Jurnalisme Berkualitas vs Ekosistem Media Digital

Rabu, 09 Februari 2022 - 07:41 WIB
loading...
Jurnalisme Berkualitas vs Ekosistem Media Digital
Yadi Hendriana (Foto: Ist)
A A A
Yadi Hendriana
Jurnalis Senior, Anggota Dewan Pers Terpilih

“KALIAN orang-orang beruntung, berada di negara yang melindungi pers, menghargai kebebasan dan respek terhadap produk pers. Di negara kami, pers tidak bisa bebas, setiap kami menulis diawasi, maka bersyukurlah”, kata Yasser membuka percakapan saat kami bertemu di sebuah restoran di kawasan Jeddah, Arab Saudi, empat tahun lalu. Kami dan beberapa jurnalis dari berbagai negara diundang pemerintah Arab Saudi untuk menghadiri sebuah event dan juga diajak berdiskusi dengan jurnalis-jurnalis Timur Tengah, Eropa dan Asia.

Yasser, seorang jurnalis dari Sudan melihat Indonesia adalah negara dengan sistem pers yang bagus dan jurnalisnya bisa mengembangkan kreativitas dan membuat produk-produk jurnalistik yang bagus. Dia bercerita, di Sudan pers sudah mati dan semua diatur pemerintah. Bahkan Dewan Pers di Sudan juga sengaja dibuat justru menjadi “stempel” pembredelan pers.

Puncak kelabu pers di Sudan terjadi pada 2015, saat Aliansi Jurnalis Sudan (AJN) menggelar aksi demonstrasi di depan Dewan Pers dan Publikasi Nasional Sudan (NCPP). Mereka memprotes pemerintah yang menutup empat perusahaan pers dan menarik 10 koran yang mengkritik pemerintah. Bahkan semua koran yang terbit disita, semua keuangan perusahaan dilemahkan. Dengan kata lain, siapa pun yang melakukan kritik terhadap pemerintah, akan “digebuk”.

Di Sudan, tekanan terhadap pers terus terjadi sampai saat ini. Pers di sana sudah remuk, hancur dan serbabingung. Pada 2017, sebuah rancangan undang-undang melenggang menjadi undang-undang yang isinya mengunci kebebasan pers dan membiarkan kekuatan pemerintah mendominasi. Ratusan jurnalis yang melakukan aksi protes tak mampu berbuat apa-apa. Jadilah sistem pers di Sudan menjadi otoriter.

Tak hanya di Sudan, pers di Malaysia juga bisa dikatakan pernah terpuruk dan tidak sebebas di Indonesia. Memang dalam konstitusi Federal Pasal 10 ada jaminan bahwa setiap warga negara bebas berekspresi dalam batasan tertentu. Tapi, kebebasan berekspresi tersebut harus takluk kepada undang-undang antipenghasutan atau Sedition Act 1948 yang lentur seperti pasal karet dan bebas ditafsirkan apa saja oleh penguasa. Pada saat Najib berkuasa, pers di sana merasakan dampaknya dan tidak bisa leluasa menuangkan produk persnya. Setelah lengser, pers Malaysia merasakan kebebasan yang lebih baik, bahkan pada 2019 kekebasan pers di Malaysia menjadi yang terbaik di Asia Tenggara, peringkat 123 dunia dari 145 negara.

Saya berpikir, di belahan negara ketiga seperti di Sudan, sangat wajar masih berkutat pada persoalan klasik terkait kebebasan berekspresi dan kemerdekaan pers. Selain proses demokrasi belum berkembang baik, jalannya pemerintahan juga masih dikontrol militer.

Tapi di negara-negara maju, katakanlah termasuk Indonesia, persoalan jauh lebih kompleks dalam menghadapi era digital, terkait kebebasan pers, seharusnya sudah “done” alias selesai tanpa kompromi. Saat ini yang harus menjadi perhatian bagaimana bersaing dengan raksasa perusahaan teknologi dunia dan berebut pengaruh dengan media sosial yang dalam kesimpulan awal banyak menggerus peran pers. Bagaimana menegakkan jurnalisme berkualitas di tengah ekosistem digital, dan bagaimana posisi tawar pers yang kita sebut publisher di hadapan raksasa perusahaan teknologi supaya tidak timpang, dikebiri atau harus dihargai.

Obrolan bersama jurnalis internasional siang itu menjadi sangat penting, kami bertukar informasi seputar kehidupan pers di negara masing-masing. Beberapa rekan jurnalis dari Prancis, India, Pakistan, Jordania dan negara-negara Afrika yang hadir juga saling bertukar informasi tentang kondisi pers di negara masing-masing. Intinya, obrolan kami didominasi oleh riuhnya keberadaan media sosial dan perusahaan teknologi di negara masing-masing.

Intinya, platform media sosial menjadi tantangan lain bagi pers. Kami sepakat, bahwa media sosial memang hal yang mustahil bisa dibendung karena lahir dari sebuah evolusi teknologi. Saat ini yang harus dipikirkan, dalam konteks sebuah karya (konten) bagaimana caranya supaya media sosial juga mampu memainkan informasi yang sehat dan berdampak baik bagi masyarakat. Setidaknya output dan outcome-nya memberikan nilai “lebih” dan berdampak positif.

