Kerentanan Tenaga Kerja Menghadapi Otomasi
loading...
A
A
A
Sidik Nur Toha
Peneliti Indonesian Presidential Studies, Mahasiswa Pascasarjana Ekonomi UI
DAMPAK perkembangan teknologi dan otomasi pada pasar tenaga kerja merupakan perdebatan yang menarik. Di satu sisi, perkembangan pesat otomasi (automation) seperti penggunaan robot industri akan meningkatkan jumlah pengangguran (unemployment). Contoh sederhana adalah pekerjaan tukang parkir yang mulai digantikan mesin di sejumlah pusat perbelanjaan kota-kota besar. Di sisi lain, perkembangan teknologi otomasi dinilai akan mengikuti pola perkembangan teknologi sebelumnya : teknologi menciptakan pasar kerja baru dan meningkatkan permintaan tenaga kerja (labor demand) juga kesejahteraan. Kelompok ini melihat tren perusahaan seperti Go-Jek dan perusahaan lainnya yang menciptakan berbagai jenis pekerjaan baru, mulai dari driver, data analyst dan berbagai pekerjaan yang belum kita kenal.
Perkembangan teknologi otomasi sebenarnya bukan hal yang baru bagi masyarakat Indonesia. International Federations of Robotics pada 2015 mencatat pembelian sekitar 3.000 robot industri di Indonesia. Jumlah tersebut meningkat tiga kali lipat dari 2011, dan diprediksi terus meningkat di masa mendatang.
Di tengah upaya pemerintah melakukan transformasi digital, ada dua hal penting yang patut menjadi catatan. Pertama, perkembangan otomasi pada sektor industri di Indonesia menambah kerentanan pekerjaan di tengah rentannya pasar tenaga kerja Indonesia. Kedua, perkembangan teknologi meningkatkan kesulitan akses pekerjaan bagi pekerja generasi muda, khususnya yang minim skill.
Rentannya Pasar Kerja Indonesia
Populasi dan tenaga kerja merupakan faktor penting kesejahteraan suatu negara. Negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan China memiliki jumlah populasi besar yang produktif sehingga mampu meningkatkan output perekonomiannya. Faktor lain yang tidak kalah penting adalah pengembangan teknologi. Teknologi membantu seseorang dalam memproduksi nilai tambah sembari meningkatkan efektivitas serta produktivitas. Sebagai analogi, sebuah pekerjaan dengan output tertentu awalnya dikerjakan oleh dua orang, dengan bantuan teknologi total output yang sama bisa dikerjakan cukup oleh satu orang.
Teknologi otomasi merupakan dua sisi mata uang, berkah bagi yang bisa memanfaatkannya dan bencana bagi yang terlambat beradaptasi.
Di Indonesia potensi bencana tersebut terlihat dengan rentannya struktur pasar kerja Indonesia. Menurut data Badan Pisat Statistik (BPS) 2019, hampir 47,9% tenaga kerja di Indonesia merupakan lulusan/tidak tamat SD. Dan, hampir 60% angkatan kerja di Indonesia bekerja di sektor informal dengan tingkat risiko kerja tinggi dan tingkat upah yang rendah.
International Labour Office (ILO) menyebut bahwa 56% pekerjaan di Indonesia berada dalam risiko tinggi digantikan oleh teknologi dan 35% memiliki risiko menengah. Laporan McKensey & Company (2019) juga menyebut lebih dari 23 juta pekerjaan di Indonesia sekarang bisa digantikan oleh robot dengan tingkat produktivitas yang sama. Hal tersebut senada dengan riset Acemoglou & Restrepo (2020) tentang dampak penggunaan robot pada pasar tenaga kerja AS yang mengindikasikan terjadinya perlambatan permintaan pasar kerja di AS sejak awal 2000-an.
Penggunaan satu robot per seribu pekerja di AS juga mengurangi rasio mendapatkan pekerjaan 0,2% dan upah 0,42%.
Acemoglou & Restrepo (2020) menyebut bahwa ada tiga efek teknologi pada pasar kerja: displacement effect, productivity effect dan reinstatement effect. Pertama, otomasi menggantikan (displacement) sejumlah pekerjaan rutin dan bisa diprediksi. Yang kedua, teknologi meningkatkan produktivitas (productifity effect). Otomasi menciptakan demand pekerjaan baru akibat munculnya opportunity baru.
