Kerentanan Tenaga Kerja Menghadapi Otomasi
Kamis, 27 Januari 2022 - 15:26 WIB
International Labour Office (ILO) menyebut bahwa 56% pekerjaan di Indonesia berada dalam risiko tinggi digantikan oleh teknologi dan 35% memiliki risiko menengah. Laporan McKensey & Company (2019) juga menyebut lebih dari 23 juta pekerjaan di Indonesia sekarang bisa digantikan oleh robot dengan tingkat produktivitas yang sama. Hal tersebut senada dengan riset Acemoglou & Restrepo (2020) tentang dampak penggunaan robot pada pasar tenaga kerja AS yang mengindikasikan terjadinya perlambatan permintaan pasar kerja di AS sejak awal 2000-an.
Penggunaan satu robot per seribu pekerja di AS juga mengurangi rasio mendapatkan pekerjaan 0,2% dan upah 0,42%.
Acemoglou & Restrepo (2020) menyebut bahwa ada tiga efek teknologi pada pasar kerja: displacement effect, productivity effect dan reinstatement effect. Pertama, otomasi menggantikan (displacement) sejumlah pekerjaan rutin dan bisa diprediksi. Yang kedua, teknologi meningkatkan produktivitas (productifity effect). Otomasi menciptakan demand pekerjaan baru akibat munculnya opportunity baru.
Pekerjaan seperti data scientist, content creator, dan berbagai pekerjaan lainnya bermunculan. Dalam jangka panjang, ketika kondisi tenaga kerja mampu beradaptasi dengan permintaan pasar akan menciptakan keseimbangan baru (reinstatement).
Langkah ke Depan
Otomasi, menurut Ford(2015) dalam Rise of The Robots and Threat to Jobs, mengubah asumsi dasar tentang teknologi. Selama ini teknologi dipahami sebagai alat (tools) yang membantu meningkatkan produktiivitas pekerja. Otomasi bukan saja hanya membantu, tapi bisa menggantikan pekerja. Dari sisi produksi, produsen tentu lebih memilih untuk menginvestasikan modal untuk teknologi mesin daripada untuk pekerja. Hal tersebut mudah dipahami, dengan asumsi tingkat produktivitas yang sama, mesin jauh lebih mudah “dikendalikan” daripada manusia.
Ada dua hal yang bisa dilakukan ke depan menghadapi kerentanan tersebut. Pertama, pemerintah bisa mempertimbangkan pengenaan pajak robot seperti yang dilakukan oleh Jepang. Selain bertujuan menekan laju otomasi di sektor produksi, pemerintah juga harus menambah alokasi investasi sumber daya manusia Indonesia. Kedua, perlu roadmap yang jelas terkait transformasi sumber daya manusia Indonesia. Masalah seperti mismatchantara sektor pendidikan dengan sektor riil, kebutuhan talenta digital dan lain-lain harus segera ditemukan titik pangkalnya. Karena sektor tenaga kerja juga berkaitan dengan aspek sosial politik lainnya seperti kesejahteraan, tingkat kriminalitas dan stabilitas politik.
Dibutuhkan komitmen semua pihak dalam menyiapkan SDM Indonesia mengahadapi kerentanan ini. Jika tidak, kisah pemberontakan dan kerusuhan pekerja Luddite abad 18 di Inggris yang menolak kedatangan mesin untuk pertanian mungkin saja terjadi, dalam cara yang lain jika kita gagap mengantisipasi dan beradaptasi. Bukankah keinginan Indonesia untuk lepas landas 2045 dan kesempatan mendulang berkah bonus demografi bisa menjadi bencana (catasthrope)?
Penggunaan satu robot per seribu pekerja di AS juga mengurangi rasio mendapatkan pekerjaan 0,2% dan upah 0,42%.
Acemoglou & Restrepo (2020) menyebut bahwa ada tiga efek teknologi pada pasar kerja: displacement effect, productivity effect dan reinstatement effect. Pertama, otomasi menggantikan (displacement) sejumlah pekerjaan rutin dan bisa diprediksi. Yang kedua, teknologi meningkatkan produktivitas (productifity effect). Otomasi menciptakan demand pekerjaan baru akibat munculnya opportunity baru.
Pekerjaan seperti data scientist, content creator, dan berbagai pekerjaan lainnya bermunculan. Dalam jangka panjang, ketika kondisi tenaga kerja mampu beradaptasi dengan permintaan pasar akan menciptakan keseimbangan baru (reinstatement).
Langkah ke Depan
Otomasi, menurut Ford(2015) dalam Rise of The Robots and Threat to Jobs, mengubah asumsi dasar tentang teknologi. Selama ini teknologi dipahami sebagai alat (tools) yang membantu meningkatkan produktiivitas pekerja. Otomasi bukan saja hanya membantu, tapi bisa menggantikan pekerja. Dari sisi produksi, produsen tentu lebih memilih untuk menginvestasikan modal untuk teknologi mesin daripada untuk pekerja. Hal tersebut mudah dipahami, dengan asumsi tingkat produktivitas yang sama, mesin jauh lebih mudah “dikendalikan” daripada manusia.
Ada dua hal yang bisa dilakukan ke depan menghadapi kerentanan tersebut. Pertama, pemerintah bisa mempertimbangkan pengenaan pajak robot seperti yang dilakukan oleh Jepang. Selain bertujuan menekan laju otomasi di sektor produksi, pemerintah juga harus menambah alokasi investasi sumber daya manusia Indonesia. Kedua, perlu roadmap yang jelas terkait transformasi sumber daya manusia Indonesia. Masalah seperti mismatchantara sektor pendidikan dengan sektor riil, kebutuhan talenta digital dan lain-lain harus segera ditemukan titik pangkalnya. Karena sektor tenaga kerja juga berkaitan dengan aspek sosial politik lainnya seperti kesejahteraan, tingkat kriminalitas dan stabilitas politik.
Dibutuhkan komitmen semua pihak dalam menyiapkan SDM Indonesia mengahadapi kerentanan ini. Jika tidak, kisah pemberontakan dan kerusuhan pekerja Luddite abad 18 di Inggris yang menolak kedatangan mesin untuk pertanian mungkin saja terjadi, dalam cara yang lain jika kita gagap mengantisipasi dan beradaptasi. Bukankah keinginan Indonesia untuk lepas landas 2045 dan kesempatan mendulang berkah bonus demografi bisa menjadi bencana (catasthrope)?
(bmm)
Lihat Juga :
tulis komentar anda