Kita ambil contoh di Prancis, sebuah undang-undang mewajibkan pengelola media sosial seperti Facebook, Twitter, YouTube, Instagram dan berbagai platform dunia maya lainnya menghapus konten terkait ujaran kebencian, terorisme dan konten berbahaya bagi publik. Mereka diberi waktu satu jam setelah diperingatkan pemerintah untuk take down. Jika tidak, maka sanksi denda menanti, bayangkan besarnya bisa mencapai 4% dari pendapatan global mereka. Tentu ini angka yang besar. Boleh dikatakan Emanuel Macron, Presiden Prancis yang mengambil alih kepresidenan bergilir Dewan Eropa yang beranggotakan 27 negara sangat concern terhadap platform media sosial yang dinilai bisa merugikan publik jika tidak dikontrol. Singkatnya, ketika ada konten berbahaya, tanggung jawab lebih dibebankan kepada pemilik platform.

Malah, untuk menjaga ekosistem media mainstream tetap terjaga. Prancis; sejak Januari 2021, aliansi media Prancis; Alliance de la Presse d’information General (APIG) berhasil melakukan kesepakatan dengan raksasa internet Google untuk melakukan kompensasi publikasi media, atau bersepakat harga dengan publisher Prancis. Ini sebuah prestasi dan kemajuan yang didapatkan karena tidak semua negara mampu melakukan bargaining kuat dengan Google.

Di Eropa aturan yang menuntut tanggung jawab platform media sosial akan konten terus begulir. Bahkan di Jerman sudah terlebih dahulu berlaku. Pada Desember 2018 pemerintah mewajibkan denda terhadap platform media sosial sebesar 50 juta euro atau Rp700 miliar untuk satu unggahan berita hoaks. Tentu, apa yang dilakukan oleh negara-negara di Eropa selain melindungi publik dari acaman informasi yang buruk, juga melindungi media mainstream yang jauh lebih kedibel karena dalam bekerja menyajikan informasi terikat dengan code of conduct dan standar verifikasi yang tinggi.

Lupakan negara lain, yang jauh lebih maju dalam menghadapi evolusi digital, mari kita melihat Indonesia, yang secara menggembirakan sudah menikmati kemerdekaan pers selama hampir 23 tahun. Tepatnya, sejak lahirnya UU Pers No. 40 Tahun 1999.

Tentang kemerdekaan pers ini, komitmen pemerintah sangat tegas sebagaimana sambutan Presiden Joko Widodo pada Kongres Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) ke VI di Lombok, NTB, November 2021. Komitmen pemerintah akan kemerdekaan pers sudah final.

Penegasan Presiden menjadi angin segar bagi pers Indonesia untuk terus menjadi partner dan kontrol bagi kebijakan-kebijakan pemerintah, melakukan kritik dan mengawasi semua kebijakan sesuai kaidah-kaidah pers dalam kode etik jurnalistik. Kemerdekaan pers yang terus dijamin pemerintah ini, tentu menjadi bagian yang sangat penting dalam lahirnya jurnalisme berkualitas.

Nah, sebelum kita mengupas posisi pers kita di tengah ekosistem media digital, mari kita lihat dulu, sudahkan kita menggunakan previlege (hak istimewa) kemerdekaan pers ini untuk menciptakan jurnaslime berkualitas?

Dalam teori pers libertarian yang ceritanya menjamin semua kebebasan berekspresi, konsep pers berada dalam posisi “free market place of ideas” dan dikontrol dengan “self righting process of truth”. Artinya; pers tidak lagi dilarang mengkritik pemerintah, tetapi dilarang untuk menyebarkan berita bohong, informasi fitnah, menghasut dan merugikan seseorang. Dalam konsep ini, pers menjadi instrumen penting dalam kontrol sosial dan sebagai alat yang mempertemukan semua kepentingan masyarakat.

Persoalannya, apakah itu cukup? Tentu saja ini terus berkembang. Self righting process of truth saja tidak cukup. Dalam UU Pers No 40 Tahun 1999 dan Kode Etik Jurnalistik, konsep pers kita lebih kepada tanggung jawab sosial. Apa
penyebabnya? Kebebasan yang kebablasan akan melahirkan penyimpangan, konsep ini lebih mengedepankan persoalan etik dan tanggung jawab dalam kebebasan. Ini final dan sempurna, kemerdekaan didapat, tentu dibatasi dengan tanggung jawab sosial.

Pers kita memang tidak sedang baik-baik saja, setidaknya sedang menghadapi dua hal penting. Pertama, secara internal pers mengalami pembusukan di dalam. Kenapa saya katakan pembusukan? Kita bisa lihat lahirnya berbagai media yang asal ada (abal-abal) dan dibuat untuk berbagai kepentingan dan mengesampingkan cara-cara profesional dalam menjalankan tugas-tugas jurnalistik. Pers semacam ini yang kita sebut meresahkan masyarakat, tidak melakukan kerja jurnalistik dengan benar dan mengabaikan kode etik.