Pekerjaan seperti data scientist, content creator, dan berbagai pekerjaan lainnya bermunculan. Dalam jangka panjang, ketika kondisi tenaga kerja mampu beradaptasi dengan permintaan pasar akan menciptakan keseimbangan baru (reinstatement).
Langkah ke Depan
Otomasi, menurut Ford(2015) dalam Rise of The Robots and Threat to Jobs, mengubah asumsi dasar tentang teknologi. Selama ini teknologi dipahami sebagai alat (tools) yang membantu meningkatkan produktiivitas pekerja. Otomasi bukan saja hanya membantu, tapi bisa menggantikan pekerja. Dari sisi produksi, produsen tentu lebih memilih untuk menginvestasikan modal untuk teknologi mesin daripada untuk pekerja. Hal tersebut mudah dipahami, dengan asumsi tingkat produktivitas yang sama, mesin jauh lebih mudah “dikendalikan” daripada manusia.
Ada dua hal yang bisa dilakukan ke depan menghadapi kerentanan tersebut. Pertama, pemerintah bisa mempertimbangkan pengenaan pajak robot seperti yang dilakukan oleh Jepang. Selain bertujuan menekan laju otomasi di sektor produksi, pemerintah juga harus menambah alokasi investasi sumber daya manusia Indonesia. Kedua, perlu roadmap yang jelas terkait transformasi sumber daya manusia Indonesia. Masalah seperti mismatchantara sektor pendidikan dengan sektor riil, kebutuhan talenta digital dan lain-lain harus segera ditemukan titik pangkalnya. Karena sektor tenaga kerja juga berkaitan dengan aspek sosial politik lainnya seperti kesejahteraan, tingkat kriminalitas dan stabilitas politik.
Dibutuhkan komitmen semua pihak dalam menyiapkan SDM Indonesia mengahadapi kerentanan ini. Jika tidak, kisah pemberontakan dan kerusuhan pekerja Luddite abad 18 di Inggris yang menolak kedatangan mesin untuk pertanian mungkin saja terjadi, dalam cara yang lain jika kita gagap mengantisipasi dan beradaptasi. Bukankah keinginan Indonesia untuk lepas landas 2045 dan kesempatan mendulang berkah bonus demografi bisa menjadi bencana (catasthrope)?
Peneliti Indonesian Presidential Studies, Mahasiswa Pascasarjana Ekonomi UI
DAMPAK perkembangan teknologi dan otomasi pada pasar tenaga kerja merupakan perdebatan yang menarik. Di satu sisi, perkembangan pesat otomasi (automation) seperti penggunaan robot industri akan meningkatkan jumlah pengangguran (unemployment). Contoh sederhana adalah pekerjaan tukang parkir yang mulai digantikan mesin di sejumlah pusat perbelanjaan kota-kota besar. Di sisi lain, perkembangan teknologi otomasi dinilai akan mengikuti pola perkembangan teknologi sebelumnya : teknologi menciptakan pasar kerja baru dan meningkatkan permintaan tenaga kerja (labor demand) juga kesejahteraan. Kelompok ini melihat tren perusahaan seperti Go-Jek dan perusahaan lainnya yang menciptakan berbagai jenis pekerjaan baru, mulai dari driver, data analyst dan berbagai pekerjaan yang belum kita kenal.
Perkembangan teknologi otomasi sebenarnya bukan hal yang baru bagi masyarakat Indonesia. International Federations of Robotics pada 2015 mencatat pembelian sekitar 3.000 robot industri di Indonesia. Jumlah tersebut meningkat tiga kali lipat dari 2011, dan diprediksi terus meningkat di masa mendatang.
Di tengah upaya pemerintah melakukan transformasi digital, ada dua hal penting yang patut menjadi catatan. Pertama, perkembangan otomasi pada sektor industri di Indonesia menambah kerentanan pekerjaan di tengah rentannya pasar tenaga kerja Indonesia. Kedua, perkembangan teknologi meningkatkan kesulitan akses pekerjaan bagi pekerja generasi muda, khususnya yang minim skill.
Rentannya Pasar Kerja Indonesia
Populasi dan tenaga kerja merupakan faktor penting kesejahteraan suatu negara. Negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan China memiliki jumlah populasi besar yang produktif sehingga mampu meningkatkan output perekonomiannya. Faktor lain yang tidak kalah penting adalah pengembangan teknologi. Teknologi membantu seseorang dalam memproduksi nilai tambah sembari meningkatkan efektivitas serta produktivitas. Sebagai analogi, sebuah pekerjaan dengan output tertentu awalnya dikerjakan oleh dua orang, dengan bantuan teknologi total output yang sama bisa dikerjakan cukup oleh satu orang.
