggerakkan pemulihan perekonomian di Kawasan Timur Indonesia.
Pala merupakan komoditas ekspor yang bernilai strategis. Pasalnya ia bernilai historis, sosiologis dan ekonomis bagi masyarakat Indonesia Timur. Pertama, bernilai historis karena pala merupakan tanaman asli Indonesia. Tepatnya berasal dari kepulauan Banda. Ia sudah dikenal sejak zaman dahulu. Berbagai bangsa mulai dari Romawi-Yunani, Arab, China dan Eropa mengenal tanaman pala memiliki kegunaan beragam, utamanya buat kesehatan.
Pada zaman Romawi-Yunani kuno, pala dikenal berguna memperkuat otak (brain tonic) dan mengurangi depresi, zaman China Kuno kegunaannya beragam. Mulai sebagai penenang dan mengurangi rasa sakit (sedative), mengatasi masalah pencernaan, mengobati napas tidak sedap, membersihkan racun di hati dan ginjal, merawat kulit hingga mempercepat tidur (fitday.com). Bahkan Ibnu Sina, ahli pengobatan Arab sekitar awal abad ke-11, menyebutnya sebagai “Jansi Ban” atau Biji dari Banda yang bermanfaat dalam dunia pengobatan.
Pada abad ke-14 di Eropa, pala dipercaya menangkal pandemi Black Death. Kandungan kimianya yaitu myristin dapat menjadi obat. Tapi, dalam dosis besar bisa menyebabkan halusinasi. Harganya di Jerman masa itu sangat mahal. Sebanyak ½ kg bubuk pala dihargai 7 ekor lembu. Nilai ini lebih mahal ketimbang emas (Khairunnisa, 2020).
Jatuhnya konstantinopel ke khalifahan Ottoman pada 1453 memicu orang-orang Eropa berusaha mencari ke sumber aslinya di kepulauan Banda bagian Indonesia Timur saat ini. Awalnya, orang Eropa mengadakan kontrak pembelian pala dan bunganya (fuli). Lalu berkembang jadi persaingan dan keserakahan. Kondisi ini mendorong timbulnya perbudakan, penjajahan dan monopoli dagang. Monopoli perdagangan pala oleh Belanda berakhir pada tahun 1860 seiring dihapuskannya praktik perbudakan. Sedari awal Belanda melarang penyebaran Pala dari Banda ke daerah lain. Disebabkan beragam faktor seperti alam, muncullah berbagai jenis pala. Paling tidak saat ini diidentifikasi 7 jenis pala. Jenis Kabupaten Fakfak, Papua Barat berbeda secara fisik dan kandungan kimianya dengan di Banda. Secara fisik Pala Papua (myristica argantea warb) berbentuk bulat sedangkan Pala Banda (myristica fragrans) berbentuk lonjong.
Kedua, secara sosiologis, masyarakat Indonesia Timur khususnya Kabupaten Fakfak memercayai bahwa pala tumbuh dan tersebar di Fakfak karena perilaku empat jenis burung. Mereka adalah Wamar, Mambruk, Pirah, Tugtugri (Andrianto, 2016). Uniknya, tiap suku/marga di Fakfak memiliki pohon pala yang tumbuh secara alami maupun ditanam lewat usaha perkebunan. Pada musim panen juga dibarengi acara adat Meri Tetembora. Suatu ritual persembahan untuk penjaga kebun atau hutan pala. Pala juga dijadikan buah tangan khas Fakfak. Masyarakatnya mampu menyekolahkan anaknya sampai pulau Jawa berkat buah pala.
Ketiga, secara ekonomis,data ITC Trademap mencatat bahwa total nilai ekspor pala Indonesia pada 2020 mencapai USD157 juta, Nilai ini merupakan gabungan pala biji (HSCode 090811 sebesar USD75 juta), dan pala bubuk/olahan (HSCode 090812, USD47 Juta), Fuli (HSCode 090821, USD20 juta) dan fuli olahan (HSCode 090822, USD15 juta). Total volume ekspornya secara berturutan adalah 16.000 ton, 2.873 ton, 3.161 ton dan 794 ton. Kontribusi ekspor Indonesia di pasar global secara berturutan adalah 74%, 35%, 70% dan 54%. Upaya lewat proyek industri pala diharapkan mendongkrak kontribusi ekspor pala olahan hingga dua kali lipatnya dari 35% menjadi 70%. Kemenko Kemaritiman dan Investasi RI, pada 2021 merilis produksi pala nasional mencapai 40.585 ton. Sayang, datanya tidak dirinci berdasarkan HSCode. Kini perkiraan perhitungan konsumsi pala dalam negeri lewat pendekatan produksi dikurangi ekspor serapannya secara pasar domestik mencapai 50%.