Memang, kita apresiasi Dewan Pers yang sudah berusaha untuk membuat pers kita lebih sehat. Beberapa tahun lalu Dewan Pers sudah melakukan verifikasi perusahaan media dan juga melakukan uji kompetensi terhadap jurnalis-jurnalis profesional. Upaya ini diyakini bisa membuat pers kita lebih sehat dan profesional dalam bekerja.

Kedua, pers menghadapi tantangan global berupa transformasi digital. Ketidakberdayaan kita dalam menghadapi raksasa perusahaan teknologi yang melahirkan berbagai platform media sosial menjadi penyebab lanjutan pers kita harus berbenah. Menghadapi transformasi digital ini, pers kita harus siap dengan dampak positif dari digital dan juga hal-hal buruk yang akan timbul.

Transformasi digital membuka peluang interaksi antarkonten, menjangkau publik tanpa batas. Selain itu membuka peluang publik untuk ikut membuat konten, menyebarkan, bahkan membuka peluang bisnis konten. Namun, perlu menjadi pertanyaan, apakah platform digital ini peduli atau concern terhadap jurnalisme berkualitas? Apakah platform digital ini sebagai kekuatan bisnis, peduli terhadap publisher? Dan, bagaimana hubungan yang harus dikembangkan antara platform digital, apakah mungkin bisa mencari solusi seperti di Prancis?

Nah, mengacu pada pertanyaan di atas, mari kita lihat secara sederhana, bagaimana posisi publisher di negara kita. Pertama, kita sangat memahami bahwa platform digital lahir dan berselancar di dunia maya sebagai entitas bisnis dan orientasinya mengeruk keuntungan sebesar-besarnya untuk mereka sendiri. Mereka hanya menyediakan platform, selebihnya konten diisi oleh publik/khalayak dan juga publisher.

Persoalannya; hubungan antara platform digital dengan publisher tidak saling menguntungan alias timpang. Platform digital lebih banyak mengendalikan publisher. Bahkan, platform digital bisa seenaknya mengubah sistem algoritma yang berdampak pada proses distribusi konten dan sharing revenue bagi konten yang berbayar. Memang mereka menawarkan bentuk kerja sama secara bisnis, tetapi bentuk kerja sama ini timpang, dilakukan sepihak dan cenderung merugikan publisher. Kita ambil contoh Google yang menawarkan iklan programmatic kepada publisher. Lucunya, tidak pernah ada transparansi tentang nilai iklan alias tidak ada negosiasi. Bagaimana dengan data pengguna “users”? Jika publisher ingin mengetahui data penggunanya, mereka harus membayar sejumlah uang kepada platform alias berlangganan data.

Kedua, ketika hubungan platform digital dengan produk jurnalistik media mainstream timpang, ini akan menyebabkan jurnalisme berkualitas terancam oleh ekosistem digital yang didominasi oleh perusahaan teknologi. Dengan menguasai algoritma, publisher mau tidak mau “dipaksa” untuk mengikuti. Sudah kontennya diambil, tanpa ada kesetaraan ekonomi pula. Wajar, jika publisher meradang, bahwa ini tidak adil. Karena publisher masih mengandalkan pendapatan mereka dari iklan maka keberlangsungan usaha mereka ya mau tidak mau tergantung pada platform digital. Sementara platform digital bisa bertindak semau mereka, karena mereka tidak diperlakukan sama di depan hukum yang selama ini berlaku bagi media mainstream. Sudah besar, tidak mau diatur pula. Kalau ini terjadi, tentu akan tercipta persaingan tidak sehat karena publisher tidak memiliki proteksi.

Padahal, jika kita buka UU Pers No. 40 Tahun 1999, Pasal 3, tegas disebutkan; fungsi pers selain sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, kontrol sosial, juga pers berfungsi sebagai lembaga ekonomi. Ingat, ini bunyi undang-undang yang intinya mengikat. Artinya, ada konsekuensi logis, harus dicari cara bagaimana supaya publisher tetap bisa memetik manfaat dari transformasi digital.

Bagaimana caranya? Saya banyak mengikuti berbagai diskusi dan membaca literasi; hal yang paling memungkinkan adalah publisher harus berkolaborasi seperti media di Prancis yang berhasil untuk bersepakat dengan Google untuk melakukan kompensasi publikasi media, atau bersepakat harga dengan publisher. Kolaborasi ini tentu akan membuahkan hasil jika negara juga hadir, bahkan bisa melakukan inisiasi dengan membuat sejumlah aturan mengikat untuk platform digital seperti di Prancis dan Jerman.

Langkah lain, tentu kompetisi baik secara konten maupun mendapatkan pendapatan dari sumber lain. Konten ini tentu terkait dengan jurnalisme berkualitas, semakin berkualitas hasil jurnalistiknya, bangunan kepercayaan publik akan semakin kuat. Karena sesungguhnya media identik dengan kepercayaan publik. Publik akan lebih accept terhadap karya-karya media yang akurat dan kredibel.
(bmm)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2017 seconds (0.1#10.140)