Teknologi otomasi merupakan dua sisi mata uang, berkah bagi yang bisa memanfaatkannya dan bencana bagi yang terlambat beradaptasi.
Di Indonesia potensi bencana tersebut terlihat dengan rentannya struktur pasar kerja Indonesia. Menurut data Badan Pisat Statistik (BPS) 2019, hampir 47,9% tenaga kerja di Indonesia merupakan lulusan/tidak tamat SD. Dan, hampir 60% angkatan kerja di Indonesia bekerja di sektor informal dengan tingkat risiko kerja tinggi dan tingkat upah yang rendah.
International Labour Office (ILO) menyebut bahwa 56% pekerjaan di Indonesia berada dalam risiko tinggi digantikan oleh teknologi dan 35% memiliki risiko menengah. Laporan McKensey & Company (2019) juga menyebut lebih dari 23 juta pekerjaan di Indonesia sekarang bisa digantikan oleh robot dengan tingkat produktivitas yang sama. Hal tersebut senada dengan riset Acemoglou & Restrepo (2020) tentang dampak penggunaan robot pada pasar tenaga kerja AS yang mengindikasikan terjadinya perlambatan permintaan pasar kerja di AS sejak awal 2000-an.
Penggunaan satu robot per seribu pekerja di AS juga mengurangi rasio mendapatkan pekerjaan 0,2% dan upah 0,42%.
Acemoglou & Restrepo (2020) menyebut bahwa ada tiga efek teknologi pada pasar kerja: displacement effect, productivity effect dan reinstatement effect. Pertama, otomasi menggantikan (displacement) sejumlah pekerjaan rutin dan bisa diprediksi. Yang kedua, teknologi meningkatkan produktivitas (productifity effect). Otomasi menciptakan demand pekerjaan baru akibat munculnya opportunity baru.
Pekerjaan seperti data scientist, content creator, dan berbagai pekerjaan lainnya bermunculan. Dalam jangka panjang, ketika kondisi tenaga kerja mampu beradaptasi dengan permintaan pasar akan menciptakan keseimbangan baru (reinstatement).
Langkah ke Depan
Otomasi, menurut Ford(2015) dalam Rise of The Robots and Threat to Jobs, mengubah asumsi dasar tentang teknologi. Selama ini teknologi dipahami sebagai alat (tools) yang membantu meningkatkan produktiivitas pekerja. Otomasi bukan saja hanya membantu, tapi bisa menggantikan pekerja. Dari sisi produksi, produsen tentu lebih memilih untuk menginvestasikan modal untuk teknologi mesin daripada untuk pekerja. Hal tersebut mudah dipahami, dengan asumsi tingkat produktivitas yang sama, mesin jauh lebih mudah “dikendalikan” daripada manusia.
Ada dua hal yang bisa dilakukan ke depan menghadapi kerentanan tersebut. Pertama, pemerintah bisa mempertimbangkan pengenaan pajak robot seperti yang dilakukan oleh Jepang. Selain bertujuan menekan laju otomasi di sektor produksi, pemerintah juga harus menambah alokasi investasi sumber daya manusia Indonesia. Kedua, perlu roadmap yang jelas terkait transformasi sumber daya manusia Indonesia. Masalah seperti mismatchantara sektor pendidikan dengan sektor riil, kebutuhan talenta digital dan lain-lain harus segera ditemukan titik pangkalnya. Karena sektor tenaga kerja juga berkaitan dengan aspek sosial politik lainnya seperti kesejahteraan, tingkat kriminalitas dan stabilitas politik.
Dibutuhkan komitmen semua pihak dalam menyiapkan SDM Indonesia mengahadapi kerentanan ini. Jika tidak, kisah pemberontakan dan kerusuhan pekerja Luddite abad 18 di Inggris yang menolak kedatangan mesin untuk pertanian mungkin saja terjadi, dalam cara yang lain jika kita gagap mengantisipasi dan beradaptasi. Bukankah keinginan Indonesia untuk lepas landas 2045 dan kesempatan mendulang berkah bonus demografi bisa menjadi bencana (catasthrope)?
(bmm)