Urgensi
Pengembangan industri pala saat ini amatlah urgen. Mengingat harganya sangat berfluktuasi dan merugikan petani. Jalur distribusi pala Papua amat panjang sehingga menyebabkan kualitasnya turun. Paling tidak, tiga alasan mesti membangun industri pala beserta turunannya.
Pertama, pemerataan dan percepatan pembangunan Indonesia Timur supaya menciptakan keadilan antarwilayah. Pembangunan tidak terpusat di Jawa termasuk pembangunan industri. Salah satunya industri pala. Infrastruktur di Indonesia Timur relatif tertinggal dan kurang menarik investor. Dukungan pemerintah bagi pembangunan industri pala dan turunannya yaitu bagaimana menyeimbangkan antara kebutuhan industri, penyerapan tenaga kerja, pengolahan bahan baku yang bernilai tambah dan menggerakan perekonomian lokal.
Kedua, pengembangan komoditas strategis berbasis budaya lokal (selain tambang dan sawit). Pilihan komoditas bernilai tambah beragam. Selain tambang, kekayaan alam tanah Papua adalah juga hutan, perkebunan dan pertanian. Pala di Papua termasuk tanaman hutan karena umumnya tumbuh liar dengan sendirinya. Pengembangan perkebunan Pala jadi alternatif ketimbang sawit yang kontroversial. Masyarakat Papua sangat familiar dengan Pala. Pala juga sudah menjadi bagian kepercayaannya sehingga pengembangannya memperkuat budaya lokal.
Ketiga, potensi pengembangan energi inovatif (energi matahari, angin dan ombak). Pengembangan perkebunan dan industri pala mesti mempertimbangkan lingkungan. Pertimbangan aspek keberlanjutannya yaitu: profit, people, dan planet. Perhitungan tim riset IPB 2021 menyimpulkan bahwa kebutuhan investasi membangun industri pala paling tidak sebesar Rp4 trilliun. Nantinya bakal dibangun industri pengolahan bubuk pala, minyak atsiri dan industri lemak trimiristin. Selain infrastruktur, salah satu komponen biaya terbesarnya adalah energi untuk industri. Tren perkembangan teknologi energi hijau dan ramah lingkungan jadi pilihan alternatif dalam membangun industri pala. Supaya semakin ekonomis pilihannya adalah memanfaatkan matahari, angin, ombak dan biomas buat pasokan energi listriknya.
Tantangan
Pengembangan industri pala di Indonesia Timur bukan tanpa tantangan. Setidaknya, pertama, promosi investasi (insentif perizinan dan dukungan stakeholder terkait). Keseriusan pemerintah dibuktikan lewat promosi investasi industri pengolahan dan perkebunan Pala terintegrasi oleh Kementerian Investasi/BKPM. Tujuannya untuk menarik investor. Industri pengolahan dan perkebunan pala termasuk salah satu dari 41 proyek potensi investasi regional seluruh Indonesia.
Kedua, mitra lokal. Keberlanjutan investasi industri pala mesti menggandeng mitra pengusaha lokal yang berimbas secara sosial ekonomi. Pasalnya tujuan utama industri ini adalah pasar ekspor. Nantinya investor yang mengembangkan industrinya adalah investor asing atau domestik yang memiliki pasar internasional. Mengingat permintaan pasar pala nasional juga cukup besar, mitra lokal juga berperan untuk memasarkan dalam negeri. Strategi ini merupakan antisipasi risiko fluktuasi nilai tukar rupiah terhadap dolar.
Ketiga, komitmen membangun industri turunan tidak sekadar dagang. Investornya tidak sekadar berdagang untuk membeli pala biji, melainkan juga mengolahnya di Fakfak hingga membangun industri turunannya seperti minyak lemak pala/trimiristin bernilai ekonomi tinggi. Komitmen tersebut akan memperkuat keterikatan dan kebersamaan sehingga tidak sekedar hubungan dagang yang harganya volatile dan merugikan masyarakat.
Penulis berharap revitalisasi industri pala di Fakfak, Papua Barat adalah jalan terbaik memacu pemerataan ekonomi di negeri ini. Pasalnya, pala bukan sekadar bernilai ekonomi di wilayah ini. Melainkan juga bernilai historis dan sosiologis. Maka dari itu dukungan berbagai pihak mulai dari pemerintah pusat, lokal, hingga tokoh adat jadi prasyaratnya. Termasuk dukungan kelembagaan dari pemerintah pusat maupun daerah sehingga industri ini berjalan secara simultan dan berkelanjutan. Imbasnya mampu menarik minat investor domestik maupun asing. Semoga!
(bmm)