Kembali ke Akar, Memelihara Daun
Senin, 14 Februari 2022 - 11:53 WIB
Kembali ke akar bagi masyarakat, individu, dan kumpulan-kumpulan manusia adalah kembali pada jati diri primordial. Tetapi siapa kita? Manusia terus mendefinisikan dirinya.
Sebagai invidu kita berkembang dari satu keakuan ke keakuan yang lain. Lahir dan tumbuh dari daerah tertentu bisa berupa desa atau kota, kita berafiliasi dalam KTP masing-masing dengan tempat kelahiran itu.
Tetapi ketika sudah beranjak dewasa tidaklah cukup hanya menjadi warga desa atau kota. Kita berpindah satu tempat ke tempat lain demi perkembangan pendidikan, karir, usaha, pertemanan, dan segala yang berhubungan dengan kehidupan.
Manusia beridentitas banyak. Manusia mempunyai pengalaman unik dan bertambah terus. Identitas kita tidak satu. Ini yang membedakan manusia dengan pohon, dan juga binatang lain. Mereka identitasnya tidak berubah, dan tidak memperkaya identitas lain. Jati diri manusia berkembang.
Kembali ke akar bagi manusia tidak berarti mengingkari akar-akar lain, dan tidak melupakan perkembangan manusia, dan jati diri bukan harga mati menjadi milik kelompok atau asal muasal: agama, etnis, bahasa, dan daerah. Kembali ke akar bisa beresiko jika diartikan sebagai fanatisme pada akar tertentu, sehingga akar-akar lain tidak bisa dipertimbangkan. Akar lain ditolak. Akar lain dimatikan. Akar yang lain dipangkas. Apalagi jika melupakan batang, ranting, dahan, dan unsur lain.
Pohon saja penuh dengan akar, dan pecah-pecah. Akar utama, akar cabang, akar menjulur, akar ke bawah, dan akar yang tampak. Begitu juga akar jati diri manusia, banyak dan bervariasi. Manusia tidak berakar satu. Manusia mempunyai banyak akar. Akar manusia terus bertamban dan tidak berhenti, sebagaimana akar tumbuhan juga tumbuh kuat ke dalam, menyamping, dan kadangkalai membesar kelihatan dari luar.
Identitias manusia juga begitu. Kadangkala terlihat, seringkali tersembunyi seperti akar di tanah. Tetapi identitas tetap banyak. Kadangkala sudah dewasa pun masih mengharap identitas lain.
Inilah jati diri pohon, dan juga jati diri manusia. Keduanya sama kompleksnya. Lebih rumit lagi bagi manusia, karena tidak pasif dan selalu bergerak dan tumbuh. Manusia tidak statis, tetapi berpindah-pindah, dari keyakinan, ideologi, pendidikan, karir dan pergaulan. Identitas manusia berubah-ubah. Inilah dasar dari inklusifivisme dan kebhinekaan. Kembali lagi pada unsur pohon.
Akar menopang tanaman, tanpa akar tanaman tidak hidup. Tetapi tanaman memerlukan daun untuk menarik energi matahari guna proses fotosintesis. Batang juga menopang dan menyaurlan makanan dari bawah dan atas. Ranting-ranting memberi tempat pada daun. Bahkan oranisme diluar diri pohon, juga berperan dalam kehidupan tanaman.
Manusia tak ubahnya juga begitu. Memperhatikan identitas dasar juga penting, mempertanyakan siapa kita menjadi bahan perenungan dan panduan hidup: iman, kedaerahan, kebangsaan, pandangan hidup, pilihan politik.
Sebagai invidu kita berkembang dari satu keakuan ke keakuan yang lain. Lahir dan tumbuh dari daerah tertentu bisa berupa desa atau kota, kita berafiliasi dalam KTP masing-masing dengan tempat kelahiran itu.
Tetapi ketika sudah beranjak dewasa tidaklah cukup hanya menjadi warga desa atau kota. Kita berpindah satu tempat ke tempat lain demi perkembangan pendidikan, karir, usaha, pertemanan, dan segala yang berhubungan dengan kehidupan.
Manusia beridentitas banyak. Manusia mempunyai pengalaman unik dan bertambah terus. Identitas kita tidak satu. Ini yang membedakan manusia dengan pohon, dan juga binatang lain. Mereka identitasnya tidak berubah, dan tidak memperkaya identitas lain. Jati diri manusia berkembang.
Kembali ke akar bagi manusia tidak berarti mengingkari akar-akar lain, dan tidak melupakan perkembangan manusia, dan jati diri bukan harga mati menjadi milik kelompok atau asal muasal: agama, etnis, bahasa, dan daerah. Kembali ke akar bisa beresiko jika diartikan sebagai fanatisme pada akar tertentu, sehingga akar-akar lain tidak bisa dipertimbangkan. Akar lain ditolak. Akar lain dimatikan. Akar yang lain dipangkas. Apalagi jika melupakan batang, ranting, dahan, dan unsur lain.
Pohon saja penuh dengan akar, dan pecah-pecah. Akar utama, akar cabang, akar menjulur, akar ke bawah, dan akar yang tampak. Begitu juga akar jati diri manusia, banyak dan bervariasi. Manusia tidak berakar satu. Manusia mempunyai banyak akar. Akar manusia terus bertamban dan tidak berhenti, sebagaimana akar tumbuhan juga tumbuh kuat ke dalam, menyamping, dan kadangkalai membesar kelihatan dari luar.
Identitias manusia juga begitu. Kadangkala terlihat, seringkali tersembunyi seperti akar di tanah. Tetapi identitas tetap banyak. Kadangkala sudah dewasa pun masih mengharap identitas lain.
Inilah jati diri pohon, dan juga jati diri manusia. Keduanya sama kompleksnya. Lebih rumit lagi bagi manusia, karena tidak pasif dan selalu bergerak dan tumbuh. Manusia tidak statis, tetapi berpindah-pindah, dari keyakinan, ideologi, pendidikan, karir dan pergaulan. Identitas manusia berubah-ubah. Inilah dasar dari inklusifivisme dan kebhinekaan. Kembali lagi pada unsur pohon.
Akar menopang tanaman, tanpa akar tanaman tidak hidup. Tetapi tanaman memerlukan daun untuk menarik energi matahari guna proses fotosintesis. Batang juga menopang dan menyaurlan makanan dari bawah dan atas. Ranting-ranting memberi tempat pada daun. Bahkan oranisme diluar diri pohon, juga berperan dalam kehidupan tanaman.
Manusia tak ubahnya juga begitu. Memperhatikan identitas dasar juga penting, mempertanyakan siapa kita menjadi bahan perenungan dan panduan hidup: iman, kedaerahan, kebangsaan, pandangan hidup, pilihan politik.
Lihat Juga :
tulis komentar anda