Polemik 198 Pesantren Dicap Terafiliasi Jaringan Teror, Begini Penjelasan BNPT
Senin, 31 Januari 2022 - 19:48 WIB
Keempat, lanjut Nurwakhid, pesantren yang terkoneksi atau terafiliasi dalam pendanaan maupun distribusi logistik dengan jaringan terorisme.
Di samping kategori pesantren yang terafiliasi dengan jaringan terorisme, ungkapnya, hal yang tidak kalah bahayanya dan penting untuk diketahui masyarakat adalah keberadaan pesantren yang memiliki corak pengajaran dan pendidikan yang mengarah pada pemikiran radikalisme. Setidaknya ada lima indikator yang mencirikan pesantren masuk dalam kategori tersebut.
"Pertama mengajarkan paham takfiri dengan mengkafirkan pihak lain yang berbeda pandangan maupun berbeda agama. Kemudian kedua bersikap eksklusif terhadap lingkungan maupun perubahan serta intoleran terhadap perbedaan maupun keragaman (pluralitas)," katanya.
Ketiga, lanjut Nurwakhid, mengajarkan doktrin dan ajaran anti Pancasila dan pro ideologi khilafah transnasional. Dan keempat memiliki sikap politik anti pemimpin atau pemerintahan yang sah dengan sikap membenci dan membangun ketidakpercayaan masyarakat (public distrust) terhadap pemerintahan maupun negara melalui propaganda fitnah, adu domba, hate speech, sebaran hoaks dan konten lainnya yang mengarah memecahbelah persatuan.
"Dan kelima pesantren yang pada umumnya memliki pemahaman anti budaya ataupun anti kearifaan lokal masyarakat," katanya.
Kembali pada data yang sempat mengundang polemik tersebut, Nurwakhid mengatakan, cara pandang yang harus dibangun bukan tujuan menstigmatisasi, tetapi mensterilisasi citra baik pesantren dari keberadaan oknum pesantren yang memiliki keterkaitan dengan jaraingan teror dan atau mengajarkan pemahaman yang radikal.
"Pesantren bukan hanya pilar peradaban Islam di Nusantara, tetapi juga fondasi bagi kemajuan negara dan bangsa ini. Khittah pesantren adalah lembaga yang menjaga harmoni antara Islam dan kebangsaan," katanya.
Di samping kategori pesantren yang terafiliasi dengan jaringan terorisme, ungkapnya, hal yang tidak kalah bahayanya dan penting untuk diketahui masyarakat adalah keberadaan pesantren yang memiliki corak pengajaran dan pendidikan yang mengarah pada pemikiran radikalisme. Setidaknya ada lima indikator yang mencirikan pesantren masuk dalam kategori tersebut.
"Pertama mengajarkan paham takfiri dengan mengkafirkan pihak lain yang berbeda pandangan maupun berbeda agama. Kemudian kedua bersikap eksklusif terhadap lingkungan maupun perubahan serta intoleran terhadap perbedaan maupun keragaman (pluralitas)," katanya.
Ketiga, lanjut Nurwakhid, mengajarkan doktrin dan ajaran anti Pancasila dan pro ideologi khilafah transnasional. Dan keempat memiliki sikap politik anti pemimpin atau pemerintahan yang sah dengan sikap membenci dan membangun ketidakpercayaan masyarakat (public distrust) terhadap pemerintahan maupun negara melalui propaganda fitnah, adu domba, hate speech, sebaran hoaks dan konten lainnya yang mengarah memecahbelah persatuan.
"Dan kelima pesantren yang pada umumnya memliki pemahaman anti budaya ataupun anti kearifaan lokal masyarakat," katanya.
Kembali pada data yang sempat mengundang polemik tersebut, Nurwakhid mengatakan, cara pandang yang harus dibangun bukan tujuan menstigmatisasi, tetapi mensterilisasi citra baik pesantren dari keberadaan oknum pesantren yang memiliki keterkaitan dengan jaraingan teror dan atau mengajarkan pemahaman yang radikal.
"Pesantren bukan hanya pilar peradaban Islam di Nusantara, tetapi juga fondasi bagi kemajuan negara dan bangsa ini. Khittah pesantren adalah lembaga yang menjaga harmoni antara Islam dan kebangsaan," katanya.
(abd)
tulis komentar anda