Jurnalisme Berkualitas vs Ekosistem Media Digital

Rabu, 09 Februari 2022 - 07:41 WIB
Persoalannya, apakah itu cukup? Tentu saja ini terus berkembang. Self righting process of truth saja tidak cukup. Dalam UU Pers No 40 Tahun 1999 dan Kode Etik Jurnalistik, konsep pers kita lebih kepada tanggung jawab sosial. Apa

penyebabnya? Kebebasan yang kebablasan akan melahirkan penyimpangan, konsep ini lebih mengedepankan persoalan etik dan tanggung jawab dalam kebebasan. Ini final dan sempurna, kemerdekaan didapat, tentu dibatasi dengan tanggung jawab sosial.

Pers kita memang tidak sedang baik-baik saja, setidaknya sedang menghadapi dua hal penting. Pertama, secara internal pers mengalami pembusukan di dalam. Kenapa saya katakan pembusukan? Kita bisa lihat lahirnya berbagai media yang asal ada (abal-abal) dan dibuat untuk berbagai kepentingan dan mengesampingkan cara-cara profesional dalam menjalankan tugas-tugas jurnalistik. Pers semacam ini yang kita sebut meresahkan masyarakat, tidak melakukan kerja jurnalistik dengan benar dan mengabaikan kode etik.

Memang, kita apresiasi Dewan Pers yang sudah berusaha untuk membuat pers kita lebih sehat. Beberapa tahun lalu Dewan Pers sudah melakukan verifikasi perusahaan media dan juga melakukan uji kompetensi terhadap jurnalis-jurnalis profesional. Upaya ini diyakini bisa membuat pers kita lebih sehat dan profesional dalam bekerja.

Kedua, pers menghadapi tantangan global berupa transformasi digital. Ketidakberdayaan kita dalam menghadapi raksasa perusahaan teknologi yang melahirkan berbagai platform media sosial menjadi penyebab lanjutan pers kita harus berbenah. Menghadapi transformasi digital ini, pers kita harus siap dengan dampak positif dari digital dan juga hal-hal buruk yang akan timbul.

Transformasi digital membuka peluang interaksi antarkonten, menjangkau publik tanpa batas. Selain itu membuka peluang publik untuk ikut membuat konten, menyebarkan, bahkan membuka peluang bisnis konten. Namun, perlu menjadi pertanyaan, apakah platform digital ini peduli atau concern terhadap jurnalisme berkualitas? Apakah platform digital ini sebagai kekuatan bisnis, peduli terhadap publisher? Dan, bagaimana hubungan yang harus dikembangkan antara platform digital, apakah mungkin bisa mencari solusi seperti di Prancis?

Nah, mengacu pada pertanyaan di atas, mari kita lihat secara sederhana, bagaimana posisi publisher di negara kita. Pertama, kita sangat memahami bahwa platform digital lahir dan berselancar di dunia maya sebagai entitas bisnis dan orientasinya mengeruk keuntungan sebesar-besarnya untuk mereka sendiri. Mereka hanya menyediakan platform, selebihnya konten diisi oleh publik/khalayak dan juga publisher.

Persoalannya; hubungan antara platform digital dengan publisher tidak saling menguntungan alias timpang. Platform digital lebih banyak mengendalikan publisher. Bahkan, platform digital bisa seenaknya mengubah sistem algoritma yang berdampak pada proses distribusi konten dan sharing revenue bagi konten yang berbayar. Memang mereka menawarkan bentuk kerja sama secara bisnis, tetapi bentuk kerja sama ini timpang, dilakukan sepihak dan cenderung merugikan publisher. Kita ambil contoh Google yang menawarkan iklan programmatic kepada publisher. Lucunya, tidak pernah ada transparansi tentang nilai iklan alias tidak ada negosiasi. Bagaimana dengan data pengguna “users”? Jika publisher ingin mengetahui data penggunanya, mereka harus membayar sejumlah uang kepada platform alias berlangganan data.

Kedua, ketika hubungan platform digital dengan produk jurnalistik media mainstream timpang, ini akan menyebabkan jurnalisme berkualitas terancam oleh ekosistem digital yang didominasi oleh perusahaan teknologi. Dengan menguasai algoritma, publisher mau tidak mau “dipaksa” untuk mengikuti. Sudah kontennya diambil, tanpa ada kesetaraan ekonomi pula. Wajar, jika publisher meradang, bahwa ini tidak adil. Karena publisher masih mengandalkan pendapatan mereka dari iklan maka keberlangsungan usaha mereka ya mau tidak mau tergantung pada platform digital. Sementara platform digital bisa bertindak semau mereka, karena mereka tidak diperlakukan sama di depan hukum yang selama ini berlaku bagi media mainstream. Sudah besar, tidak mau diatur pula. Kalau ini terjadi, tentu akan tercipta persaingan tidak sehat karena publisher tidak memiliki proteksi.

Padahal, jika kita buka UU Pers No. 40 Tahun 1999, Pasal 3, tegas disebutkan; fungsi pers selain sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, kontrol sosial, juga pers berfungsi sebagai lembaga ekonomi. Ingat, ini bunyi undang-undang yang intinya mengikat. Artinya, ada konsekuensi logis, harus dicari cara bagaimana supaya publisher tetap bisa memetik manfaat dari transformasi digital.
Dapatkan berita terbaru, follow WhatsApp Channel SINDOnews sekarang juga!
Halaman :
tulis komentar anda
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More