Normal Baru, Rasionalitas Baru

Jum'at, 12 Juni 2020 - 09:59 WIB
loading...
Normal Baru, Rasionalitas Baru
Pemerhati budaya dan komunikasi digital dan pendiri LITEROS.org, Dr Firman Kurniawan S.
A A A
Dr Firman Kurniawan S
Pemerhati Budaya dan Komunikasi Digital, Pendiri LITEROS.org


SEHARI
menjelang pemberlakuan transisi dari masa Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di Jakarta, oleh satu sebab saya bersalat Zuhur di masjid sebuah institusi.

Mesjid ini besar, nyaman dan terawat baik. Seperti di kebanyakan fasilitas umum yang menyambut masa transisisi, masjid ini juga memasang berbagai tanda. Tujuannya, tetap mewaspadai penularan Covid-19 walaupun disebut new normal oleh pemerintah.

Di antara tanda yang dipasang, saya tertambat pada sebuah pengumuman, masjid hanya mengizinkan maksimal 70 orang, di saat yang sama. Padahal kapasitas normalnya sekitar 140-150 orang. Ini demi menjaga jarak. Isi maksimal masjid dibatasi 50% dari kapasitas. Terlintas di pikiran, kalau ada 150-an orang datang bersamaan setelah adzan dikumandangkan, 70 orang bisa menggunakan masjid bersamaan, mengikuti protokol kesehatan. Lalu sisanya ke mana?

Pertanyaan saya itu, baru terjawab keesokannya, Senin 8 Juni 2020. Kasusnya serupa, tapi bukan di masjid. Dari berita media online maupun posting media sosial terilustrasi, pagi hari pertama perkantoran di Jakarta berkegiatan lagi, terjadi antrean ribuan calon penumpang KRL.

Antrean mencapai ratusan meter di Stasiun Bogor maupun Citayam. Bisa diduga, para pengantre adalah para pekerja yang kantornya di Jakarta. Antre terjadi akibat keharusan jaga jarak di dalam gerbong, maka penumpang yang boleh masuk gerbong dibatasi jumlahnya. Yang tak masuk harus antre.

Sayangnya, jarak pengantre tak setertib protokol. Penggunaan masker pun tak ada jaminan dipatuhi. Petugas tak cukup jumlahnya, mengawasi ribuan pengantre di luar stasiun. Lalu, apa guna protokol ? Di gerbong nampak tertib, tapi dalam proses mengantrenya tidak bisa.

Dari kasus di atas, kampanye new normal tampaknya bukan soal seremoni pemasangan tanda-tanda jaga jarak, gencarnya himbauan kesadaran pakai masker, maupun pengawasan penegakan protokol kesehatan saja. New normal harus membangun rasionalitas para pihak, yakni pemerintah, institusi penyelenggara kesehatan, media, pelaku ekonomi hingga semua warga negara, dari hulu ke hilir.

Hulu adalah rasionaitas hidup normal dengan virus, yang sedikit pun belum berkurang daya tularnya. Pengaturan jumlah jamaah di rumah ibadah, kuota penumpang transportasi umum, jumlah pembelanja di mal adalah hilir. Pengaturan hilir tak terlalu berguna, manakala hulunya tak direncanakan seksama.

Rasionalitas perlu memperhitungkan aktivitas yang menimbulkan penumpukan manusia, sebagai sumber penularan Covid-19. Para penegak protokol akan terjebak dan mengalami kelelahan luar biasa, saat harus mengawasi kapasitas hilir.

Sementara aktivitas, sumber penumpukan manusia, tak dihitung. Ketika perkantoran mengaktifkan kembali kegiatannya, sementara di masa pra Covid-19 pun, jumlah fasilitas umum tak memadai. Apalagi ketika kapasistas dibatasi 50% nya demi jarak. Peristiwa antrean Senin pagi tak perlu terjadi, manakala ada simulasi yang seksama.

Saat tulisan ini disusun, bertepatan dengan Hari Media Sosial Nasional. Sebuah hari yang digagas oleh Handy Irawan D, pemilik sebuah firma di bidang pemasaran. Tujuan adanya hari nasional ini, kurang lebih media sosial telah jadi bagian yang lekat dalam peradaban. Keberadaanya perlu dimanfaatkan dengan optimal.

Data We Are Social, 2020, menunjukkan sekurangnya 160 juta rakyat Indonesia telah memanfaatkan medium ini. Sementara di saat yang tak terlampau lama, muncul tuntutan berbagai pihak, agar Presiden Jokowi menertibkan para buzzer. Keberadaan profesi ini mengancam kehidupan berdemokrasi.

Dalam praktik lazim komunikasi, ada model yang disebut sebagai The Two Step Flow of Communication. Teori yang digagas Paul Lazarsfeld di tahun 1944 dan mengalami penyempurnaan oleh Elihu Katz, di tahun 1955, mengandaikan pengirim pesan, termasuk pemerintah merasa berjarak dengan pihak yang jadi sasaran komunikasi.

Jarak itu muncul akibat perbedaan pengetahuan, pengalaman, tata cara dialog maupun istilah yang biasa digunakan. Perlu penengah untuk menjembatani jarak ini. Di era komunikasi digital, lahir penengah yang lazim disebut buzzer, influencer maupun endorser. Cara kerja ketiganya beda, namun berfungsi mendamaikan jarak.

Dalam konteks membangun rasionalitas sebagai jantung kampanye new normal, tentu tak dilarang menggunakan penengah ini. Berbagai penelitian pada komunikasi yang tak diperantarai medium digital, menunjukkan tercapainya tujuan komunikasi manakala ada penengah.

Pada komunikasi bermedium digital pun diharapkan hasil yang sama. Terlebih adanya buzzer, influencer dan endorser berlatar belakang sesuai dengan sasaran komunikasi.

Semua unsur negara, pemerintah, legislatif, yudikatif, maupun TNI-Polri, akademisi, media maupun komunitas yang paham mencegah Covid-19 mutlak terlibat membangun rasionalitas baru ini.

Para pihak ini punya pendukung, fans base yang unik, dengan cara komunikasi masing-masing. Kemenkominfo harus punya daftar, juga aktif membentuk komunitas yang bisa melakukan kampanye kepada berbagai macam sasaran komunikasi.

Pada social comparison theory yang digagas Leon Festinger, 1954 disebut tentang kecenderungan individu yang selalu mengevaluasi pendapat dan kemampuan mereka sendiri, dengan orang lain. Ini tujuannya untuk mengurangi ketidakpastian. Maka, dengan adanya berbagai pihak yang berbeda latar belakang namun menyuarakan pesan yang senada, terkait pencegahan Covid-19, tentu akan menghilangkan keraguan pihak pihak yang menjadi sasaran komunikasi.

Hari ini, masa yang santer dinamai new normal, perilaku banyak masyarakat belum terlalu beranjak, peduli pada ancaman Covid-19. Penggunaan masker, jaga jarak, rajin cuci tangan lebih dipersepsi sebagai hukuman, dibanding upaya simpatik mencegah penularan.

Maka memanfaatkan momentum Hari Media Sosial Nasional, perlu diberdayakan keunggulan media sosial beserta pelakunya, membangun rasionalitas baru. Orkestrasi yang selama ini dinilai tak elok, tak kompak, tak menyajikan arah penanganan Covid-19 yang jelas, mutlak direstorasi. Agar semua upaya tak hanya berujung ketegangan di hilir, antara penegak protokol kesehatan dengan masyarakat yang merasa dibelenggu kebebasannya.
(dam)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2585 seconds (0.1#10.140)