Normal Baru, Rasionalitas Baru
Jum'at, 12 Juni 2020 - 09:59 WIB
Dari kasus di atas, kampanye new normal tampaknya bukan soal seremoni pemasangan tanda-tanda jaga jarak, gencarnya himbauan kesadaran pakai masker, maupun pengawasan penegakan protokol kesehatan saja. New normal harus membangun rasionalitas para pihak, yakni pemerintah, institusi penyelenggara kesehatan, media, pelaku ekonomi hingga semua warga negara, dari hulu ke hilir.
Hulu adalah rasionaitas hidup normal dengan virus, yang sedikit pun belum berkurang daya tularnya. Pengaturan jumlah jamaah di rumah ibadah, kuota penumpang transportasi umum, jumlah pembelanja di mal adalah hilir. Pengaturan hilir tak terlalu berguna, manakala hulunya tak direncanakan seksama.
Rasionalitas perlu memperhitungkan aktivitas yang menimbulkan penumpukan manusia, sebagai sumber penularan Covid-19. Para penegak protokol akan terjebak dan mengalami kelelahan luar biasa, saat harus mengawasi kapasitas hilir.
Sementara aktivitas, sumber penumpukan manusia, tak dihitung. Ketika perkantoran mengaktifkan kembali kegiatannya, sementara di masa pra Covid-19 pun, jumlah fasilitas umum tak memadai. Apalagi ketika kapasistas dibatasi 50% nya demi jarak. Peristiwa antrean Senin pagi tak perlu terjadi, manakala ada simulasi yang seksama.
Saat tulisan ini disusun, bertepatan dengan Hari Media Sosial Nasional. Sebuah hari yang digagas oleh Handy Irawan D, pemilik sebuah firma di bidang pemasaran. Tujuan adanya hari nasional ini, kurang lebih media sosial telah jadi bagian yang lekat dalam peradaban. Keberadaanya perlu dimanfaatkan dengan optimal.
Data We Are Social, 2020, menunjukkan sekurangnya 160 juta rakyat Indonesia telah memanfaatkan medium ini. Sementara di saat yang tak terlampau lama, muncul tuntutan berbagai pihak, agar Presiden Jokowi menertibkan para buzzer. Keberadaan profesi ini mengancam kehidupan berdemokrasi.
Dalam praktik lazim komunikasi, ada model yang disebut sebagai The Two Step Flow of Communication. Teori yang digagas Paul Lazarsfeld di tahun 1944 dan mengalami penyempurnaan oleh Elihu Katz, di tahun 1955, mengandaikan pengirim pesan, termasuk pemerintah merasa berjarak dengan pihak yang jadi sasaran komunikasi.
Jarak itu muncul akibat perbedaan pengetahuan, pengalaman, tata cara dialog maupun istilah yang biasa digunakan. Perlu penengah untuk menjembatani jarak ini. Di era komunikasi digital, lahir penengah yang lazim disebut buzzer, influencer maupun endorser. Cara kerja ketiganya beda, namun berfungsi mendamaikan jarak.
Dalam konteks membangun rasionalitas sebagai jantung kampanye new normal, tentu tak dilarang menggunakan penengah ini. Berbagai penelitian pada komunikasi yang tak diperantarai medium digital, menunjukkan tercapainya tujuan komunikasi manakala ada penengah.
Pada komunikasi bermedium digital pun diharapkan hasil yang sama. Terlebih adanya buzzer, influencer dan endorser berlatar belakang sesuai dengan sasaran komunikasi.
Hulu adalah rasionaitas hidup normal dengan virus, yang sedikit pun belum berkurang daya tularnya. Pengaturan jumlah jamaah di rumah ibadah, kuota penumpang transportasi umum, jumlah pembelanja di mal adalah hilir. Pengaturan hilir tak terlalu berguna, manakala hulunya tak direncanakan seksama.
Rasionalitas perlu memperhitungkan aktivitas yang menimbulkan penumpukan manusia, sebagai sumber penularan Covid-19. Para penegak protokol akan terjebak dan mengalami kelelahan luar biasa, saat harus mengawasi kapasitas hilir.
Sementara aktivitas, sumber penumpukan manusia, tak dihitung. Ketika perkantoran mengaktifkan kembali kegiatannya, sementara di masa pra Covid-19 pun, jumlah fasilitas umum tak memadai. Apalagi ketika kapasistas dibatasi 50% nya demi jarak. Peristiwa antrean Senin pagi tak perlu terjadi, manakala ada simulasi yang seksama.
Saat tulisan ini disusun, bertepatan dengan Hari Media Sosial Nasional. Sebuah hari yang digagas oleh Handy Irawan D, pemilik sebuah firma di bidang pemasaran. Tujuan adanya hari nasional ini, kurang lebih media sosial telah jadi bagian yang lekat dalam peradaban. Keberadaanya perlu dimanfaatkan dengan optimal.
Data We Are Social, 2020, menunjukkan sekurangnya 160 juta rakyat Indonesia telah memanfaatkan medium ini. Sementara di saat yang tak terlampau lama, muncul tuntutan berbagai pihak, agar Presiden Jokowi menertibkan para buzzer. Keberadaan profesi ini mengancam kehidupan berdemokrasi.
Dalam praktik lazim komunikasi, ada model yang disebut sebagai The Two Step Flow of Communication. Teori yang digagas Paul Lazarsfeld di tahun 1944 dan mengalami penyempurnaan oleh Elihu Katz, di tahun 1955, mengandaikan pengirim pesan, termasuk pemerintah merasa berjarak dengan pihak yang jadi sasaran komunikasi.
Jarak itu muncul akibat perbedaan pengetahuan, pengalaman, tata cara dialog maupun istilah yang biasa digunakan. Perlu penengah untuk menjembatani jarak ini. Di era komunikasi digital, lahir penengah yang lazim disebut buzzer, influencer maupun endorser. Cara kerja ketiganya beda, namun berfungsi mendamaikan jarak.
Dalam konteks membangun rasionalitas sebagai jantung kampanye new normal, tentu tak dilarang menggunakan penengah ini. Berbagai penelitian pada komunikasi yang tak diperantarai medium digital, menunjukkan tercapainya tujuan komunikasi manakala ada penengah.
Pada komunikasi bermedium digital pun diharapkan hasil yang sama. Terlebih adanya buzzer, influencer dan endorser berlatar belakang sesuai dengan sasaran komunikasi.
tulis komentar anda