Sampai Kapan Kemelut Tahu-Tempe Berakhir?
Rabu, 16 Februari 2022 - 12:11 WIB
KALIMAT pertanyaan pada judul di atas menjadi penegasan ulang sekaligus bentuk skeptisisme atas penanganan kemelut harga tahu dan tempe hari-hari ini. Kita semua tahu, Indonesia saat ini kembali dihadapkan pada kenaikan harga kedelai impor, tepatnya kentara terasa sejak Januari lalu. Pada pekan awal Februari sampai kemarin, harga kedelai impor kian merangkak naik tembus hingga Rp11.240 per kilogram (kg).
Kenaikan ini tentu sangat berdampak luas. Selain tingkat kenaikan yang tajam lantaran pada kondisi normal harga kedelai hanya Rp7.500-8.000/kg, kedelai juga menjadi komoditas utama pangan, terutama tahu dan tempe. Dua jenis makanan ini sudah menjadi favorit orang Indonesia ratusan tahun lamanya. Selain murah, tahu dan tempe juga mengandung gizi yang sangat baik.
Jutaan ton tahu dan tempe dikonsumsi orang Indonesia tiap tahunnya. Bahkan Gabungan Koperasi Produsen Tempe-Tahu Indonesia (Gakoptindo) memproyeksikan pada 2022 ini produksi tahu dan tempe bisa mencapai 3 juta ton. Namun, proyeksi ini tampaknya bakal meleset. Harga kedelai impor yang mulai merambat naik sejak Januari lalu dan diperkirakan baru melandai pada Mei 2022 membuat target itu berpotensi besar terkoreksi.
Entah fenomena fluktuasi harga ini adalah yang ke berapa kali dan sampai kapan bisa teratasi. Yang kita heran, benarkah pemerintah benar-benar tak punya daya kuat sehingga seolah mudah terombang-ambingkan dengan dalih harga dunia?
Masalah harga ini jelas tidak sesederhana soal angka-angka semata. Imbas harga yang tak henti melonjak ini pasti membuat produksi tempe dan tahu nasional terganggu. Situasi ini makin membuat UMKM perajin tahu dan tempe kian terjepit. Masyarakat juga kian dihadapkan pilihan pelik. Selain minyak goreng, harga-harga pangan satu per satu naik, namun pendapatan mereka umumnya stagnan.
Dalam situasi ini, sudah saatnya pemerintah untuk tidak tinggal diam atau bahkan menganggap sebagai sebuah fenomena langganan. Kedelai terbukti menjadi komoditas pangan utama sebagai bahan baku tempe dan kedelai khususnya. Kenaikan ini pun bukan terjadi dalam setahun belakangan. Namun, sejatinya fluktuasi ini adalah catatan sejarah panjang yang tak henti melingkupi persoalan pangan nasional kita.
Begitu lamanya pemerintah tak kuasa mengendalikan harga kedelai ini saatnya harus dicarikan solusi dengan cara-cara yang tak biasa. Pemerintah saatnya membuat terobosan dengan jalan yang sangat fundamental dan sistematis. Target utamanya tentu membatasi ketergantungan impor dan meningkatkan produksi kedelai lokal. Jika memang kualitas kedelai impor seperti dari Brasil atau Amerika Serikat itu lebih baik, tentu Indonesia saatnya untuk mengadopsi keunggulan ini.
Langkah fundamental ini penting karena solusi kedelai tak cukup lagi dilakukan lewat diskusi, seminar, konferensi, dan lobi-lobi seremonial semata. Itu semua sudah cukup menjadi pelajaran berharga bagi Indonesia untuk membuat peta jalan pengendalian harga kedelai yang lebih taktis sekaligus strategis. Sumber daya manusia, lahan, dan teknologi sudah banyak kita miliki. Dus, masalah kedelai bukan angan-angan.
Membuat langkah fundamental mungkin bagi sebagian pihak tampak emosional atau bukan dipikirkan matang. Namun, perlu diingat, inovasi-inovasi selalu lahir dari jalan yang tak biasa yang berupaya mendobrak kemapanan berpikir atau keadaan.
Kenaikan ini tentu sangat berdampak luas. Selain tingkat kenaikan yang tajam lantaran pada kondisi normal harga kedelai hanya Rp7.500-8.000/kg, kedelai juga menjadi komoditas utama pangan, terutama tahu dan tempe. Dua jenis makanan ini sudah menjadi favorit orang Indonesia ratusan tahun lamanya. Selain murah, tahu dan tempe juga mengandung gizi yang sangat baik.
Jutaan ton tahu dan tempe dikonsumsi orang Indonesia tiap tahunnya. Bahkan Gabungan Koperasi Produsen Tempe-Tahu Indonesia (Gakoptindo) memproyeksikan pada 2022 ini produksi tahu dan tempe bisa mencapai 3 juta ton. Namun, proyeksi ini tampaknya bakal meleset. Harga kedelai impor yang mulai merambat naik sejak Januari lalu dan diperkirakan baru melandai pada Mei 2022 membuat target itu berpotensi besar terkoreksi.
Entah fenomena fluktuasi harga ini adalah yang ke berapa kali dan sampai kapan bisa teratasi. Yang kita heran, benarkah pemerintah benar-benar tak punya daya kuat sehingga seolah mudah terombang-ambingkan dengan dalih harga dunia?
Masalah harga ini jelas tidak sesederhana soal angka-angka semata. Imbas harga yang tak henti melonjak ini pasti membuat produksi tempe dan tahu nasional terganggu. Situasi ini makin membuat UMKM perajin tahu dan tempe kian terjepit. Masyarakat juga kian dihadapkan pilihan pelik. Selain minyak goreng, harga-harga pangan satu per satu naik, namun pendapatan mereka umumnya stagnan.
Dalam situasi ini, sudah saatnya pemerintah untuk tidak tinggal diam atau bahkan menganggap sebagai sebuah fenomena langganan. Kedelai terbukti menjadi komoditas pangan utama sebagai bahan baku tempe dan kedelai khususnya. Kenaikan ini pun bukan terjadi dalam setahun belakangan. Namun, sejatinya fluktuasi ini adalah catatan sejarah panjang yang tak henti melingkupi persoalan pangan nasional kita.
Begitu lamanya pemerintah tak kuasa mengendalikan harga kedelai ini saatnya harus dicarikan solusi dengan cara-cara yang tak biasa. Pemerintah saatnya membuat terobosan dengan jalan yang sangat fundamental dan sistematis. Target utamanya tentu membatasi ketergantungan impor dan meningkatkan produksi kedelai lokal. Jika memang kualitas kedelai impor seperti dari Brasil atau Amerika Serikat itu lebih baik, tentu Indonesia saatnya untuk mengadopsi keunggulan ini.
Langkah fundamental ini penting karena solusi kedelai tak cukup lagi dilakukan lewat diskusi, seminar, konferensi, dan lobi-lobi seremonial semata. Itu semua sudah cukup menjadi pelajaran berharga bagi Indonesia untuk membuat peta jalan pengendalian harga kedelai yang lebih taktis sekaligus strategis. Sumber daya manusia, lahan, dan teknologi sudah banyak kita miliki. Dus, masalah kedelai bukan angan-angan.
Membuat langkah fundamental mungkin bagi sebagian pihak tampak emosional atau bukan dipikirkan matang. Namun, perlu diingat, inovasi-inovasi selalu lahir dari jalan yang tak biasa yang berupaya mendobrak kemapanan berpikir atau keadaan.
tulis komentar anda