Penerapan Ambang Batas Parlemen 7 Persen Picu Banyak Persoalan
Jum'at, 12 Juni 2020 - 06:59 WIB
JAKARTA - Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini menyatakan usulan ambang batas parlemen atau parlementariat threshold (PT) 7 persen oleh sejumlah partai politik secara singkat akan berdampak pada makin banyak suara sah pemilih yang sudah diberikan di Pemilu menjadi terbuang (wasted votes) karena tidak bisa diikutkan dalam penentuan perolehan kursi.
Usulan tersebut akan berdampak pada makin tingginya disproporsionalitas sistem pemilu kita dan pada akhirnya bisa berakibat distorsi atas suara dan prinsip kedaulatan rakyat.
"Dengan PT 4% pada Pemilu 2019 lalu saja mengakibatkan 13.595.842 suara yang terbuang. Apalagi kalau 7%," ujar Titi, Jumat (12/6/2020). (Baca juga: Aturan Shift Jam Kerja, Efektifkah?)
Selain itu, usulan kenaikan PT juga bisa memicu terjadinya ketidakpuasan politik dari para pihak yang merasa suaranya tidak terwakili. Akhirnya ketidakpuasan itu bisa tereskalasi pada gangguan stabilitas politik dan praktik demokrasi Indonesia.
"Apalagi Indonesia yang beragam ini mestinya tidak bisa didekati dengan limitasi dan batasan yang terlalu sulit terhadap ekspresi saluran politik mereka," ungkapnya.
Di sisi lain, PT yang tinggi juga bisa memicu praktik politik uang karena partai-partai menjadi pragmatis dan melakukan segala cara untuk lolos parlemen, temasuk juga cara-cara transaksional dan jual beli suara (vote buying). (Baca juga: BUMN Tinggal 107 Kluster Dipangkas)
PT 7% yang merujuk ambang batas perolehan suara pemilu DPR untuk penentuan perolehan kursi DPRD juga potensial dibatalkan Mahkamah Konstitusi (MK) karena dalam Putusan No. 52/'PUU-X/2019 juga sudah memutus perkara dengan substansi pengaturan sama sebagai kebijakan yang dipandang inkonstitusional.
Dalam pertimbangan hukumnya, MK menyebutkan (halaman 98 dan 99), pemberlakuan PT secara nasional yang mempunyai akibat hukum pada hilangnya kursi-kursi partai politik yang tidak memiliki kursi di DPR, namun partai politik bersangkutan memenuhi ketentuan bilangan pembagi pemilih di daerah dan menjadikan kursi-kursi tersebut dimiliki partai politik lain yang sebenarnya tidak memenuhi bilangan pembagi pemilih namun memiliki kursi di DPR.
"Justru bertentangan dengan kedaulatan rakyat, hak politik, dan rasionalitas sehingga bertentangan pula dengan tujuan pemilihan umum itu sendiri yaitu memilih wakil rakyat mulai dari tingkat pusat hingga daerah," ujar Titi. (Baca juga: Masuk Zona Merah, Ini yang Dilakukan RW 11 Pademangan Barat)
Usulan tersebut akan berdampak pada makin tingginya disproporsionalitas sistem pemilu kita dan pada akhirnya bisa berakibat distorsi atas suara dan prinsip kedaulatan rakyat.
"Dengan PT 4% pada Pemilu 2019 lalu saja mengakibatkan 13.595.842 suara yang terbuang. Apalagi kalau 7%," ujar Titi, Jumat (12/6/2020). (Baca juga: Aturan Shift Jam Kerja, Efektifkah?)
Selain itu, usulan kenaikan PT juga bisa memicu terjadinya ketidakpuasan politik dari para pihak yang merasa suaranya tidak terwakili. Akhirnya ketidakpuasan itu bisa tereskalasi pada gangguan stabilitas politik dan praktik demokrasi Indonesia.
"Apalagi Indonesia yang beragam ini mestinya tidak bisa didekati dengan limitasi dan batasan yang terlalu sulit terhadap ekspresi saluran politik mereka," ungkapnya.
Di sisi lain, PT yang tinggi juga bisa memicu praktik politik uang karena partai-partai menjadi pragmatis dan melakukan segala cara untuk lolos parlemen, temasuk juga cara-cara transaksional dan jual beli suara (vote buying). (Baca juga: BUMN Tinggal 107 Kluster Dipangkas)
PT 7% yang merujuk ambang batas perolehan suara pemilu DPR untuk penentuan perolehan kursi DPRD juga potensial dibatalkan Mahkamah Konstitusi (MK) karena dalam Putusan No. 52/'PUU-X/2019 juga sudah memutus perkara dengan substansi pengaturan sama sebagai kebijakan yang dipandang inkonstitusional.
Dalam pertimbangan hukumnya, MK menyebutkan (halaman 98 dan 99), pemberlakuan PT secara nasional yang mempunyai akibat hukum pada hilangnya kursi-kursi partai politik yang tidak memiliki kursi di DPR, namun partai politik bersangkutan memenuhi ketentuan bilangan pembagi pemilih di daerah dan menjadikan kursi-kursi tersebut dimiliki partai politik lain yang sebenarnya tidak memenuhi bilangan pembagi pemilih namun memiliki kursi di DPR.
"Justru bertentangan dengan kedaulatan rakyat, hak politik, dan rasionalitas sehingga bertentangan pula dengan tujuan pemilihan umum itu sendiri yaitu memilih wakil rakyat mulai dari tingkat pusat hingga daerah," ujar Titi. (Baca juga: Masuk Zona Merah, Ini yang Dilakukan RW 11 Pademangan Barat)
(jon)
tulis komentar anda