Jurnalisme Berkualitas vs Ekosistem Media Digital

Rabu, 09 Februari 2022 - 07:41 WIB
Obrolan bersama jurnalis internasional siang itu menjadi sangat penting, kami bertukar informasi seputar kehidupan pers di negara masing-masing. Beberapa rekan jurnalis dari Prancis, India, Pakistan, Jordania dan negara-negara Afrika yang hadir juga saling bertukar informasi tentang kondisi pers di negara masing-masing. Intinya, obrolan kami didominasi oleh riuhnya keberadaan media sosial dan perusahaan teknologi di negara masing-masing.

Intinya, platform media sosial menjadi tantangan lain bagi pers. Kami sepakat, bahwa media sosial memang hal yang mustahil bisa dibendung karena lahir dari sebuah evolusi teknologi. Saat ini yang harus dipikirkan, dalam konteks sebuah karya (konten) bagaimana caranya supaya media sosial juga mampu memainkan informasi yang sehat dan berdampak baik bagi masyarakat. Setidaknya output dan outcome-nya memberikan nilai “lebih” dan berdampak positif.

Kita ambil contoh di Prancis, sebuah undang-undang mewajibkan pengelola media sosial seperti Facebook, Twitter, YouTube, Instagram dan berbagai platform dunia maya lainnya menghapus konten terkait ujaran kebencian, terorisme dan konten berbahaya bagi publik. Mereka diberi waktu satu jam setelah diperingatkan pemerintah untuk take down. Jika tidak, maka sanksi denda menanti, bayangkan besarnya bisa mencapai 4% dari pendapatan global mereka. Tentu ini angka yang besar. Boleh dikatakan Emanuel Macron, Presiden Prancis yang mengambil alih kepresidenan bergilir Dewan Eropa yang beranggotakan 27 negara sangat concern terhadap platform media sosial yang dinilai bisa merugikan publik jika tidak dikontrol. Singkatnya, ketika ada konten berbahaya, tanggung jawab lebih dibebankan kepada pemilik platform.

Malah, untuk menjaga ekosistem media mainstream tetap terjaga. Prancis; sejak Januari 2021, aliansi media Prancis; Alliance de la Presse d’information General (APIG) berhasil melakukan kesepakatan dengan raksasa internet Google untuk melakukan kompensasi publikasi media, atau bersepakat harga dengan publisher Prancis. Ini sebuah prestasi dan kemajuan yang didapatkan karena tidak semua negara mampu melakukan bargaining kuat dengan Google.

Di Eropa aturan yang menuntut tanggung jawab platform media sosial akan konten terus begulir. Bahkan di Jerman sudah terlebih dahulu berlaku. Pada Desember 2018 pemerintah mewajibkan denda terhadap platform media sosial sebesar 50 juta euro atau Rp700 miliar untuk satu unggahan berita hoaks. Tentu, apa yang dilakukan oleh negara-negara di Eropa selain melindungi publik dari acaman informasi yang buruk, juga melindungi media mainstream yang jauh lebih kedibel karena dalam bekerja menyajikan informasi terikat dengan code of conduct dan standar verifikasi yang tinggi.

Lupakan negara lain, yang jauh lebih maju dalam menghadapi evolusi digital, mari kita melihat Indonesia, yang secara menggembirakan sudah menikmati kemerdekaan pers selama hampir 23 tahun. Tepatnya, sejak lahirnya UU Pers No. 40 Tahun 1999.

Tentang kemerdekaan pers ini, komitmen pemerintah sangat tegas sebagaimana sambutan Presiden Joko Widodo pada Kongres Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) ke VI di Lombok, NTB, November 2021. Komitmen pemerintah akan kemerdekaan pers sudah final.

Penegasan Presiden menjadi angin segar bagi pers Indonesia untuk terus menjadi partner dan kontrol bagi kebijakan-kebijakan pemerintah, melakukan kritik dan mengawasi semua kebijakan sesuai kaidah-kaidah pers dalam kode etik jurnalistik. Kemerdekaan pers yang terus dijamin pemerintah ini, tentu menjadi bagian yang sangat penting dalam lahirnya jurnalisme berkualitas.

Nah, sebelum kita mengupas posisi pers kita di tengah ekosistem media digital, mari kita lihat dulu, sudahkan kita menggunakan previlege (hak istimewa) kemerdekaan pers ini untuk menciptakan jurnaslime berkualitas?

Dalam teori pers libertarian yang ceritanya menjamin semua kebebasan berekspresi, konsep pers berada dalam posisi “free market place of ideas” dan dikontrol dengan “self righting process of truth”. Artinya; pers tidak lagi dilarang mengkritik pemerintah, tetapi dilarang untuk menyebarkan berita bohong, informasi fitnah, menghasut dan merugikan seseorang. Dalam konsep ini, pers menjadi instrumen penting dalam kontrol sosial dan sebagai alat yang mempertemukan semua kepentingan masyarakat.
Halaman :
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More